Jumat, 24 April 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Dua

SPS # Bab Satu

Wanita itu mengotak-atik sebuah laptop di atas meja, matanya sesekali melirik pintu kamar mandi. Suara gemericik aliran air dari shower masih terdengar, berkas-berkas embun terlihat dari pintu kamar mandi. Setelah ia rasa semuanya beres, ia pun mencabut sebuah flashdisc dari samping laptop lalu menutup benda itu dengan sempurna. Ia segera merapikannya kembali lalu mulai mengenakan pakaian, bersikap seperti biasanya.

Pria 38 tahun itu memungut handuk, mengelap seluruh tubuhnya lalu membungkusnya dengan robe seraya berjalan keluar dari dalam kamar mandi. Di lihatnya wanita muda yang saat ini membuatnya tergila-gila itu sudah mengenakan pakaiannya lagi, dia bahkan sedang memoles wajahnya kembali di depan cermin.
"Kau tidak akan menginap malam ini?" tanya Zach,
Zakarya Yahya adalah seorang pengusaha yang sedang mulai menanjak di bidang properti, dia memang tampan. Tapi tak beda dengan bos-bos lainnya yang mudah tergoda dengan kulit mulus dan wajah rupawan seorang wanita padahal di rumah ada istri yang menunggunya pulang dengan cemas.

"Aku bertemu istrimu tempo hari, dia terlihat seperti istri yang baik. Mungkin sebaiknya mulai malam ini kita tidak usah bertemu lagi!"
"Jangan bercanda!" sahut Zach, ia menghampiri wanita itu. Meraihnya ke dalam dirinya, Rena memalingkan wajah sebelum pria itu memagutnya kembali. Ia mendorong dada Zach menjauh darinya, melepaskan diri.
"Aku serius, aku tidak mau selamanya menjadi simpananmu!"
"Kalau begitu kau tak harus jadi simpananku!"
"Apa maksudmu?"
"Kita bisa menikah,"
"Jadi istri keduamu begitu, maaf aku tidak bisa!"
"Rena!"
"Cukup Zach!" Rena menampik tangan Zach yang hendak meraihnya kembali, "aku harus pergi sekarang!"
"Jadi kau menemuiku malam ini hanya untuk mengatakan hal itu, lalu kenapa kau tidak menolak kemesraan kita?" kesal Zach dengan nada kecewa.

Rena menatapnya tajam, ada tatapan ejekan di bola matanya. Ia menyunggingkan senyum sinis, "hanya untuk sebuah kesenangan, bukankah kau menyukainya?"
"Jangan coba mempermainkan aku, kau pikir siapa dirimu? Tidak sulit bagiku mencari 1000 wanita sepertimu!"
"Terserah apa katamu, kau pikir aku peduli!"

Zach menarik lengannya dengan kasar, "kau tidak bisa pergi dariku begitu saja!" ancamnya, "jangan mengancamku, aku tidak takut padamu!" tantang Rena seraya menendang bagian vital Zach dengan lututnya, membuat pria itu meraung dan melepaskannya. Rena segera menyambar tasnya di atas meja lalu berlari ke pintu. Menyelinap keluar dari kamar dan lari ke pintu keluar apartemen itu. Zach mengejarnya, sudah pasti.
"Dasar wanita jalang, jangan lari!" makinya, Rena segera keluar dari tempat itu dan berlari ke lift. Ia menekan tombol open beberapa kali dengan cepat seraya menoleh ke belakang. Terlihat Zach berlari ke arahnya, ia mulai panik tapi syukurlah pintu lift terbuka. Iapun memasukan dirinya ke dalam, menekan tombol closed dengan cepat. Pintu tertutup kembali begitu Zach sampai, ia memukul pintu lift lalu pindah ke lift sebelahnya. Dengan kesal pula ia menekan tombol open, saat lift terbuka iapun tak ingin membuang waktu.

Rena keluar dari lift dan segera berlari meninggalkan gedung itu melalui lobi depan, begitu ia sampai di teras Zachpun keluar dari lift yang satunya.
"Rena!" serunya,
Rena mendengar teriakan itu tapi ia tak mau menoleh, ia terus saja berlari menjauh. Dua buah sepeda motor melaju dengan kencang di jalanan itu, Rena berlari ke jalanan. Berharap menemukan taksi, tapi karena tak ada taksi yang lewat dan Zach juga sudah mulai terlihat ia pun semakin panik. Ia memilih untuk menyeberang jalan meski ia mendengar suara motor dengan kencang, tapi suara klakson yang keras beberapa kali membuatnya harus menghentikan langkah di tambah lagi dengan sorot lampu depan yang menyilaukan mata membuatnya harus berteriak seraya menutup matanya.

Suara derit ban motor yang menggesek aspal akibat di rem secara mendadak cukup nyeri di telinga, motor itu berhasil berhenti tepat di depan Rena. Semantara motor yang satunya lagi berhenti tak jauh di depannya. Kaca helm orang itu terbuka,
"Hei, kau sudah gila. Sengaja mau bunuh diri?" seru Leo. Rena membuka mata perlahan, memutar bola matanya ke kanan-kiri untuk memastikan bahwa tubuhnya masih utuh di tempat. Ia menoleh ke arah Zach yang makin mendekat padanya, pria itu memang sempat berhenti ketika dirinya hampir tertabrak tapi kembali melangkahkan kaki padanya kini. Rena membulatkan bola matanya lalu berjalan ke arah Leo, tanpa basa-basi ia pun naik ke motor itu.
"Hei, apa yang kau lakukan?" seru Leo.
"Sudah jalan saja, cepat!"
"Kau....!"
"Pria itu mau membunuhku!" teriaknya.

"Hei!" Seru Zach seraya mendekat, Leo menoleh ke arah Zach lalu ia pun segera melajukan motornya kembali di ikuti Alan. Zach berhenti ketika sampai di jalan karena Rena sudah kabur dan ia tak mungkin mengejarnya hanya mengenakan robe saja.
"Sial!" makinya meninju angin.

*****

Leo menghentikan motornya di suatu jalan, Rena masih duduk di belakangnya.
"Hei, turun!" seru Leo.
"Kenapa kita berhenti di sini?"
"Ku bilang turun!" geram Leo, Rena pun akhirnya turun dan bergeser ke tepat di samping Leo. Alan menghentikan motornya di depan Leo, membuka helmnya dan memutar tubuhnya ke belakang.

"Rumahku masih sedikit jauh, mungkin kau mau mengantarku!" seru Rena, "apa, kita tidak saling kenal. Untuk apa aku mengantarmu!" acuh Leo
"Kau dingin sekali, ya.....kupikir mungkin kau mau mengantarku sekalian sampai ke rumah!"

Leo menatapnya, wanita itu memakai baju warna lembayung dengan belahan dada cukup pendek. Rok mini warna hitam, rambut yang terurai halus dengan make up yang elegan dan parfum yang sangat feminin. Mengembangkan senyum manis yang menggoda, caranya berbicara yang tanpa canggung juga cukup menggoda. Leo menghela nafas seraya melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya pada Rena.
"Kau bisa pulang sendiri kan, aku masih ada urusan!" serunya.

Rena memandang jaket di tangan pria itu yang di sodorkan padanya, lalu matanya berpindah ke wajah sang pemilik jaket. Ia mengamati cara pria itu memandangnya, tidak seperti pria lainnya yang memandangnya dengan kilatan nakal. Sorot matanya justru membuatnya canggung dengan penampilannya yang seperti itu, ia pun memungut jaket itu dari tangan Leo. Leo kembali menutup kaca helmnya dan mulai menstater motornya, tapi sebelum ia melaju tangan Rena menyentuh lengannya.
"Tunggu!"
Leo menoleh padanya, sementara Alan juga kembali siaga. "e.....terima kasih!" desis Rena, Leo tak menyahut. Rena melepaskan tangannya dan membiarkan pria itu menyingkir bersama temannya. Ia masih memandang hingga mereka tak rerlihat, setelah itu ia memakai jaket yang di berikan Leo padanya dan mulai mencari taksi.

*****

Sebenarnya Leo sudah tak ada acara apapun, ia dan Alan menuju rumah masing-masing. Lampu ruang tamu sudah padam ketika Leo memasuki rumah, ia langsung saja memasuki kamarnya. Sebenarnya sudah tak asing, karena ia hanya hidup dengan Miko maka merekapun jarang makan malam bersama di rumah. Ia memang sering pulang telat tapi yang jelas bukan untuk hal yang negatif. Meski sekarang sudah ada Maya, apalagi itu.....ia justru tak bisa berlama-lama berdiam di dalam rumah karena ia masih tak bisa menepiskan perasaannya terhadap wanita itu.

Rena memasuki kamarnya, ia melempar tas dan membuka jaket yang di kenakannya tapi ia tak melempar jaket itu. Ia justru memandanginya, mengingat sorot mata sang pemiliknya. Ia memang tak melihat wajahnya karena pria itu tak melepas helmnya, tapi ia masih ingat matanya yang hangat. Suaranya yang menenangkan dan bau parfumnya yang khas. Ia pun duduk di kasur seraya menggenggam jaket itu seakan tak mau ia lepaskan. Tapi pintu yang terbuka dengan kasar membuyarkan lamunannya, ia segera menaruh jaket itu di sampingnya.

"Kau membuat masalah lagi!" seru Roger, Rena membuang muka. "aku sudah bosan dengan semua ini!"
"Kau tahu kalau kau tak bisa berhenti sebelum....!"

Kalimat Roger terhenti ketika Rena menyodorkan sebuah flashdisc padanya, "ini yang kau inginkan, semuanya ada di sini!"
Roger melirik benda itu lalu memungutnya, "mungkin Zach akan membunuhku jika dia tahu aku mencuri datanya, Roger.....aku tidak ingin melakukan ini lagi!"
Roger memandangi benda mungil di tangannya lalu melirik Rena, menyunggingkan senyum congkak. "kau tahu kalau aku tidak akan melepaskanmu sebelum aku mencapai tujuanku!"
"Kau sudah mendapatkan semuanya, bahkan perusahaan orangtuaku. Lalu apalagi yang kau inginkan?" seru Rena seraya berdiri, "masih ada beberapa perusahaan yang belum aku takhlukan, dan kau masih memiliki banyak tugas!"
"Tidak, aku tidak mau lagi kau jadikan alatmu!"
"Oh....begitu, jadi kau sudah tidak peduli lagi dengan adikmu. Silahkan saja, jika kau ingin lari.....tapi ku pastikan kau tidak akan pernah melihatnya lagi!"
Rena menggerutu mendengar ancaman Roger, sepupunya sendiri. Roger memandangnya dengan puas lalu keluar dari kamar itu. Rena kembali duduk di kasur, airmata mulai meluncur di pipinya. Sampai kapan ini akan terus berlanjut, rasanya ia sudah tak tahan lagi. Tapi jika ia melawan Roger, iblis itu pasti akan menyakiti adiknya yang bahkan ia tak tahu di sembunyikan dimana. Sejak orangtuanya meninggal dan menitipkannya pada Roger yang dulu memang baik dan bagaikan malaikat, kini hidupnya sudah hancur. Orang yang ia kira adalah seorang malaikat ternyata adalah sesosok iblis, dia merenggut semua yang di milikinya. Perusahaan orangtuanya, adiknya sebagai jaminan agar dirinya mengikuti semua perintahnya dan juga masa depannya. Kini ia bahkan merasa seperti sampah di selokan, tapi ia harus bertahan. Bertahan agar adiknya bisa tetap hidup seperti janjinya pada orangtuanya, ia berjanji akan menjaga adiknya dengan baik. Membuatnya bahagia, tapi kini.....lihatlah. Menolong dirinya sendiri saja ia tidak bisa.

---Bersambung.....---

SPS #Bab Tiga | SPS #Prolog

Selasa, 14 April 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Satu

SPS #Prolog

Leo sedang duduk memutar-mutar kursinya seraya menggoyangkan pensil di tangannya tanpa henti ketika Miko memasuki ruangannya. Ia setengah tak acuh dengan kedatangan sang kakak.

"Kemana saja semalam, kau bahkan tidak pulang ke rumah?" kesal Miko.
"Menginap di rumah Alan!"
"Tapi setidaknya kau tidak mematikan hpmu, apa kau tahu aku khawatir setengah mati?"
"Aku bukan anak kecil lagi Mik, aku bisa menjaga diri!" jawabnya menaruh pensilnya di atas kertas putih yang sudah di coretinya dengan rancangannya.
Leo memang seorang arsitek, dan ia juga memilih menerima tawaran dari perusahaan tempat Miko menjabat sebagai direktur pelaksana. Sebenarnya ia mendapatkan tawaran gaji yang lebih tinggi di perusahaan orangtua Alan, tapi ia memilih untuk dekat dengan sang kakak.

Leo memandang sang kakak, "bukankah seharusnya kau masih cuti?"
"Aku hanya datang untuk memastikanmu baik-baik saja, setidaknya kau bisa pulang dulu ke rumah kan?"
"Tadi aku bangun kesiangan, itu sebabnya aku langsung ke kantor!"

Miko menghela nafas lega, "lain kali jangan matikan hpmu, dan semoga kau cepat menyelesaikan rancanganmu. Bulan ini kita harus sudah membangunnya!" seru Miko seraya berjalan keluar. Leo hanya meliriknya saja, lalu menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi.

"Miko!" sapa seseorang, Miko menoleh. "Nathan!" balasnya, "ku pikir kau masih cuti?" tanya Nathan seraya mendekat.
"Aku memang masih cuti, aku datang hanya untuk berbicara dengan adikku!"
Miko memang memakai pakaian biasa, tapi dia selalu tampil rapi, "kenapa dengannya hingga kau harus menemuinya di kantor?"
"Biasa, namanya juga anak muda. Semalam dia menghilang dan tidak pulang. Oya, aku harus pergi!" pamitnya,
Nathan tersenyum, "ok, salam untuk istrimu!" titipnya, Miko mengangguk dan berjalan ke arah lift. Nathan masih memandangnya hingga Miko menghilang ke dalam lift dan meluncur turun. Setelah itu Nathan bergegas ke dalam ruangannya. Nathan adalah wakil direktur pelaksana, selama Miko masih cuti ia merasa harus memanfaatkan keadaan sebaik mungkin.

"Sial!" maki Leo, "otakku benar-benar blank!" ia menjambak rambutnya sendiri seraya menggigit bibirnya, menyisirkan matanya ke seisi ruangannya. Ia bangkit dan menggulung kertas putih itu dengan cepat tapi hpnya berdering sehingga membuatnya harus memungutnya dari meja.

"Cintya!" desisnya, ia menghembuskan nafas lalu mengantongi saja hpnya tanpa memperdulikan raungan dari benda mungil itu. Dengan sigap ia memungut beberapa peralatan lalu meninggalkan ruangannya. Di saat seperti itu ia membutuhkan tempat yang jauh lebih nyaman dari ruangan kantornya, setidaknya tempat yang bisa membuat otaknya kembali normal.

Leo mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, ia bisa merasakan hpnya bergetar beberapa kali selama perjalanan.

*****

"Bagaimana, dia ada di kantor?" tanya Maya ketika suaminya memasuki pintu rumah, "anak itu selalu membuatku pusing!" keluh Miko.
"Dia sudah mulai dewasa Miko, sebaiknya kau jangan terlalu overprotektif padanya!"
"Dia tak pernah dewasa, dan aku tidak overprotektif. Hanya saja.....terkadang dia suka melakukan hal yang gila, dan itu yang membuatku khawatir!" sahut Miko menghempaskan dirinya di kursi.
Maya duduk di samping suaminya dengan senyuman lembut, "bagaimana dia bisa dewasa jika kau selalu menganggapnya seperti anak kecil!"

Miko menatap istrinya, ia membalas senyuman lembut itu. "entahlah, terkadang.....aku suka dia yang seperti itu. Sejak orangtua kami meninggal, hanya Leo yang aku miliki!"
"Aku mengerti!" sahut Maya menyentuh lengan suaminya.

*****
Alan mengangkat telepon yang sejak tadi ia diamkan, kalau tak diangkat pula dirinya yang tidak akan konsen bekerja.
"Iya Cin?"
"Temanmu itu bagaimana, aku menelponnya puluhan kali tapi tak satupun di tanggapinya?" marahnya,
"Kenapa kau tanyakan padaku, kami tidak sekantor. Mungkin dia sedang sibuk!"
"Aku sudah menelpon papa, katanya hari ini bahkan tidak ada meeting penting. Parahnya lagi dia tidak ada di mejanya!"
"Hah....aku tidak tahu. Aku bukan baby siternya, ok! Maaf Cintya aku sedang sibuk!" kesal Alan memutus teleponnya.
"Alan tunggu!" seru Cintya, tapi sambungan telepon sudah terputus. "Alan....Alan!" ia melepaskan hpnya dari telinganya, "mereka sama saja!" kesalnya, ia menyambar tas dan berlari keluar kamarnya.

Sementara Leo asyik menikmati orang-orang yang sedang beraktivitas di pelabuhan, ia bertengger di atas motornya. Rambutnya sedikit menari oleh terpaan angin, saat sendiri seperti ini justru sangat ia nikmati. Matanya menangkap sepasang anak lelaki yang sepertinya kakak beradik, mereka sedang bermain, bercanda, kejar-kejaran. Ia tersenyum, mengingat masa kecilnya dulu bersama Miko. Saat mereka kejar-kejaran, main bola hingga dirinya terjatuh. Ia menangis dan Miko menggendongnya pulang, jarak usia mereka 9 tahun. Itu sebabnya dirinya terlalu manja pada kakaknya itu, ia suka mengganggu Miko yang sedang belajar. Bahkan hingga sekarang, ia masih suka mengganggu kakaknya yang sedang sibuk bekerja, dan ia memang suka di perlakukan seperti anak kecil oleh kakaknya meski terkadang ia juga ingin di anggap sudah dewasa. Bunyi dering telepon membuyarkan lamunannya, ia segera memungut hpnya.

"Alan!" desisnya lalu mengangkat panggilan itu. Tapi belum sempat dirinya menyapa sahabatnya, ia sudah di semprot duluan dengan omelan.
"Hei, bisakah kau tidak melibatkanku dalam masalahmu?"
"Eit, tunggu. Ada apa?"
"Cintya menelponku berulang-ulang, jika aku tidak mengangkat telpon darinya pasti dia tidak akan berhenti menelpon sampai hpku meledak!"
"Masalahnya denganku?"
"Ya Tuhan....., dia menelponku karena mencarimu. Dasar brengsek, kenapa kau tidak kencani saja dia agar sedikit lebih jinak!" kesal Alan.
"Maaf, itu tidak akan pernah terjadi. Dan kau tahu itu!"
"Lain kali jangan sampai dia mengganggu pekerjaanku, apa salahnya mengangkat teleponnya dan ajak dia jalan!"
"Alan....., aku sedang tak ingin membahas Cintya. Ok!"
"Huh....dimana kau?"
"Pelabuhan, aku tidak bisa konsentrasi di kantor. Itu sebabnya aku kabur!"
"Ok, bagaimana kalau aku menyusul dan kita having fun. Aku juga bosan dengan suasana ruanganku, siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang menyenangkan!"
"Idemu tidak buruk, tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama!"
"Bukannya kebalik, kau yang selalu membuatku repot!" balas Alan. Leo hanya tertawa ringan.

---Bersambung.....---

Next, SPS #Bab Dua