Kamis, 25 Agustus 2016

Sebuah Pengorbanan Sederhana # Bab Sebelas

Sebelumnya, SPS # Bab Sepuluh


Hari itu Leo mencoba menyenangkan Cynthia, mereka memasuki semua wahana, bermain dan tertawa bersama layaknya sepasang kekasih. Bahkan Cynthia tak pernah melepaskan lengan Leo ketika mereka berjalan, dan di akhiri dengan makan malam romantis di Ocean Restorant. Menyantap hidangan seraya menikmati hewan-hewan laut yang berada di dalam aquarium raksasa yang mengurung mereka.

Cynthia meletakan tangannya di atas telapak tangan Leo ketika pria itu selesai menyantap makan malamnya, satu tangannya memang tergeletak di atas meja sedang yang satu lagi menenggak minuman hangat. Leo menatap tangannya yang di tutupi tangan mulus Cynthia sejenak, lalu beralih ke wajahnya cantiknya, "terima kasih ya, hari ini aku bahagia sekali, seandainya kita bisa seperti ini selamanya!" katanya malu-malu.

"Selamanya?" desis Leo, "kurasa tidak mungkin!" kalimatnya membuat Cynthia merubah mimiknya, "aku kan butuh bekerja!" tapi kalimat terakhirnya membuatnya kembali tersenyum.
"Apa selamanya kau mau menjadi arsitek, Tidak mau memimpin perusahaan?" tanyanya memancing.
"Aku tidak punya perusahaan untuk di pimpin!"
"Maksudku, setelah kita menikah kau kan bisa menggantikan posisi papa. Sepertinya papa butuh istirahat dan menikmati hari tuanya menunggui cucu!" kalimat Cynthia menjurus sekali. Membuat Leo sedikit kelimpungan untuk menjawab. Saat ini ia tak mau membuat gadis di depannya kecewa.
"Cynt, aku belum berfikir untuk menikah. Lagipula hubungan kita...,"
"Belum jelas?" potong Cynthia, "kalau begitu kita resmikan malam ini saja!" girangnya.

Leo menelan ludah, tapi ia masih belum menarik telapak tangannya dari genggaman Cynthia.

"Cynt,"
"Aku sangat mencintaimu, dan kau tahu itu.
Aku tak akan bisa hidup tanpamu Leo!" ungkapnya. Leo terdiam, "apa salahnya kita mencoba menjalin hubungan, aku akan berusaha menjadi gadis yang kau mau. Aku tidak akan mengecewakanmu!" rengeknya.

Leo menatap gadis di depannya, entah dengan tatapan seperti apa saat ini. Tapi beberapa detik kemudian ia menarik telepak tangannya dari genggaman Cynthia, yang membuat gadis itu sedikit menekuk wajahnya. Lalu ia berkata,

"Sebaiknya kita kembali ke hotel, ini sudah malam!" ajak Leo, padahal itu baru jam 8 malam kurang.

Cynthia membalas tatapan itu dengan kekecewaan, "kau benar-benar tidak mau menikah denganku!" serunya lantang sehingga beberapa pasang mata mengarah ke mereka, "apa kurangnya aku?" matanya mulai memerah dan berkaca, "kenapa sedikit saja kau tak pernah melihatku?" lantangnya dengan bulir bening yang langsung mengalir, lalu iapun bangkit dan lari keluar.
"Cynthia!" panggil Leo, tetapi gadis itu tetap menanggapinya.

Leo tak langsung mengejar karena ia harus membayar bilnya terlebih dahulu, baru ia menyusul keluar. Berlari ke arah mobil yang cukup jauh ia parkirkan. Tapi saat sampai disana, ia tak melihat Cynthia. Nah, kalau sudah begini mau cari kemana?

Leo berkeliling mencari ke sekitarnya, tetapi juga tak menemukan gadis itu. Ia mulai kebingungan, meski ia tahu Cynthia tidak mungkin nyasar. Tapi kalau bertemu dengan orang iseng atau orang jahat bagaimana? Kalau terjadi apa-apa dengannya, pak Dendy pasti akan mengulitinya! Bukan karena ia takut dengan bigbosnya itu. Tapi ini menyangkut tanggungjawab. Pak Dendy tahu kalau Cynthia pergi berlibur dengannya, tentu ia harus bisa menjaganya.


Suasana pesta yang di sesaki orang-orang itu membuat Rena jengah, ia sempat bertemu dengan Tian dan harus menghindar sebelum terjadi keributan. Tetapi Tian bukan Zach yang tak memperdulikan situasi di sekitarnya, Tian lebih bisa menjaga emosinya. Sedari tadi Rena mencari kesempatan untuk bisa mendekati targetnya, tapi masih belum ada hasil. Sementara Roger terus mengawasinya dari jauh, bahkan menyuruh salah satu kacungnya untuk membuntuti.

"Masalah itu..., putriku memiliki pilihannya sendiri. Aku tak bisa memaksanya menuruti kehendakku!" sahut Dendy,
"Jadi, sudah ada calon suami. Sayang sekali, padahal aku berharap mungkin Cynthia dan Alex bisa menjalin hubungan!" tukas Adrian.
"Belum jadi calon suami sih, e...hanya mereka masih menikmati masa muda!" Dendy tak mungkin mengatakan kalau si pria susah sekali di luluhkan hatinya.
"Heee...he..., ya...bisa di mengerti!"

BRUKK!

"Arghh...!" sesosok tubuh menyenggol tubuh Dendy, tepatnya tertubruk hingga sosok itu terpental. Refleks Dendy menoleh, melihat sosok itu hampir jatuh terjengkang ke belakang sadar tidak sadar ia segera bergerak meraih sosok itu. Secara refleks pula wanita itu menyambut pertolongannya dengan memegang keda bahunya. Untung keseimbangan yang Dendy miliki cukup bagus hingga mereka tidak jatuh ke lantai, mata mereka bertemu. Bertatapan lama. Sosok di dalam pelukannya itu sungguh memesona, seperti bidadari sampai membuat darahnya mendesir. Hal itu cukup di saksikan banyak orang.

"E-hem!" suara Adrian membuat keduanya terjaga. Dendy membawa sang bidadari tegap di atas kakinya sendiri dan melepaskannya, "maaf!" desisnya.
"Oh tidak, saya yang harusnya minta maaf karena tidak terlalu memperhatikan jalan!" sahut Rena, lalu ekspresinya berubah, "ya Tuhan..., baju anda basah!" pakaian Dendy memang tersiram minuman yang Rena bawa yang sekarang gelas itu sudah berkeping-keping di lantai.

Dendy melihat pakaiannya sendiri, "ou...ini...!" desisnya yang terhenti karena wanita itu sudah lebih dulu mengelapnya dengan sapu tangan. Dendy menahan tangan lentik itu, "tidak apa-apa!" katanya menghentikannya. Dan sekali lagi mata mereka saling terpaut.

Wanita itu segera melepaskan tangannya dari tangan Dendy dan sedikit mundur, "maaf ya!"
"Ah..., tidak apa-apa. Ini..., bisa diatasi!" sahut Dendy tanpa berkedip, bahkan bukan hanya Dendy tapi juga Adrian yang ada disisi mereka.

Wanita itu memasang senyum yang sudah pasti tidak bisa di tolak oleh pria manapun, lalu ia hendak menyingkir ketika Dendy meraihkan tangannya ke lengan wanita itu, "tunggu!"

Wanita itu kembali menoleh padanya, "ehm..., kau datang dengan seseorang?" tanya Dendy tiba-tiba. Ia sendiri asal bertanya karena ia masih ingin menikmati kecantikan wanita yang menubruknya, jujur...Dendy bukan pria yang mudah tergoda dengan wanita. Sejak istrinya meninggal ia belum berfikir untuk menikah lagi.

"Saya..., saya datang menemani sepupu saya. Tapi sekarang, dia malah asyik bersama teman-temannya!"
"Itu artinya sekarang sendirian!" ia melepaskan tangannya dari lengan wanita itu.

Mereka tertawa kecil.

"Oya, Dendy!" Dendy mengulurkan telapak tangannya, "jika tidak keberatan berkenalan dengan pria tua!" candanya. Wanita itu tersenyum menyambut tangan Dendy, "Rena, menurut saya...anda tidak terlihat tua!" tukasnya membuat Dendy tersenyum.

"Jangan bicara terlalu formal, itu terdengar kurang akrab. O-ya, ini Adrian!" katanya mengenalkan. Adrian pun menyalami Rena. Sebenarnya darahnya juga dibuat mendesir oleh wanita muda yang memesona itu, tapi ia bisa menangkap kalau sepertinya sahabatnya tertarik dengan Rena. Maka ia tidak akan menyerobot, lagipula ia masih punya istri. Sementara Dendy sudah lama membiarkan ranjangnya dingin tanpa ada yang menemani.

"Jadi, tidak keberatan bergabung dengan kami?" tawar Adrian ikut nimbrung dalam obrolan.
"Ehm..., sebenarnya...saya..., eh, aku..., sedang hendak menuju keluar!"
"Keluar?"
"Acara ini membuatku bosan, lagipula...aku sedikit lelah!"
"Ouh...!"

Di sisi lain dalam ruangan itu, seseorang sedang tersenyum menangkap pemandangan yang ada. Rena memang tak pernah mengecewakan dalam hal memikat pria, bahkan seseorang seperti Dendy Mahendra yang berwibawa.

"Maaf, aku...permisi dulu!" pamit Rena, ia masih sempat mengerling ke arah Dendy sebelum berbalik dan meninggalkan kedua pria itu. Dendy sendiri tak melepaskan pandangannya dari wanita muda yang tengah menembusi kerumunan orang itu.

Adrian mendekatkan dirinya ke sahabatnya, "kau tidak menanyakan nomor teleponnya?" bisiknya. Seketika Dendy terbelalak,

Dasar bodoh kau Dendy, kenapa kau tak berfikir sampai kesana?

Ia segera menyadari hal itu, tapi ia tak mau mengakuinya karena gengsi terhadap Adrian. Maka iapun mencari alasan yang menurutnya bisa diterima.

"Adrian, dia masih sangat muda!" tukasnya.

Adrian malah tertawa ringan, "jangan membodohiku, kau pikir aku tidak melihat caramu menatapnya." katanya dengan terus menatap ke depan, meski Rena sudah tak terlihat, "dia memang masih sangat muda, tapi kulihat...dia juga memperhatikanmu sepertinya!"
"Benarkah? itu tidak mungkin!"
"Kejar dia dan antarkan dia pulang!" suruh Adrian.
"Apa?"
"Kalau kau tidak mau ya sudah, biar aku saja yang melakukannya. Memiliki istri simpanan seperti Rena tidak akan membuatku rugi meski nantinya Wilda akan menceraikanku!" goda Adrian. Dendy melotot,
"Adrian!" serunya ketika sahabatnya siap melangkah, "tapi...urusanku disini belum selesai!" bimbangnya.
"Nah..., begitu. Kau jangan kuatir, biar aku yang meng-handle urusanmu disini. Cepat kejar bidadari itu sebelum ada yang mengantarnya lebih dulu!" suruh Adrian.

Dendy menghela nafas lalu melangkah menuju pintu keluar, dimana Rena menghilang. Adrian tersenyum nakal karena bujukannya berhasil, ya...kalau seandainya dirinya yang diperhatikan Rena tentu saja ia yang akan mengejarnya. Seperti yang ia katakan, ia tidak akan menyesal bercerai dengan istrinya Wilda asal ia masih memiliki bidadari cantik seperti Rena. Sayangnya, ia bisa menangkap cara Rena menatap Dendy seperti cara seorang wanita yang menatap pria yang disukainya. Lagipula Dendy memang tak pernah menatap wanita seperti itu selama ini setelah di tinggal istrinya ke dunia lain.

Dendy berjalan cepat meninggalkan gedung itu, ia celingukan di teras lobi. Rena berkata bahwa ia datang bersama sepupunya, jika sepupunya masih asyik bersama teman-temannya, maka artinya ia pasti akan mencari taksi untuk pulang. Jadi Dendy segera berjalan keluar saja.

Setelah melewati gerbang, Rena tersentak karena ada seseorang yang menariknya dan menyandarkannya ke tembok.

"Tian!"
"Hai cantik, kenapa buru-buru mau pulang. Tidak mau bernostalgia denganku dulu?" godanya.
"Sudah kukatakan jangan ganggu aku lagi!"
"Kau cantik sekali malam ini!" pujinya, "membuatku tidak tahan."

Rena mencoba bergerak tapi Tian langsung mengurungnya dengan kedua tangannya yang ia letakan di kedua sisi Rena.

"Jangan macam-macam Tian!" ancamnya,
"Ouh..., kau sudah berani mengancam rupanya. Tapi aku tidak akan membiarkanmu lepas lagi, sayang. Aku akan mendapatkanmu kembali!" ia lebih merapatkan tubuhnya ke arah Rena. Dan Renapun mendorong dada bidang pria itu,
"Mengingkir atau aku akan berteriak!"
"Santai saja sayang," ia mengalah dengan dorongan Rena. Menjauhkan tangannya dari dinding,"aku tidak akan memaksamu, asal...kau mau ikut denganku malam ini!"

Rena menatapnya tajam, ia tahu Tian tak mungkin semanis itu jika tak ada maunya. Pria itu pasti akan membalas sakit hatinya, entah dengan cara apa. Sebenarnya ia tak terlalu kuatir, tak seperti terhadap Zach. Tian tak sekasar dan sebajingan Zach, tapi ia tetap tak mau lagi memiliki hubungan apapun dengannya.

"Maaf Tian, aku buru-buru!" tolaknya berlalu, Tianpun segera mengejar dan meraih lengannya hingga Rena berbalik, merapat ke tubuhnya, "kau bisa sombong sekarang, tapi ini belum selesai Rena!" katanya menyimpan sebuah ancaman. Rena berusaha melepaskan lengannya yang terasa sakit oleh cengkraman Tian.

"Lepaskan aku Tian!"
"Aku akan mem...!"
"Hei!"

Sebuah suara lagi-lagi harus menggagalkan aksi Tian. Keduanya menoleh, Tian melebarkan matanya mengetahui siapa orang itu.

Dendy Mahendra!

Sial!

"Lepaskan dia!" suruh Dendy. Tianpun melepaskan lengan Rena. Dendy Mahendra adalah orang yang sedang tak ingin ia buat kesal karena ia baru saja menjalin hubungan kerja, ia tak mau hubungan kerjanya hancur dan akan membuat dirinya kehilangan semuanya lagi.

"Ouh pak Dendy!" sapanya.

Dendy mendekat, menatap Rena, "kau tidak apa-apa?" tanyanya. Rena hanya menggeleng, sedikit mendekat padanya seraya mengerling pada Tian seolah memberitahukan kalau ia kenal dengan pria itu.

"Kalian ada masalah?"
"Eh..., tidak. Hanya...kesalah pahaman saja!" sahut Rena.

Dendy beralih menatap Tian, "kau ada masalah dengannya pak Christian?" tanyanya penuh arti.
"Seperti yang dikatakannya, hanya sebuah kesalah-pahaman!" sahutnya, "tapi..., it's ok. Permisi!" katanya pamit lebih dulu. Dendy masih memperhatikannya karena ia bisa menangkap arti tatapan pria itu terhadap Rena. Lalu iapun kembali menghadap Rena,

"Kalian punya hubungan?"
"Ehm..., dulu, iya. Kami memang sempat dekat, dan sudah lama tidak bertemu!"
"Tapi sepertinya dia masih mengejarmu?" tukas Dendy. Rena hanya tersenyum malu lalu menjawab, "aku berharap tak pernah bertemu lagi dengannya!"

Dendy diam sejenak, ia tahu Rena sungguh-sungguh mengatakan itu.

"Kau tak perlu kuatir, dia tidak akan menganggumu lagi!"

Rena sedikit terkejut, "maksud anda?" herannya.
"Kenapa anda lagi?"
"Ouh, maaf."
"Kami baru saja menjalin kerjasama, dan kurasa...dia tak mau kehilangan kerjasamanya denganku!"

Rena menatapnya, ia mengerti maksud Dendy. Pria itu akan memperingatkan Tian menggunakan kerjasama yang baru saja mereka jalin, itu bagus! Tian pasti akan kesal. Dan tentunya tak mau bangkrut lagi.

"Kau mau pulang kan?" tanya Dendy membuyarkannya, "eh, iya!" sahut Rena sedikit gugup.
"Bagaimana kalau ku antar saja kau pulang?"
"Jangan, sepertinya kau juga masih sibuk disini!" tolaknya, "aku tidak mau merepotkan."
"Aku justru lebih kuatir terhadapmu, jika kau pulang sendiri...bisa saja nanti ada yang berbuat jahat terhadapmu!"
"Tapi...!"
"Kau malu diantar pria tua sepertiku?" potong Dendy.

Rena tertegun sejenak.

"Bukan itu, hanya... memangnya tidak akan ada yang marah jika kau mengantarku?"
"Harusnya aku yang kuatir akan hal itu, wanita cantik sepertimu...pasti banyak mengincar. Atau...setidaknya kekasihmu!"
"A, aku...saat ini aku sedang sendiri!"
"Benarkah, kalau begitu aku beruntung."
"Apa?"
"Setidaknya tidak akan ada yang datang dan memukuliku!"

Rena tertawa merdu dibuatnya. Dan Dendy sangat menikmati itu, ia berhasil membuat wanita itu tertawa olehnya.

"Jadi bagaimana? Aku boleh mengantarmu pulang?" tanyanya. Rena mengangguk perlahan.

* * *

Leo menghampiri Cynthia di meja bar, Tama menelponnya karena ia bertemu Cynthia di bar dan mulai minum-minuman. Tak bisa di cegah, ketika Leo datang Tama, Eros, Viola dan Rita pun beranjak kembali ke hotel.

"Cynthia, hentikan ini!" ia merebut gelas berisi cairan yang tengah di tenggak gadis itu. Dari baunya ia tahu apa itu, "kau meminum tequila?" serunya.
"Sini!"

Cynthia berusaha merebutnya kembali dan Leo kian menjauhkannya, "apa pedulimu, kau kan tak pernah peduli padaku!" katanya lemas. Ia menjatuhkan kepalanya ke meja.

"Ayo kita pergi!" Leo mulai memungut tubuhnya,
"Tidak mau!"
Tapi tetap saja ia mengangkat tubuh Cynthia dan memapahnya keluar dari sana. Belum sampai ke mobil Cynthia sudah muntah-muntah. Mengotori baju mereka berdua. Leo kebingungan, tak mungkin ia membawa Cynthia kembali ke hotel mereka menginap dalam pakaian seperti itu. Maka iapun mencari resort di sekitar situ saja.

Setelah memesan kamar, ia meminta tolong pada service room wanita untuk membantu membuka pakaian Cynthia. Sebelumnya ia sudah membuka pakaiannya lebih dulu dan memakai robe, lalu meminta jasa laundry untuk mencucikannya. Ia tak mungkin berkeliaran keluar membeli pakaian hanya mengenakan robe saja.

Saat ini ia duduk di sofa menatap Cynthia tidur dengan hanya mengenakan dalaman saja dan tertutupi selimut. Saat terlelap, gadis itu terlihat sangat cantik. Meski cara tidurnya sungguh sembrono, telentang kesana-kemari seperti anak kecil. Tapi ia justru membayangkan jika yang ada di hadapannya adalah Rena. Wanita itu pasti sangat memesona saat tidur.

Ia segera menyingkirkan pikiran itu dari otaknya. Lalu ia mulai menaikan kakinya ke sofa panjang itu. Menatap langit-langit, ia tak mau terlalu lama menatap Cynthia tidur. Bagaimanapun dirinya seorang pria normal, di depannya ada gadis cantik yang tengah terlelap hanya tertutupi selimut, ia tak mau sampai tergoda. Jadi ia paksakan saja dirinya menutup mata.

"Kau tinggal disini?"

Rena mengangguk. Dendy mengamati rumah yang cukup besar itu, "dengan siapa?"
"Aku tinggal sendiri, hanya dengan satpam, satu tukang kebun, satu koki, satu ART!" sahutnya. Rena tak memberitahu tentang bodyguard Roger yang selalu menjaganya. Tentu!
"Keluargamu?"
"Mereka sudah tidak ada."
"Ah, maaf!"
"Tidak apa-apa, eh...aku...masuk dulu. Maaf, tidak bisa mengajakmu mampir sekarang!"
"Tidak apa-apa, lagipula kita baru saja bertemu kan. Tidak sopan juga jika aku menerobos masuk!" gurau Dendy.

Rena tersenyum padanya, senyum yang membuat jantung Dendy seakan berhenti berdetak.

"Terima kasih sudah mengantarku,"
"Kapan saja!"

Rena segera turun dan berjalan ke gerbang. Tono, satpamnya langsung membuka gerbang dan mempersilahkannya masuk. Rena sempat menoleh ke arah Dendy dan memberi senyuman sebelum berlalu ke pintu rumahnya. Dendy menatapnya hingga menghilang dari jarak pandangnya. Baru ia memutar balik mobilnya karena rumahnya memang berlawanan arah. Dan cukup jauh dari kediaman Rena. Tapi hatinya berbunga-bunga karena ia merasa Rena juga memiliki perasaan yang sama.

Memang, di usianya yang sudah 48 tahun. Dendy Mahendra masih cukup tampan dan gagah. Ia juga masih memiliki tubuh yang proporsional karena masih sering berolahraga dan fitnes. Sebenarnya ia lakukan demi kesehatan. Karena ia menyadari putri tunggalnya belum menikah, masih sangat membutuhkannnya. Dan masih belum mau terjun ke bisnis padahal ia sudah menyuruhnya untuk membantunya di kantor. Agar suatu saat bisa menggantikannya.

* * *

Malam bergerak lambat, Rena belum mampu memejamkan matanya. Ia masih teringat tatapan Dendy, dari semua pria yang menjadi targetnya. Tak ada yang menatapnya seperti Dendy Mahendra menatapnya, tatapan yang penuh kekaguman tulus. Dan tatapan itu, mengingatkannya kepada Leo. Ia pernah menangkap Leo menatapnya seperti itu saat di pantai, meski ia ragu. Mungkin itu hanya perasaannya saja, karena ia sungguh tak mampu membaca mata Leo setiap mereka bertatapan.

Mengingat Leo, pria itu saat ini sedang berlibur di Singapore bersama teman-temannya. Ia justru berkhayal jika seandainya ia bisa berlibur dengan pria itu. Pasti akan sangat menyenangkan. Apalagi Leo sempat menawarinya sebelum pergi, meski itu ramai-ramai. Ia jadi tersenyum sendiri, tapi senyum itu lenyap ketika pintu kamarnya di gedor dengan kencang. Sebelumnya Roger sudah memutar gagangnya, tapi ternyata di kunci, itu sebabnya ia mengetuknya dengan kencang.

Rena menatap pintunya, sebenarnya ia malas sekali membukanya. Ia malas menatap wajah Roger yang akan menampakan senyum iblisnya akan hasil kerjanya. Pintu itu kembali tergedor.

"Rena!"

__________o0o__________

Selanjutnya, || # SPS #Prolog

Minggu, 24 April 2016

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Sepuluh

Sebelumnya, SPS #Bab Sembilan


Cynthia memasuki kamarnya bersama Tania, karena Rita sudah sekamar dengan Viona. Sementara Leo satu kamar dengan Alan, Tama dengan Eros.

"Wah..., kamarnya nyaman sekali. Untung milik papamu ya, kalau tidak pasti bikin kantong bolong!" seru Tania seraya meletakan tasnya di meja.
"Sebenarnya tidak sepenuhnya milik papa, hotel ini papa bangun bersama dua temannya yang memang domisili di sini. Tapi untungnya, papa adalah pemilik saham terbesarnya!"
"Leo seharusnya merasa beruntung bisa di cintai olehmu!"
"Seharusnya?" seru Cynthia heran, Tania segera menutup mulutnya. Ia baru sadar harusnya ia tak bicara seperti itu di depan Cynthia, Leo memang tak mencintai Cynthia, dan ia tahu betul akan hal itu. Tapi jika Cynthia sampai tahu bahwa Leo tak akan pernah membuka hatinya untuk gadis itu, hem...

"Maksudku, ya...dia beruntung sekali. Tapi kenapa, sampai sekarang kalian belum pacaran?" ia pura-pura tak tahu alasannya.
"Bukannya kau pacarnya Alan, dan Alan itu sahabat karib Leo. Mungkin...kau bisa membantuku?"
"Membantumu?"
"Aku memang kenal Leo lama, tapi dia terlalu tertutup padaku." ungkapnya sambil mendudukan diri di kasur, "aku bingung harus bagaimana lagi untuk bisa menarik perhatiannya, apakah menurutmu aku kurang cantik?"
"A..., Cyn...!"
"Mungkin kau tahu gadis seperti apa yang di sukai Leo, kau bisa bertanya pada Alan kan?"
"Cynthia, masalah itu...aku kurang tahu. Leo memang tertutup soal masalah pribadinya, dan juiur...aku tidak terlalu akrab dengannya. Tapi menurutku, kau tak perlu menjadi orang lain untuk bisa membuat Leo menyukaimu, kau hanya perlu lebih menunjukan perasaanmu saja!"
"Aku sudah melakukan apapun, Tania. Aku hanya ingin Leo tahu, bahwa tak ada yang mencintainya sebesar cintaku!"
"Cyn, bukankah saat ini kita sedang berlibur. Mungkin jika kau bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya kali ini, itu bisa membuatnya membuka hatinya untukmu. Manfaatkan saja kesempatan ini!" sarannya.

"Tapi aku tidak tahu harus bagaimana sekarang, tadinya aku hanya ingin mengajaknya berlibur berdua. Tapi aku tahu dia tidak akan mau, jadi sengaja...aku adakan liburan ramai-ramai seperti ini!"

Tania menatapnya kagum, "kau benar-benar sungguh sangat mencintainya, aku do'akan...semoga Leo segera menyadari hal itu!"
Cynthia tersenyum dengan dukungan Tania, "terima kasih ya, do'anya!"
Tania membalas senyuman itu.

* * *

"Leo, aku bingung terhadapmu. Menurutku Cynthia itu sudah cukup perfect, lihatlah..., dia bahkan rela mengadakan liburan ini untuk bisa menarik perhatianmu. Tapi kenapa kau selalu mengabaikan perasaannya?" cerocos Alan ketika Leo keluar dari kamar mandi.

"Kau tahu, hati itu tak bisa di paksakan Lan. Aku sudah mencoba untuk menyukai Cynthia, tapi hingga saat ini perasaanku tak bisa lebih dari teman!" sahutnya ikut merebahkan diri di kasur di sisi Alan.
"Kurang apa sih Cynthia, dia cantik, pintar, anak tunggal bos besar lagi. Banyak yang ingin merebut hatinya, hampir semuanya anak-anak pengusaha, bahkan para eksekutif muda. Nah, kau yang di pilihnya, malah menolak cintanya!"

"Bisakah kita berhenti membahas ini, lama-lama aku bisa kabur juga dari liburan ini!"
"Ok-ok, kalau kau kabur Cynthia juga akan kabur, nah...nanti yang tanggungjawab di sini siapa?"
"Kaulah, kau kan juga anak bos besar!" canda Leo menanggapi. Alan malah tertawa, "sialan kau!" makinya. Alan bangkit,

"Aku mau mengajak Tania jalan-jalan, kau tak mau mengajak Cynthia?" katanya berjalan keluar, Leo hanya mendengus.

Sepeninggal Alan, ia malah teringat pada Rena, pasti akan sangat menyenangkan jika Rena bisa ikut! Memikirkan wanita itu, ia jadi ingin mendengar suaranya. Maka iapun memungut hpnya dan menekan nomor Rena.

Rena yang sedang browsing informasi lebih lanjut tentang target barunya segera menyambar hpnya yang berdering, nama yang muncul di layarnya membuatnya mengembangkan senyum, ia segera menerima panggilan itu,
"Halo!"
"Hai, apa aku mengganggu?"
"Tidak, aku sedang bersantai. Ada apa?"
"Tidak..., aku hanya...!" Leo terdiam, tidak mungkin kan ia katakan kalau ia merindukan suaranya? "aku sudah di Singapore!"
"Oh ya!"
"Ehm..., mungkin akan lebih menyenangkan jika kau bisa di sini!"
"Terima kasih, tapi kau tahu..., aku tak bisa bebas pergi kemana ku suka. Terlebih keluar negeri!"
"Ya, aku mengerti. Tapi kau baik-baik saja kan?"
"Sejauh ini aku baik-baik saja!" sahutnya berdiri dari duduknya. Berjalan ke jendela, "jangan kuatir, aku bisa masih bisa menjaga diri!"
"Aku percaya itu, tapi jika ada sesuatu..., kau bisa menghubungiku!" tawarnya.
"Terima kasih, perhatianmu...sangat berarti untukku. Leo..., aku ingin bertanya?"
"Katakan saja!"
"Kau tidak malu berhuhungan dengan..., wanita sepertiku?"

Leo diam cukup lama.

Alan mengetuk pintu Cynthia dan Tania, kebetulan Tania yang membuka pintunya, "Alan!"
"Mau keluar jalan-jalan?"
"Ouh..., tentu saja. Sebentar ya!" ia masuk ke dalam untuk mengambil tas mungilnya. Dari dalam Cynthia bisa melihat Alan di pintu, jadi ia menghampiri.

"Hai Lan, mau kemana?"
"Aku mau mengajak Tania jalan!"
"Ouh..., itu...romantis sekali. Ehm..., ngomong-ngomong... Leo dimana?"
"Ada di kamar,"

Cynthia tersenyum.

"Sepertinya dia sedang boring, mungkin kau bisa menghiburnya!" goda Alan,
"Tak perlu kau ingatkan!" ketusnya.

"Ayok!" seru Tania yang langsung menggandeng lengan Alan, "Cyn, pergi dulu ya!" pamitnya seraya mengedipkan satu matanya. Cynthia mengangguk tanda mengerti. Lalu ia segera menutup pintu dan mengobrak-abrik kopernya. Mencari baju yang cocok untuk ia kenakan. Ia memilih terusan warna peach tanpa lengan, yang panjangnya selutut. Sengaja tak memakai blazer karena cuaca cukup cerah dan panas. Lalu ia segera menuju kamar Leo.

Leo menghilangkan tawanya ketika pintunya di ketuk, ia pun bangkit duduk, "Rena, kurasa sudah dulu ya. Nanti ku telepon lagi!"
"Ok, nikmati liburanmu!"

Rena menurunkan hpnya setelah bunyi tut panjang terdengar di telinganya. Ia tersenyum senang karena Leo menghubunginya lebih dulu. Pria itu cukup perhatian terhadapnya.

Leo melempar hpnya ke kasur lalu berjalan membuka pintu, "Cynthia!" desisnya melihat sosok yang berdiri di depan pintunya. Leo menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Cynthia terlihat cukup cantik dengan baju itu, kontras dengan kulit putihnya.

"Hai!" sapa Cynthia membuyarkan tegunan Leo, "a!" seru Leo seketika. Ia baru saja menikmati kecantikan gadis di depannya, dan kini menjadi sedikit kikuk.

"Boleh aku masuk?" tanya Cynthia, "eh....," hanya itu yang keluar dari mulut Leo. Cynthiapun nyelonong masuk saja melewatinya.

"Apa kau tidak mau pergi jalan-jalan, bukankah kita kesini untuk liburan?" tanya Cynthia seraya berbalik.
Leo menutup pintunya tapi tidak rapat.

"Aku..., sedang malas!"
"Kalau begitu tak ada gunanya kita kesini!" kata Cynthia dengan nada kecewa, Leo bisa mendengar nadanya jelas.

"Ehm...," Leo sedikit melangkah ke dalam, ia tahu jika ia tetap bersikap dingin itu akan membuat Cynthia semakin kecewa. Lagipula bukankah ia menyanggupi untuk liburan bersama? Seharusnya ia bisa mengajak gadis itu jalan-jalan bersama meski hanya sebatas teman.

Cynthia yang kini melangkah ke arahnya, berdiri di hadapannya dengan tatapan dalam yang penuh cinta, "aku berharap, aku bisa menghabiskan banyak waktu denganmu melalui liburan ini. Apa kau tidak tahu, liburan ini ku adakan kusus untukmu. Apa kau tidak senang, kalau begitu harusnya kau katakan saja tidak setuju, jadi...!" matanya memerah, dan mulai berkaca.
"Maafkan aku," potong Leo, "aku tidak bermaksud mengecewakanmu, kau benar..., harusnya kita nikmati liburan ini. Bagaimana kalau kita ke Sentosa, kali ini aku yang traktir!" ajaknya tiba-tiba. Cynthia melebarkan bola matanya dengan tatapan tak percaya, apakah ia sedang bermimpi?

"Begini saja, sebagai permintaan maafku..., aku akan turuti semua permintaanmu selama di sini. Bagaimana?"

Cynthia lebih tercengang lagi, "yang benar?" desisnya masih ragu. Leo mengangguk mantap. Cynthia pun melebarkan senyumannya, "kau tidak bohong kan?"
"Aku serius!"

Kini Cynthia tersenyum girang, "janji, kau turuti semua permintaanku?" tagihnya.
"Janji!" ucap Leo.
"Ok, kita pergi. A, tapi...aku ambil tas dulu ya?"
"Tidak perlu, kan aku yang traktir!"
"Tapi kan aku perlu handphoneku...!" sahutnya manja, "ya sudah!" tukas Leo.

Mereka segera ke kamar Cynthia untuk mengambil tasnya, dan langsung turun berniat mencegat taksi. Tapi Cynthia rupanya sudah menyiapkan mobil perusahaan papanya untuk di gunakan, karena Leo sudah terlanjur janji akan menuruti permintaannya maka ia pun setuju untuk mengendarai mobil itu.

Mereka segera pergi Sentosa,

---Bersambung.....---

Selanjutnya, ____ | SPS #Prolog

Rabu, 30 Maret 2016

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Sembilan

Sebelumnya, SPS #Bab Delapan

Leo menuruni tangga dengan menenteng satu koper kecil, pagi masih remang-remang. Itu masih jam 5 dini hari. Ia menyeret koper itu setelah sampai lantai bawah, Miko keluar dari kamar dan melihat adiknya berjalan menuju pintu depan menggeret koper.

"Leo, kau mau kemana?"

Leo terpaksa harus menghentikan langkah, memutar tubuhnya. Terlihat Miko berjalan ke arahnya, menatapnya dengan seksama. Ia masih memakai piyama, sementara Leo mengenakan celana jeans hitam, kaos Rafp & Lauren berkerah warna merah dan di lapisi jaket hitam.

"Kau mau kemana?" tanya Miko sekali lagi, "liburan!" sahutnya simple.
Miko mengernyit, "liburan?" desisnya aneh.

"Cynthia mengajakku pergi ke Singapore, dan aku sudah kadung menyetujuinya!"
"Ouh..., baguslah!" sahutnya, "mungkin dengan begitu, hubungan kalian jadi lebih baik!" harapnya.

Dan Leo harus mendengus mendengar itu, mungkin juga pak Dendy menyuruh Miko untuk membujuknya agar menyukai putrinya itu.

"Cynthia terlihat cocok denganmu, dan tulus sekali padamu!"

Leo tak menyahut, tapi pandangannya kini tertuju ke sosok yang sudah berada tak jauh di belakang Miko. Tertegun mendengar ucapan Miko.

"Aku dan Cynthia..., itu..., ku rasa kita tak perlu membahasnya. Lagipula...!"
Tin...tin...tiiiin....

Leo menoleh ke belakang sejenak, "ku rasa aku sudah di jemput, aku tak mau dia mengomel!" katanya lalu berbalik dan mulai kembali melangkah. Miko menatap adiknya hingga menghilang di balik pintu, Maya segera sadar dan mulai melangkah ke dapur. Miko meliriknya.

* * *

Kaca belakang mobil sudah terbuka dan wajah Cynthia muncul, "persiapannya beres?" tanyanya.
"Pria tak butuh banyak barang seperti wanita, yang kurisaukan justru jika kau ketinggalan hairdryermu!" gurau Leo. Cynthia tertawa seraya membuka pintu agar Leo bisa masuk di sisinya.

Sebenarnya Leo ingin duduk di depan saja, tapi ternyata sudah ada Rita di sana, dan yang berada di balik kemudi adalah pak Abdul. Sopir Cynthia. Jadi Leo tak punya pilihan, ia harus duduk di samping Cynthia setelah melempar kopernya ke jok belakang.

"Sebenarnya aku bisa naik taksi saja, kau tak perlu menjemputku!" katanya.

Terdengar tawa dari jok depan, "Tentu saja Cynthia akan menjemputmu, dia kan takut kalau kau ngumpet dan tak jadi ikut, he...he...!" candanya.
Seketika pipi Cynthia merona, Leo tersenyum saja. Mobil Serena putih itu pun melaju.
"Kau bilang kau bersama teman-temanmu, kenapa hanya Rita?" tanya Leo.
"Kan Viola sama Tama!"
"Ouh...ya, tentu saja." sahutnya setelah ingat kalau Viola baru saja jadian dengan Tama.

Tiba-tiba saja Cynthia merapat dan menggandeng lengan Leo, menyandarkan kepalanya ke bahu Leo. Seketika Leo menoleh karena terkejut, ia tak sempat menghindar. Dagunya menyentuh ujung kepala Cynthia. Tak ada yang Cynthia ucapkan, gadis itu malah menutup mata. Sepertinya pura-pura tidur agar Leo tak melepaskan diri. Akhirnya Leopun kembali menyandarkan kepalanya ke sandaran Jok. Membiarkan Cynthia menggelayut padanya meski rasa risih menyala karena empat biji mata di depan itu mengintip melalui spion tengah sambil senyum-senyum.

Sesampainya di bandara mereka langsung menuju ke Gate 2 keberangkatan, ternyata Tama dan Viola sudah di sana. Alan dan Tania juga baru datang, lalu ada Eros yang di ajak oleh Tama. Jumlah ada delapan orang sekarang.

"Sudah berkumpul semua kan?" seru Cynthia yang baru saja melepaskan lengan Leo. Alan melirik temannya dengan senyum penuh arti. Dan Leopun mengerti arti senyuman itu, ia melotot pada Alan dengan kesal. Itu justru membuat senyuman Alan mengembang menahan tawa.

* * *

Rena menatap foto pria yang di sodorkan oleh Roger padanya di meja kerja sepupunya itu. Pria itu mungkin berumur kisaran 46-48, perhitungan Rena. Tapi benar, pria itu memang berusia 48 tahun, berperawakan sedang, tampan dan masih berkarisma. Rena pikir targetnya selanjutnya akan kembali pria berkepala tiga, tapi ini lebih parah. Sudah berkepala empat dan memiliki seorang anak yang sudah dewasa, tapi untungnya dia seorang duda. Jadi tidak akan bermasalah dengan wanita lain.

"Malam ini dia akan datang di universari salah satu rekan bisnisnya, kau harus bisa berkenalan dengannya. Usahakan dia menawarimu untuk mengantarmu pulang!" ulas Roger. Rena mengangkat matanya ke arah sepupunya itu.
"Jangan mencoba berbuat ulah, Rena. Aku juga akan ada disana, dan aku bisa memantaumu langsung!" tegasnya.

"Haruskah dia?"
"Kau ingin menawar?"
Rena tak menyahut , ia justru membuang muka. Roger menyunggingkan senyum, "aku janji, dia adalah yang terakhir!" tukasnya, Rena kembali meliriknya dengan tak percaya, ada setitik asa dimatanya tapi itu sebelum Roger melanjutkan ucapannya yang justru membuatnya serasa mati seketika, "karena kau harus membuatnya menikahimu!"

"Apa!"

"Satu-satunya cara kau bisa mengambil sesuatu darinya, adalah dengan menjadi istrinya. Kau tahu kan, putrinya sudah dewasa, begitu putrinya menikah, dia akan mewariskan semuanya kepada putrinya itu!"
"Lalu kenapa bukan kau saja yang mendekati putrinya, kurasa itu lebih akurat!"
"Putrinya jatuh cinta setengah mati kepada salah satu arsiteknya, dan sepertinya..., dia menyetujui pria itu. Jadi akan sulit bagiku mendekati putrinya!"

Rena menatapnya tajam, menggerutu, "kau memang bedebah!" makinya,
"Kau mau menolaknya?" tanya Roger, "bukankah sudah ku penuhi keinginanmu, ku bebaskan ruang gerakmu, ku buatkan video terbaru adikmu, dan janjimu...kau akan lakukan apapun mauku!"

Rena sedikit memajukan tubuhnya, "yang aku mau, aku mau melihat langsung adikku. Atau, video call langsung dengannya, bukan hanya melihat video buatanmu!" geramnya.
"Untuk saat ini, aku tak bisa mengabulkannya. Tapi mungkin, jika kau berhasil menjalin hubungan dengan pria ini!" tunjuk Roger tepat pada foto yang tergeletak di meja, "kau bisa bertemu adikmu, bagaimana?"

Rena diam mempertimbangkan tawaran itu, "kau harus janji akan mempertemukanku dengan adikku!" pintanya.
"Ok, kau akan bertemu dengannya, setelah kau berhasil mendekatinya. Aku janji!"
"Ku pegang janjimu!"

Roger kembali menyimpulkan senyum, "memangnya kau bisa apa?" tantangnya, "jika terjadi sesuatu pada adikku, kau akan menyesal. Aku punya satu bukti kejahatanmu Roger, dan saat ini..., bukti itu ada di tangan yang aman. Jika terjadi sesuatu pada adikku dan padaku, bukti itu akan sampai ke tangan polisi!" gertaknya.

Roger melebarkan mata, ia melihat kesungguhan di mata Rena. Tapi ia tetap tenang, "kita lihat saja, kau tahu aku kan? Tidak sulit bagiku mencari sesuatu!"

Rena membalas tatapannya lalu bangkit dari duduknya, "aku tahu pria ini, sedikit!" katanya lalu melangkah meninggalkan ruangan.

Roger menyambar beberapa barang hingga jatuh berserakan ke lantai, "brengsek!" makinya.

Rena memasuki kamarnya dan bersandar di pintu, ia baru saja menggertak Roger dengan sesuatu yang kamuflase. Sesuatu yang tak ia miliki, tapi setidaknya ia senang bisa menciptakan sedikit ketegangan di wajah sepupunya yang keparat itu. Dan rasanya ia memang harus mencari bukti kejahatan Roger secara nyata, mungkin saja Leo bisa membantunya dengan hal itu nanti.

"Leo!" desisnya lirih. ,

Mengingat pria itu menciptakan debaran aneh di dadanya, sesuatu yang bergemuruh, yang tak mampu ia kendalikan. Ia tahu, ia telah jatuh cinta sejak pertama kali mereka bertemu meski saat itu ia hanya melihat matanya saja. Karena mata itu...,
Mata itu memberinya tatapan lain, tatapan yang tak pernah ia temukan pada semua pria yang ia temui sebelumnya. Sebuah tatapan yang tak mengandung nafsu, tatapan yang meneduhkan dan mengandung sesuatu yang membuatnya merasa di hargai.

Setitik airmata jatuh di pipinya, ia sadar siapa dirinya. Dan pria baik-baik seperti Leo, tidak akan mungkin bisa jatuh cinta pada wanita seperti dirinya.

---Bersambung.....---

SPS #Prolog

Selasa, 29 Maret 2016

Puisi | Terbajak

Ini sebuah cerita yang bukan sekedar cerita
Tentang jiwa-jiwa kerdil dalam sebuah kapal
Yang mengemban tugas demi kewajiban
Mengarungi samudra, menerjang ombak

Lalu datang jiwa-jiwa iblis bersenjatakan lengkap
Menodong, meringkus, menyerang dengan kalap
Menyergap
Menahan dengan sekap

Jiwa-jiwa ini...
Terjebak, terjerat, terperangkap
Oleh moncong-moncong berlaras panjang yang terangkat
Penuh timah-timah yang siap melesat

Getar tubuh kian meraja
Memikir akan datangnya ajal

Do'a - do'a kami panjat
Harapkan datang malaikat penyelamat
Membebas, melepas ikat, jerat
Membawa pulang dengan selamat

©Puisi ini di dedikasikan untuk 10 WNI awak dari kapal Tunda Brahma 12 dan Tongkang Anand 12 yang di bajak dan di sandra oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Filiphina.

Sabtu, 27 Februari 2016

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Delapan

Sebelumnya, SPS #Bab Tujuh


Rena masih diam terpaku di tempatnya, bahkan ketika mata orang itu menemukannya dan menghentikan langkah. Sudah kepalang basah, mau melarikan diripun pasti akan di kejar. Orang itu terlihat berbicara pada temannya lagi, setelah temannya pergi iapun berjakan menghampiri Rena. Wanita menawan yang sempat membuatnya tergila-gila, bahkan hingga saat ini, wanita itu masih saja terlihat begitu menggoda di matanya.

Pria itu berdiri di hadapannya, "Rena," sapanya, "lama kita tidak bertemu, kau..., semakin cantik saja!" pujinya dengan memberi tatapan liar yang sudah pasti bisa Rena tebak.

"Aku buru-buru!" katanya melangkah, tapi pria iru menahan lengannya hingga langkahnya harus tertunda, "aku punya banyak waktu, jangan tergesa-gesa!"

"Lepaskan Tian!" rontanya, tapi pria itu tak melepaskan lengan Rena.
"Apa kau sedang berkencang dengan pria itu, Rena..., lebih baik kau kembali padaku daripada kencan dengan pria beristri, dia tak bisa memberimu masa depan!" rayunya,

"Hubungan kita sudah berakhir, Tian. Lepaskan aku!"
"Itu bagimu, kau yang pergi secara sepihak. Aku masih menyukaimu, ayolah Rena..., tidakkah kau merindukan aku?" katanya mendekatkan diri hingga tubuh mereka hampir bersentuhan.

Memang, sampai saat ini Tian belum tahu maksud tujuan Rena mendekatinya, ia juga tak merasa curiga dengan aap yang Rena ambil darinya. Itu hanya kebetulan, ada salah satu orang kantornya yang berkhianat, jadi...otomatis jadi kambing hitam dan Rena selamat. Sekarang ia sedang mulai memulihkan kembali perusahaannya dengan bantuan teman.

"Maaf Tian, tapi aku sedang terburu-buru, dan aku tidak mau ada hubungan lagi denganmu!"
jawaban Rena membuatnya terdiam, lalu tiba-tiba saja pria itu mendorongnya ke tembok.

"Argh!" raungnya tertahan, "ayolah sayang, aku tidak benar-benar bangkrut. Aku sangat merindukanmu!" desisnya bersiap menyerbu bibir ranum di depannya, sayangnya wanita itu menolak dengan menggelengkan kepalanya ke kiri.

"Maaf, Tian. Tapi kita tidak bisa kembali lagi seperti dulu!" tolaknya, penolakan Rena menciptakan kekecewaan di raut Tian. Pria itu sedikit menggerutu, "jadi..., kau lebih memilih bajingan itu. Setelah bosan, kau juga akan meninggalkannya..., jalang!"

Rena menatapnya seketika dengan makian Tian, "ku tinggalkan tunanganku demi dirimu, dan kau meninggalkanku demi pria itu, di saat aku jatuh...," Tian menyunggingkan senyum cibiran, "seperti itukah dirimu..., kau..., tidak lebih dari sekedar wanita murahan di pinggir jalan, kau tahu..., aku bisa mendapatkanmu lagi sekarang juga jika aku mau..., tapi kurasa...!"

"Kau baik saja Rena?"

Suara itu membuat keduanya menoleh seketika, Tian sedikit terkejut karena pria itu bukan Zach. Mata Leo menatap tajam ke arah Tian,

"Maaf bung, bisakah kau tidak kasar terhadap temanku?" pintanya, Tian membalas tatapan itu lalu melirik Rena.

Jadi..., Rena sudah tak bersama Zach lagi. Dasar wanita jalang!
Ia merutuk dalam hati, iapun menjauhkan dirinya dari Rena, menatapnya tajam, "kita akan bertemu lagi!" desisnya penuh arti, lalu menyingkir.

Setelah kepergian Tian, Leo mendekat, "kau tidak apa-apa?"

Rena menunduk dan menggeleng, ia tak mau menatap mata pria itu karena saat ini ia merasa cukup rendah, ini kesekian kalinya Leo menyelamatkannya dari pria lain.

* * *

Rena menaruh kedua tangannya di atas pembatas jembatan yang menyorong ke laut, menatapi bayangan rembulan di dalam air yang berkilauan oleh pantulan sinarnya. Leo di sisinya, bersender pembatas jembatan, posisi mereka berlawanan.

"Maaf ya, aku..., selalu bermasalah ketika kita bertemu!" ucapnya memecah keheningan yang merebak selama beberapa waktu lalu.
"Setiap orang memiliki masalah!" sahut Leo.
"Kau mendengar percakapan kami, aku..., aku bukanlah wanita yang baik untuk kau jadikan teman!"
"Kenapa kau bicara seperti itu?"
"Tian, pria tadi..., adalah salah satu korbanku...sebelum Zach!"

Leo mengernyit karena tak mengerti dengan apa yang Rena ucapkan, korban apa?

Leo memutar tubuhnya hingga menghadap Rena yang belum mengubah posisinya semula.

"Kau tahu..., dulu hidupku cukup sempurna. Keluarga bahagia, mapan, orangtuaku..., selalu mengajariku untuk tak pernah mengabaikan Tuhan. Mengajariku untuk tak pernah meninggalkan ibadah, selalu berbuat baik pada siapapun. Aku bahkan merasa Tuhan begitu mengasihiku, sampai..., semuanya terenggut begitu saja!" Rena mengubah mimiknya. Leo mendengarkan dengan seksama,

"Orangtuaku meninggal dalam kecelakaan tragis, sepupuku yang seperti malaikat..., berubah menjadi iblis!" ia menekankan kata terakhir itu, "dia merampas semuanya, tak masalah jika dia mengambil semua hartaku..., tapi adikku!" buliran bening mulai mengalir di pipinya, "dia memisahkanku dari Reno, menyandranya entah dimana, sebagai jaminan..., agar aku menjadi budaknya. Zach..., dan yang lainnya..., mereka adalah pria-pria yang aku dekati agar aku bisa mencuri data perusahaan mereka, Roger berambisi menguasai dunia bisnis!"

"Roger?"

Rena menyeka airmatanya, "aku tidak bisa melawannya, aku tidak mau adikku terluka!"
"Mungkin dia hanya mengertak, dia tak benar-benar menyakiti adikmu, kalian masih saudaranya!"
"Kau tidak mengenalnya, dia itu bukan manusia..., aku pernah melihat video yang di buatnya saat mengintimidasi adikku. Kau tahu..., adikku itu seorang Autis," Rena menatapnya, "aku berjanji pada orangtuaku untuk menjaganya, hanya aku yang dia miliki, dan aku tak bisa...membiarkannya tersakiti!"

Leo diam beberapa saat, "kenapa kau tak coba menghubungi polisi!" sarannya,

"Polisi!" desis Rena getir, ia mengalihkan pandangannya sejenak lalu membuka jaket yang menutupi tank-top merah yang membungkus tubuhnya, dengan bawahan rok jeans mini setengah paha berwarna putih. Dia terlihat seksi sekali tanpa jaket itu, Leo sedikit terkesiap melihatnya. Membuatnya mereguk ludahnya sendiri sejenak. Tapi ia segera menggelengkan kepalanya sebelum berfantasi, ia tak mau memandang Rena dengan pemikiran seperti itu.

Rena menyampirkan jaketnya di lengan kiri lalu mengangkat lengan tangannya ke udara di depan Leo, membuat pria itu terkejut heran, "lihatlah tanganku!" suruh Rena.

Meski kurang mengerti tapi Leo tetap memperhatikan tangan putih mulus yang menggiurkan itu, ia tak menemukan apa yang di maksud Rena, jadi iapun memberanikan diri untuk merabanya. Hampir tak ada sedikitpun lemak di sana, sebenarnya tangannya sedikit bergetar menyentuh kulit wanita itu, tapi ia tahan sebisa mungkin. Hingga akhirnya ia melihat sebuah titik di lekukan lengannya, seperti bekas suntikan.

"Apa ini?" rabanya, Rena menatapnya sembari menarik lengannya kembali.
"Setiap kali aku menolak atau melawannya, dia akan menyuntikan barang keparat itu ke tubuhku?"
"Barang...?"
"Heroin."
"Apa!"

"Jika aku pergi ke polisi, dia akan bersilat lidah. Dia akan katakan bahwa aku tidak waras karena pengaruh obat-obatan terlarang. Dan pasti, hasil pemeriksaannya akan positif. Ku lakukan segala cara agar aku tak menginginkan barang haram itu, tapi terkadang...aku tak bisa mencegah saat menginginkannya!" buliran bening mengalir deras dari matanya, "aku benci hidupku..., aku tidak tahu kenapa Tuhan membuatku seperti ini. Padahal dulu aku tak pernah mengabaikan-NYA, apakah aku kurang mencintai-NYA sampai harus di hukum seperti ini...!" tangisnya menderai, wajahnya tertunduk dan pundaknya berguncang hebat.

Leo diam menatapnya, entah sadar atau tidak tapi ia merangkakkan tangannya ke kepala Rena, membawanya ke bahunya, memeluknya erat. Tangis Rena kian menjadi di bahu Leo, "hidupku hancur..., dan aku tidak tahu pada siapa harus bernanung..., tak ada yang bisa ku mintai pertolongan, bahkan Tuhan sekalipun...!" mendengar itu, entah kenapa hati Leo terasa pedih.

 Rena, wanita itu..., di balik senyum menggoda dan tutur lembutnya, serta penampilannya yang glamor, ada sebuah rekayasa. Rekayasa yang tak bisa di tolaknya. Wanita itu mengorbankan hidupnya, masa depannya, demi adiknya agar tetap hidup.

Leo mengelus punggungnya seolah menenangkannya, dan Rena..., justru menjadi wanita pertama yang menangis di bahunya. Yang membasahi pundaknya dengan airmata ketidakberdayaan.

* * *

Maya diam menatap langit-langit di atasnya, tak seperti biasanya, malam ini selesai merampungkan tugas kantornya Miko langsung menyusupkan diri di balik selimut. Biasanya akan mengajaknya bercengkrama dulu, lalu perlahan merambat ke kemesraan yang akan membawa mereka terlelap hingga pagi menjelang.

Maya melirik ke samping, di mana suaminya tengah memunggunginya, ia pun memiringkan tubuhnya. Ingin ia bertanya tapi takut salah pertanyaan dan akan membuat mereka bertengkar. Maka ia putuskan untuk tak membuka suara, tapi ia meringsutkan diri merapat suaminya lalu melingkarkan lengannya ke tubuh suaminya. Miko membuka mata seketika saat merasakan sentuhan tangan istrinya, tapi ia segera menutupnya kembali. Tetap bergeming.

Mereka seperti itu hingga masing-masing melelapkan diri.

Leo mengantar Rena ke mobilnya, "kau mau aku antar?" tawarnya, "tak perlu, jika sepupuku melihatmu..., dia tidak akan suka!" tolaknya,

Rena membuka pintu mobil dan siap memasukan dirinya ke dalam, "Rena!" panggil Leo yang membuatnya harus menunda apa yang akan di lakukannya, ia menoleh,

"Jika kau butuh bantuan, kau bisa hubungi aku kapan saja!" tawarnya lagi, Rena menatapnya dalam lalu tersenyum, "kau tidak keberatan?" tanyanya.

"Aku akan senang bisa membantumu, oya..., aku punya kenalan seorang dokter yang menangani..., para pemakai narkotika. Dia bekerja di panti rehabilitasi, jika kau mau...!"

"Maksudmu...aku harus menjalani rehabilitasi?" nada Rena sedikit ada amarah,
"Kau tak perlu tinggal di sana, aku mengerti..., kita bisa...bertemu dengannya di tempat lain. Tapi..., itu jika kau tak keberatan!"

Rena menatapnya lama, mungkin..., pertemuannya dengan Leo bukanlah kebetulan. Tuhan sengaja mengirim pria itu untuk menyelamatkannya. Sejak pertama kali bertemu, ia memang sudah jatuh hati pada pria di hadapannya itu, tapi ia sadar siapa dirinya.

"Kau masih menyimpan nomorku kan?" katanya lalu melenyapkan diri ke dalam mobilnya. Leo menatapnya sampai mobil itu meninggalkannya dan menjauh.

Ia tahu Rena gadis yang baik, tapi jalan hidupnya mengharuskannya mengalami semua itu, dan ia tidak akan membiarkan wanita itu terus terjerat oleh belenggu sepupunya. Wanitaitu berhak untuk kebahagiaannya, kebebasannya, kehidupannya.

Slir angin malam yang kian menusuk tulang membuat tubuhnya sedikit bergidik, iapun beranjak menuju parkiran motor.

Bersambung.....

SPS #Bab Sembilan
SPS #Prolog

Sabtu, 28 November 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Tujuh

Sebelumnya, SPS #Bab Enam

Setelah cukup lama menahan tawa akhirnya Rena melepaskannya juga, tawanya merdu, renyah dan gurih, tapi wanita itu tertawa sampai sedikit terpingkal-pingkal. Hal itu membuat wajah Leo makin memerah dan malu, ia jadi merasa culun dengan tingkah Rena.

Melihat ekspresi Leo yang seperti anak ABG yang baru tumbuh Rena menghentikan tawanya, sekuat tenaga ia menahan tawa yang masih menggelitik perutnya itu.

"Maaf, bukan ingin mengejekmu..hanya...aku tak bisa menahan tawa!"

Leo diam menyembunyikan rasa malunya, "kau mau aku jujur atau tidak?" tanya Rena, Leo kembali menatapnya, "tentu saja jujur, bukankah tadi sudah ku katakan?"

"Ok, sebenarnya....aku menyuruh seorang roomboy untuk membuka pakaianmu karena kau sempat muntah, bahkan juga mengotori bajuku!"
"Benarkah?"
Rena mengangguk, Leo bernafas lega.

"Memangnya kenapa jika aku yang membukanya, apa pacarmu tak pernah melakukannya?"
"Pacar, aku bahkan tak punya!"
"Lalu Maya?"

Leo terhenyak, bagaimana Rena tahu tentang Maya, apakah dirinya mengigau saat mabuk?

"Aku sedang tak ingin membicarakannya,"
"Dia yang membuatmu patah hati?"
"Sudah ku bilang aku tak mau membahasnya!"

Wajah Leo berubah kesal jadi Rena mengalah untuk tak menggodanya tentang Maya,
"Ok, sekarang kau sudah tahu tentang malam itu. Ya, tak terjadi apa-apa di antara kita jadi jangan pasang muka malu-malumu itu!"
"Siapa yang malu-malu?"

Rena tersenyum saja, pesanan merek tersaji di atas meja.
"Wah...aku lapar sekali, ayo kita makan!" katanya mulai memungut sumpit, baru satu suap saja makanan yang ia masukan hpnya berdering, iapun terpaksa harus mengangkatnya apalagi nama yang terpapar di layar hpnya,

"Sebentar ya!" katanya menyingkir ketika menerima panggilan itu, Leo memperhatikannya,

"Ada apa?"
"Kau dimana?"
"Sedang makan siang dengan teman!"
"Aku menelponmu karena kau lihai sekali membuat orangku kehilangan jejak, aku tidak suka itu!"
"Dan aku tidak suka kau terus menyuruh orang untuk membuntutiku!" katanya setengah berbisik, "itu untuk keamananmu Rena, karena aku yakin Zach pasti masih mengejarmu!"
"Aku masih bisa mengatasinya sendiri!"
"Jika terjadi sesua.....
"Roger, ingat....kau berjanji akan memberiku sedikit kebebasan dan imbalannya...aku akan lakukan permintaanmu!"

Rena menunggu beberapa detik, "ok, tapi ingat. Jangan berbuat macam-macam!"
"Aku tahu!" katanya mematikan hpnya, ia melirik Leo yang ternyata memperhatikannya. Iapun menghela nafas panjang sebelum kembali ke meja dimana Leo berada.

"Maaf, itu tadi sepupuku!"
"Pacarmu juga tidak apa-apa!"

Rena sedikit tertegun, lalu ia menyunggingkan senyum kecut, "aku tidak tahu, apakah hubungan seperti itu bisa di sebut pacar?" desisnya. Sahutan Rena seolah sebuah jarum yang menusuk sang pemilik kata sendiri, Leo merasakan ada kepedihan dalam nadanya.

Rena diam menatap Leo ke dalam matanya, "apa kau pernah mengalami ini, saat hidupmu....di kendalikan orang lain. Bahkan kau merasa.....kau tak punya hak apapun untuk dirimu sendiri?"

Leo diam mencerna kalimat wanita itu, mata Rena berembun tapi wanita itu segera saja menyeka airmata yang hampir saja tumpah. Lalu tiada lagi kata yang terlontar, ia kembali menyantap makan siangnya dengan lahab. Mencoba tak menatap pria di hadapannya, tapi Leo bisa membaca kalau wanita di depannya itu sedang dalam tekanan besar, ia ingin bertanya tapi ia tak ingin menelenyapkan selera makannya saat ini.

Setelah mereka selesai makan siang, Leo mencoba kembali membuka percakapan, "Rena, apakah malam ini ada waktu?"
"Ehm..., aku belum tahu jadwalku malam ini. Memangnya kenapa?"
"Tidak ada apa-apa, hanya....mungkin kita bisa menghabiskan sedikit lebih banyak waktu bersama. Aku jarang dapat teman bicara wanita yang nyaman seperti mu!"

Rena memandangnya aneh, tapi jujur ia senang dengan tawaran pria itu.

"Aku juga.....tak pernah merasa senyaman ini ketika sedang bersama seseorang!" katanya sedikit menunduk, Leo menangkap sesuatu makna dalam ucapan Rena. Ia jadi ingat Rena pernah bercerita tentang hubungannya dengan pria malam itu yang bernama Zach, katanya wanita itu sengaja mendekati Zach untuk sebuah tujuan. Tapi Rena belum cerita apa dibalik tujuannya sengaja mendekati Zach!

"Maaf, aku tidak bermaksud....," Kalimat Leo terpotong oleh gelengan Rena, sebuah senyuman perih tersungging di bibir manisnya, "terima kasih ya, sudah sedikit meluangkan waktu untukku. Jika nanti malam aku tidak ada acara....aku akan menghubungimu!"

"Itu terdengar bagus," Leo menilik arlogi di pergelangan tangannya, "maaf Rena, aku harus kembali ke kantor!"

Rena tersenyum dan mengangguk, Leo berdiri, "terima kasih makan siangnya!" tapi ia masih belum beranjak. Entah kenapa seperti ada yang membuatnya tertahan, menatap wanita itu.....ia merasa masih ingin duduk di depannya. Karena ia bisa merasakan kalau Rena seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting, sesuatu yang selama ini di tahannya seorang diri. Tapi waktu harus mengingatkannya untuk kembali ke kantor atau ia bisa kena masalah. Iapun beranjak pergi dari sana, Rena menatapnya hingga menghilang dari pandangannya.

Rena menatap dadanya perlahan, ia memejamkan mata untuk meresapi sesuatu di dalam rongga dadanya. Sebuah debaran aneh setiap kali ia menatap mata Leo, debaran yang justru membuatnya takut untuk hanya sekedar memimpikannya.

Leo sendiri merasa aneh menyadari ia menanyakan apakah Rena punya waktu untuk bisa keluar bersamanya malam ini, sebelumnya ia tak pernah bertanya seperti itu pada wanita manapun. Tak pernah mengajak wanita manapun untuk pergi bersamanya.

* * *

Ketika Leo berjalan ke arah ruangannya yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan staf marketing, Maya yang berada di dalam ruangan sebagai salah satu staf marketing melihatnya, ia segera keluar dan memanggilnya,

"Leo!"

Iapun menghentikan langkah menolehnya, "kau darimana saja, pak Dendy mencarimu?" tanyanya.
"Ada apa?"
"Aku tidak tahu, tapi dia berpesan jika kau sudah kembali nanti di suruh ke ruangannya setelah meeting. Karena saat ini beliau sedang ada meeting direksi!"
"Ouh, terima kasih!" sahutnya lalu kembali melanjutkan perjalanannya ke ruangannya, Maya memandangnya, ia ingin mencoba bersikap biasa agar Leopun bisa bersikap biasa.

Leo menembus ruangan yang berisi dua orang di sana, sesama arsitek, tapi ia tidak di ruangan itu melainkan di ruangan yang ada di dalam ruangan itu sebagai kepala arsitek di perusahaan. Sebenarnya sampai saat ini ia merasa tidak enak dengan Tama yang lebih senior dari dirinya, menurutnya Tama lebih pantas menjabat sebagai kepala arsitek ketimbang dirinya tapi entah kenapa pak Dendy malah memilihnya setelah pak Amar mengundurkan diri karena pindah keluar negeri.
Itu sebabnya ia juga tak segan untuk meminta saran dan pendapat kepada Tama dan Eros di setiap rancangan.

"Leo, pak Dendy mencarimu!" seru Tama, "itu artinya masalah baru!" sahutnya, ia duduk di meja Eros.

"Kenapa tak kau lamar saja Cynthia, agar pak Dendy tidak pusing!" goda Tama,
"Kenapa bukan kau saja, bukannya kau menyukainya diam-diam!"
"Cynthia tak pernah melirikku, lagipula aku memang tak dekat dengannya!"
"Apa pak Dendy meninggalkan pesan?"
"Ya!" sahut Eros, Leo menolehnya, Eros berdiri dan mendekatkan mulutnya ke telinga Leo, "segera nikahi putriku, dia sudah tidak tahan!" bisiknya di sertai cekikikan, Leo memungut kertas di meja dan memukulkannya ke kepala Eros. Pemuda itu malah makin geli tertawa seraya menarik dirinya.

"Kerjamu jangan bergosip terus, aku malu lihat hasil kerja kalian!" katanya menarik diri dari meja Eros dan berbalik,
"Nah, ini dia yang harus kita diskusikan. Aku dan Eros punya sedikit perbedaan pendapat soal posisi taman yang akan kita tambahkan di sisi kondominium!"

"Proyek ini sangat besar, jadi....kita benar harus mendiskusikannya secara matang, ribet sekali membuat desain bangunan seperti ini!"
"Bukannya aku sudah sudah membagi bagian masing-masing?"
"Tapi kami rasa....kita membutuhkan sentuhanmu di setiap bagian. Agar hasilnya lebih maksimal!" seru Tama,
"Iya, yang sedang kita rancang adalah sebuah kondominium megah, dimana setiap rumahnya harus benar seperti yang di harapkan. Sudah ada calon klien yang memesan beberapa rumah dengan desain yang beginilah, begitulah....gaya ini gaya itu, membuatku tambah pusing saja!" keluh Eros.

"Ok, kalau begitu....mari kita kerjakan ini," ajak Leo.

Baru mereka hendak membahasnya bersama seseorang masuk ke ruangan itu , Miko rupanya,
"Leo, pak Dendy sudah menunggumu di ruangannya! Kata Maya kau sudah kembali, jadi aku sendiri yang ke sini!"
"Ok, aku segera kesana!" katanya pada Miko lau kembali menoleh dua rekannya, "ok guys, kita lanjutkan nanti!" katanya lalu keluar ruangan.

Sebenarnya ia sudah malas kalau yang akan di bahas itu soal Cynthia, ia mengetuk pintu ruangan pak Dendy lalu masuk,
"Maaf pak, anda memanggil saya?"

Pak Dendy yang sudah mendongak ke arahnya menjawab, "iya, masuklah!" Leo segera menghampiri dan duduk.

"Ada kesulitan dengan proyek ini?" tanya pak Dendy, "kami sedang mendiskusikannya pak!" sahutnya,

"Tak usah terlalu terburu-buru, aku tidak mau asal jadi!"
"Jangan kuatir soal itu pak, kami sedang mengusahakan mendapatkan hasil yang terbaik!"

Ia merasa sedikit lega karena pak Dendy hanya membicarakan seputar pekerjaan saja, jadi tidak terjadi perdebatan.

* * *

"Kalian pulang saja dulu, masih ada banyak waktu!"
"Ok!"

Leo menyuruh Tama dan Eros pulang dulu sementara dirinya masih duduk di kursinya hingga malam, sebenarnya sambil mengerjakan pekerjaannya ia juga menunggu telepon Rena. Ia berharap wanita itu akan menelponnya, entah kenapa ia ingin sekali tahu banyak tentang wanita itu.

Tapi hingga hampir jam sembilan malam tak ada satupun telepon dari Rena, justru nama Cynthia yang muncul ketika hpnya berdering, dengan malas ia menerima telepon itu,

"Halo!"
"Halo, sedang apa?"
"Aku....masih di kantor!" katanya seraya memutar-mutar kursi yang di dudukinya.
"Masih di kantor?"
"Hanya....sedikit melanjutkan pekerjaan!"
"Ini sudah malam, sebaiknya kau pulang!"
"Tidak apa-apa, besok kan sabtu!"
"O iya, ehm....kalau begitu.....besok kau ada waktu kan?"
"Kenapa?"
"Kita pergi liburan yuk, nanti ku ajak temanku juga jadi kita pergi rame-rame!"
"Liburan!"
"Iya, sumpek di rumah terus!"
"Cyn....,"
"Ayolah...please.....nanti semua akomodasinya aku yang tanggung!"
"Memangnya mau kemana?"
"Singapore!"
"Ke Singapore?"
"He-em, nanti kita menginap di hotel papa. Jadi gratis!"
"Tapi Cyn....,"
"Please....ayolah.....sekali ini....saja!" rengek Cyntia.

Leo menggaruk lehernya, sebenarnya ia juga butuh refreshing sih, tapi bukan bersama Cynthia tapi......sepertinya tidak apa-apa sekali-kali.

"Jika ku ajak teman boleh?"
"Ehm...intinya kau mau?"

Leo menjijing satu alisnya, tapi sudah tentu gadis yang di ajaknya bicara tak akan bisa melihatnya.

"Ok, asalkan kau mau ikut aku tidak akan keberatan meski kau bawa banyak teman!"

"Ok, aku ikut!"

Cynthia tersenyum girang seolah Leo bisa melihatnya, "ok, besok langsung kumpul saja semuanya di airport. Masalah tiketnya tak usah di pikirkan!"

Setelah sambungan telepon dari Cynthia terputus ia segera menghubungi Alan, temannya itu langsung menerima panggilannya dan sudah pasti tidak menolak untuk ikut serta. Setelah berbicara dengan Alan, Leopun mulai sedikit ragu-ragu untuk menghubungi seseorang. Akhirnya....

Rena yang sudah berganti piyama segera menyambar hpnya yang berdering, senyumannya mengembang melihat nama di layarnya yang muncul,
"Halo!"
"Hai, malam!"
"Malam, ehm....., ada apa, ada yang pentingkah? Ku rasa kau sudah mendapatkan penjelasanku tadi siang!"
"Aku hanya.....ehm...begini, temanku mengajakku pergi liburan ke Singapore. Mungkin saja kau mau ikut!"
"Ke Singapore?"
"Bagaimana?"
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa!" katanya merebahkan diri dengan menelungkup, Leo mendesahkan sedikit rasa kecewa tapi ia tak ingin Rena tahu itu, "begitu, tak apa-apa!" kediaman merebak cukup lama, lalu suara Rena memecahkannya,

"Sebenarnya aku ingin sekali ikut, apalagi sudah lama sekali aku tidak pergi ke sana. Tapi....,"
"Tapi kenapa?"
"Hanya saja aku tak bisa pergi sekarang, mungkin lain kali aku bisa memberitahumu alasannya tapi tidak sekarang!"
"Ok!"
"Kau marah?"

Leo tertawa ringan, "kenapa harus marah?" sahutnya, "mungkin karena kau kecewa!" tukas Rena.

"Sebenarnya aku sedikit malas pergi bersama mereka tapi aku sudah kadung janji, tadinya ku pikir kau bisa ikut!"
"Maaf sekali ya!"
"Tidak apa-apa. Ya sudah, kau istirahat saja!"
"Memangnya kau dimana?"
"Masih di kantor!"
"Mas-sih di kantor?" sahut Rena seraya bangkit duduk, "di jam segini?"
"Ini sudah mau pulang kok, sebenarnya sih aku lapar sekali. Belum sempat makan malam!" kalimat Leo seolah sebuah ajakan untuk Rena agar mau menemaninya makan malam. Rena melirik jam dinding di kamarnya,
"Mau aku temani?"
"Jika kau sudah mau istirahat, itu sungguh tidak perlu. Mungkin aku akan makan di rumah saja!"
"Tidak apa-apa, aku bisa kok malam ini!"
"Benar?"
"I....yah!"
"Ok, mau aku jemput?"
"Tidak usah, aku bawa mobil sendiri!"
"Ok, ehm....bagaimana kalau kita bertemu di pantai saja!"
"Fine!"
"Ok, bay!"
* * *

Rena segera berganti baju dan keluar, untungnya Roger belum pulang.
"Nona, anda mau kemana?" tanya Rudi saat Rena menghampiri mobil.
"Bertemu seseorang!"
"Ini sudah malam nona!"
"Aku tahu!"

Tapi Rena tetap saja memasuki mobil tanpa memperdulikan Rudi dan langsung tancap gas. Leo sampai lebih dulu, ia duduk di salah satu meja di sebuah restoran outdoor sambil memandangi lautan lepas.

Setelah di pikir-pikir, ini aneh juga. Selama ini ia tak pernah agresif terhadap wanita, tapi ini ia lakukan setelah bertemu Rena. Apakah saat ini ia sedang melakukan PDKT pada wanita itu? Tapi saat bersama Rena ia seolah bisa menepiskan bayangan Maya dari hatinya.

Rena berjalan terburu ke arah tempat Leo berada, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang yang di kenalinya berada tak jauh di depannya. Matanya melebar dan rasa takut segera merayapinya, ia ingin segera menyingkir tapi tiba-tiba lututnya bergetar hebat hingga ia tak mampu menggerakannya. Ia berharap orang itu tak melihatnya, tapi.....

---Bersambung.....---

SPS #Bab Delapan | SPS #Prolog

Kamis, 05 November 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Enam

SPS # Bab Lima

Mata mereka masih beradu, tapi Leo segera mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Langkah pelan yang Maya cintakan begitu lembut, ia berjalan menghampiri Leo lalu duduk di sampingnya.

"Kenapa tidak tidur?"

Suara wanita itu lembut seperti biasanya, Maya memang tipa wanita yang lembut dan feminin.

"Aku belum mengantuk!"
"Aku juga tak bisa tidur!"
Leo menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya,
"Kenapa kau jarang ada di rumah?" tanya Maya, Leo tam menyahut, "kau bahkan selalu pulang larut malam, atau bahkan tidak pulang. Kata Miko, dulu kau lebih suka mengerjakan tugasmu di rumah sepulang kantor. Apa....karena ada aku?"

Leo tak menjawab, seolah mengiyakan hal itu.

"Leo, apa yang terjadi di antara kita....,"
"Tak pernah terjadi apa-apa di antara kita, iya kan!" potong Leo,
"Apa kau marah padaku, karena aku lebih memilih cinta Miko. Kalau begitu harusnya kau katakan dari dulu!"
Leo masih diam.

"Aku memilih cinta Miko bukan berarti aku sudah tak mencintamu lagi!"

Leo menonel padanya.

"Aku menunggu, menunggu pernyataan cintamu. Tapi kau tak pernah lakukan itu, lalu apakah salah jika aku memutuskan menerima cinta pria lain. Setidaknya.... Miko tidak pengecut, dia menyatakan perasaannya, menunjukan perasaannya!"

"Ok, aku memang salah. Dan mungkin aku memang pengecut. Aku tidak menyalahkanmu atau pun Miko, karena semua itu memang kesalahanku!"
"Leo, bukan begitu!"
"Bukan begitu?"

Maya membalas tatapannya, ia tahu pemuda itu masih mencintainya, "aku....aku masih tak bisa melupakanmu, aku masih mencintaimu!" ungkapnya.

"Apa?"
"Aku tak bisa melupakanmu begitu saja!"
"Maksudmu...kau menjadikan kakakku...,"
"Bukan, bukan begitu," potongnya seolah tahu apa yang akan di ucapkan Leo,"aku mencintai Miko, aku mencintainya. Tapi....., aku butuh waktu untuk melupakanmu, atau bahkan mungkin...tak bisa melupakanmu!"

Leo menyunggingkan senyum kecil di bibirnya, "Apa?"
"Kau juga masih mencintaiku kan!"
"Maksudmu....kau ingin menduakan kakakku denganku?"
"Leo, bukan begitu!"
"Lalu apa, apa kau tahu....ucapanmu tadi itu sangat tidak pantas untuk seorang wanita yang baru saja menikah!"
"Leo!"
"Ok, aku minta maaf karena selama ini aku terlalu pengecut terhadap perasaanku sendiri. Tapi sekarang keadaannya sudah seperti ini kan!"

Maya diam. Ia sedikit menunduk, ia sendiri tak tahu bagaimana ia bisa melupakan Leo sementara mereka tinggal seatap. Ia tahu betul kenapa sekarang Leo jarang ada di rumah.

"Sudah larut, sebaiknya kau ke kamar. Aku takut Miko akan mencarimu dan menemukan kita di sini!"

Maya kembali menatapnya, ia tahu apa arti kalimat itu. Secara tidak langsung pemuda itu mengusirnya dari sisinya. Tapi ia membenarkan hal itu, Miko bisa saja mencarinya dan malah memergoki mereka. Mayapun berdiri, secara perlahan ia berjalan kembali ke kamarnya meski sebenarnya ia masih ingin berbicara dengan pemuda itu.
Leo memungut kembali cangkir kopinya yang mulai mendingin, belum sempat ia menyesapnya dering dari hpnya membuatnya harus menaruhnya kembali. Ia memungut hpnya di saku celana pendeknya, nama Cintya terpapar di layar ponselnya,

"Aduh, malam-malam begini mau apa?" keluhnya tetapi ia tetap menerima panggilan itu, karena jika tidak, besok telinganya akan meledak di ceramahi oleh pak Dendy.

"Iya Cin?"
"Malam!"
"Malam!"
"Kau belum tidur kan?"
"Jika aku tidur tidak mungkin aku bicara denganmu!"
Terdengar suara tawa lembut di telinganya, "kau terlihat sedang kesal, ehm....bagaimana kalau kau main saja ke rumah!"
"Ke rumahmu?"
"Iya, papa belum pulang. Aku bosan sekali!"
"Kau bisa melakukan sesuatu kan, chatting dengan Vita atau apa!"
"Itu saran yang konyol, kalau begitu untuk apa aku menelponmu?"

Leo menggaruk kepalanya yang sudah pasti tidak gatal, bisa sampai pagi kalau melayani gadis manja itu di telepon!

Miko hanya diam saja ketika Maya memasuki kamar, ia pura-pura sudah terlelap karena memang setahu istrinya ia sudah tidur. Tapi saat ini ia sedang mengingat apa yang baru saja di dengarnya. Ia mengikuti istrinya keluar kamar dan mendengarkan percakapan mereka dari balik tembok di samping pintu belakang. Ternyata wanita yang pernah adiknya ceritakan kepadanya adalah Maya, dan sampai detik ini mereka masih saling mencintai. Sekarang ia merasa seperti orang bodoh, jadi adiknya jarang di rumah sekarang karena ada Maya.
Entah apakah Maya sering menyelinap seperti itu selama ini ketika dirinya tertidur?

* * *

Pagi itu Miko hanya diam saja, ia tak terlalu cerewet ketika seperti biasa Leo hanya menenggak air putih tapi kali ini adiknya memungut rotinya dan memakannya seraya berjalan.
Tapi Miko mencoba untuk bersikap biaa terhadap istrinya. Adiknya dan istrinya menyembunyikan darinya bahwa sebenarnya mereka memiliki perasaan yang sama, jadi iapun tak ingin mereka tahu kalau dirinya sudah mengetahui hal itu. Dan untungnya Maya tidak curiga dengan sikapnya.

Rena duduk diam di meja makan, ia hanya memandangi makanan yang terhidang di piringnya.
"Jika kau tidak mau makan kau bisa sakit, dan jika kau sakit....itu akan sangat merepotkan!" seru Roger yang masih mengunyah makanannya.
"Aku ingin menelpon adikku!"

Mendengar itu Roger berhenti mengunyah, menatapnya dalam, "dia baik-baik saja, selama kau menjaga sikap!" sahutnya.
"Aku ingin mendengar suaranya!"

Roger tertawa ringan, "kau tahu betul bagaimana keadaan adikmu, dia itu autis. Apa kau pikir dia akan bilang, "hai kak, aku kangen!" saat mendengar suaramu?"

Rena hanya diam,

"Aku hanya ingin tahu kalau dia baik-baik saja!"
"Sudah ku katakan padamu, dia baik-baik saja sejauh ini. Nanti akan ku minta seseorang membuat video saat dia menyapamu, ok!"
"Roger, aku ingin bertemu dengannya!"

Roger menaruh sendoknya lalu menatap Rena tajam, "aku tidak suka kau terlalu banyak menuntut ini itu, sudah untung ku biarkan kalian hidup!"

Rena menatapmya tajam, "dan kenapa kau menatapku seperti itu, ingin melawanku lagi?"
Rena tak menjawab, ia tahu apa akibatnya jika ia melawan atau tidak menurut pada Roger. Tapi kali ini ia beranikan untuk meminta sesuatu, "aku akan lakukan apa maumu, tapi aku minta sedikit kebebasan. Aku bosan jika terus terkurung di sini!" ungkapnya.

Roger sedikit mengernyit tapi ia masih diam menunggu apalagi yang akan Rena minta, "kau tahu aku tak mungkin lari darimu, apalagi ke polisi, aku hanya....,"
"Ok, aku tidak akan membatasi ruang gerakmu. Asal kau tidak mencoba berbuat macam-macam, kau tahu apa akibatnya jika kau mencoba mengkhianatiku kan?"

Rena mengangguk.

"Good, dan siap-siaplah. Kau akan segera punya pacar baru!" seru Roger dengan senyum iblisnya lalu beranjak pergi.

Rena masih diam di tempatnya, itu artinya Roger akan segera menyuruhnya untuk beraksi. Kali ini siapa lagi, semoga tak lebih berbahaya dari Zach. Tapi jika benar sekarang Roger tidak akan membatasi ruang geraknya, itu artinya ia akan punya waktu untuk menemui Leo.

Mengingat pria itu, Rena jadi menciptakan senyuman di bibirnya. Ia segera beranjak ke dalam kamarnya, kalau untuk bersih-bersih rumah dan memasak, Roger sudah menyiapkan orang. Dan semuanya adalah pria, termasuk kokinya. Jadi Rena adalah satu-satunya wanita yang tinggal di rumah itu, Roger sengaja tak mau Rena yang mengerjakan semua pekerjaan rumah karena ia tak mau merusaknya. Tentu saja, Rena adalah aset berharganya, ia ingin wanita itu selalu tampil menawan bak seorang putri raja. Memiliki kulit yang mulus dan licin, juga terawat. Bahkan ia menyewa seorang ahli kecantikan kusus untuk merawat tubuh Rena yang sudah menjadi langganannya.

Di kamar Rena segera menyambar hpnya dan menkan sebuah nomor tanpa ragu, panggilan itu tak mendapat tanggapan hingga saluran terputus. Ia mengulangi panggilannya hingga tiga kali lalu melempar hpnya di kasur. Memandanginya sejenak lalu segera berganti pakaian.

Setelah selesai ia segera keluar rumah, tapi di teras ia di cegat salah satu centeng Roger,
"Nona, anda mau kemana?"
"Ada urusan!"
"Tapi Nona...,"
"Apa kalian tidak tahu, bosmu sudah membebaskan aku untuk melakukan apapun mulai hari ini!"

Rudi seolah tak percaya, ia segera menelpon Roger dan Rena membiarkan saja.

"Biarkan saja dia pergi, dan turuti semua kemauannya. Tapi...kau tahu apa yang harus kau lakukan kan?"
"Iya bos!"

Rudi menurunkan hpnya, "bagaimana?" tanya Rena, Rudi menatapnya tanda mengerti.
"Maaf nona, saya belum tahu!"
"Boleh aku bawa mobil?"

Rudi sedikit melebarkan mata tetapi lalu ia menyodorkan kuncinya pada Rena, "terima kasih!" Rena menerimanya lalu langsung berjalan ke dalam mobil.

Setelah mobil Rena menjauh ia menelpon seseorang, "hei, kau di posisi?" tanyanya, "Mau dimana lagi!" sahut Edo.
"Nona Rena membawa mobil yang biasa ku bawa!"
"Ok, siap!"

Begitu mobil yang di kendarai Rena melintasinya, ia segera menjalankan motornya untuk membuntuti. Tapi agar tak membuat targetnya curiga ia tetap menjaga jarak.

* * *

Leo memasuki ruangannya, meletakan gulungan kertas di tangannya ke meja. Ia menghempaskan diri ke kursi seraya melirik hpnya di meja. Entah kenapa ia seperti terdorong untuk memungut dan memeriksa benda itu. Ia pun menyambar hpnya dan membukanya, ternyata ada 3 misscall, dan semuanya dari Rena.

Tanpa pikir panjang ia segera menghubungi nomor itu, Rena memungut hp di pangkuannya ketika benda itu berdering, apalagi melihat nama yang muncul di layarnya
"Halo!" sahutnya,
"Hai, ehmm....kau menelponku?"
"Iya, tapi sepertinya kau sedang sibuk!"
"Ada yang penting?"
"Bukannya kau yang ingin kita bertemu, karena semalam aku tak bisa datang jadi ku pikir mungkin hari ini....,"
"Sekarang kau ada di mana?"
"Aku sih sedang di jalan,"
"Ehm....begini. Karena hari ini aku masih ada kerjaan, bagaimana kalau makan siang nanti kita bertemu....ehm....dimana ya?"
"Bagaimana kalau di resto dekat klub kita minum bersama, ada resto korea yang enak, belum lama buka sih. Tapi...kau suka makanan Korea kan?"
"Ya, aku suka sesuatu yang pedas!"
"Ok, kita bertemu di sana!"

"Ehm, Rena!" panggil Leo saat Rena hendak mematikan hpnya,"iya!" sahut wanita itu.
"E......nanti saja!"
Rena mengangguk seolah Leo bisa melihatnya, lalu nada tut yang panjang terdengar di telinganya.

Leo menaruh hpnya di meja kembali, ia jadi ingat tentang malam itu. Meski ia yakin tak terjadi apa-apa, tapi tetap saja ia butuh kepastian. Karena malam itu ia mabuk berat, kalau pun memang terjadi sesuatu....itu bisa saja kan?"

Sebelum ke restoran karena itu masih pagi maka ia pun pergi ke tempat yang dulu sering ia kunjungi semasa kuliah.

Ternyata beberapa temannya masih suka nongkrong di sana, "eh, siapa tuh?" seru Afdal, Rena turun dari mobil dan beberapa orang itu memeperlihatkan ekspresi heran bercampur bahagia, apalagi ketika wanita itu menghampiri mereka.
"Hai guys!" sapa Rena,
"Wuiss..., Rena. Kemana saja selama ini, ngilang begitu saja!"
"Sorry, sibuk!"

"Ada apa tiba-tiba kemari?"
"Ceritanya tidak boleh nih?"
"Bukan begitu, heran saja....!" timpal Ando, Rena tertawa manis, ia duduk menggeser Afdal.

Beberapa mobil sport berjejer di parkiran, mereka adalah anak-anak komunitas mobil sport. Dulu Rena adalah salah satu anggota mereka, jadi kebut-kebutan di jalanan dengan mobil itu sudah biasa baginya, itu sebabnya di Edo sampai kehilangan jejak.

"Ngomong-ngomong....mobilmu mana?"
"Eh...itu...sudah lenyap. Kalian tahu, sejak papa meninggal aku berhenti balapan!"
Mereka ngobrol lama melepas kangen, sembari menunggu jam makan siang akhirnya Rena pun kembali menjajal kemampuannya dengan beberapa teman. Terpaksa ia harus pinjam mobil Doni. Kangen juga terjun ke jalan seperti itu.

* * *

Leo hendak beranjak ketika Miko masuk ke ruangannya, Miko menghentikan langkah di pintu ketika melihat adiknya keluar dari meja dan berjalan ke arahnya.

"Kau mau keluar?"
"Ini memang jam makan siang kan!"
"Kalau begitu kita bisa makan bersama, ada yang ingin ku bicarakan!"
"Maaf Mik, aku ada janji dengan seseorang!" katanya berhenti di depan kakaknya, "ini penting sekali!"
"Urusan kantor?"
"Bukan sih, tapi aku buru-buru nih. Takut telat!" katanya melewati kakaknya, Miko menatap punggung adiknya yang berjalan menjauh.

Leo janjian dengan seseorang, dan katanya penting sekali, siapa?

Leo segera melaju dengan kecepatan tinggi karena karena tempat pertemuannya dengan Rena memelurkan jarak tempuh yang cukup jauh dari kantornya, ia tak mau membuat wanita itu menunggu terlalu lama dan kemudian pergi. Dan akhirnya mereka harus batal bertemu lagi.

Rena menyedot minuman yang ada di mejanya, sesekali matanya menatap ke arah pintu masuk. Ia berharap Leo bisa datang, karena sepertinya pria itu ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting dengan dirinya. Ia juga berharap bisa bercerita sedikit tentang dirinya, tapi Leo terlihat seperti pria baik-baik. Jika pria itu tahu siapa dirinya mungkin dia tidak akan mau mengajaknya bertemu seperti ini?

Senyum Rena mengembang ketika melihat sosok yang ia tunggu menembus pintu masuk, pria iru celingukan sejenak untuk mencari temannya. Ketika sudah ketemu ia langsung saja melangkah,

"Maaf, membuatmu menunggu lama ya?"
"Tidak selama kau menungguku semalam!"

Leo tertawa tanpa suara sambil duduk setelah menyeret kursi,
"Mau pesan apa, aku yang traktir deh!" tawar Rena, "jangan. Biar aku saja, kan aku yang minta bertemu!"
"Tapi kau sudah menyelamatkanku dua kali, anggaplah sebagai salah satu ucapan terima kasih!"
"Ehmmm....baiklah!"

Mereka memanggil waitres dan memesan makanan masing-masing yang ternyata sama. Lalu mereka saling pandang saat menunggu pesanan mereka done.

Leo menatap wanita itu tajam sekali, sebuah tatapan yang penuh pertanyaan.

"Rena, aku mau bertanya. Ku mohon jawab dengan jujur!"
"Katakan saja!"
"Ehm...., soal tempo hari. Apa yang terjadi?"

Rena terdiam, ia mengingat peristiwa itu. Malam itu Leo mabuk berat sehingga ia harus memesan kamar. Dan sekarang ia tahu kemana arah pertanyaan pria itu. Iapun tersenyum-senyum kecil.

"Kau memang mabuk berat, tapi apakah benar kau tak ingat apapun yang kita lakukan. Itu keterlaluan!"

Leo sedikit melotot, ia memang mabuk berat sampai tak ingat apa-apa. Jika terjadi sesuatupun, pasti ia juga tak ingat. Meski ia yakin tak terjadi apapun, tapi ia tetap ingin sebuah penjelasan.

"Memangnya apa yang terjadi?" tanyanya setengah berbisik, seolah takut ada orang lain yang mendengar. Rena terlihat sedang menahan tawa,

"Apakah kau yang membuka pakaianku?"

Rena masih belum menjawab. Tapi ekspresi Leo sungguh ingin membuatnya tertawa, pria brengsek tidak akan bertanya seperti itu.

"Ya, aku yang melepaskan pakaianmu!"

Leo menelan ludah seketika, matanya jadi tambah lebar dan pipinya sedikit memerah, dari ekspresinya itu Rena bisa menerka. Bahwa pria di hadapannya itu pastilah belum pernah telanjang di depan wanita.

Oh My God!

Benarkah?

Pria setampan itu belum sekalipun melakukan hubungan ranjang?

* * *

Bersambung......

SPS #Bab Tujuh | SPS #Prolog