Sabtu, 13 Juni 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Lima

SPS #BabEmpat

"Bertemu?" seru Rena.

Leo memutuskan menelpon nomor itu dan dugaannya benar, itu memang nomor Rena. Ia mengajaknya bertemu di tempat terakhir dirinya masih sadarkan diri, itu artinya di klub.

* * * * *

Rena menghentikan langkah ketika suara Roger mengejutkannya,
"Kau mau kemana?"
"Ada urusan sebentar!"
"Kau pikir kau bisa keluar masuk seenaknya?"
"Aku tidak lama!"

Roger berjalan menghampirinya, "menemui seseorang, bukankah antara kau dan Zach sudah berakhir?"
"Dan sekarang pria itu sedang mencariku, bahkan mungkin berniat membunuhku. Belum cukupkah permainan licikmu, sampai kapan aku harus menurutimu?"
"Selama yang aku mau, kecuali kau menghendaki adikmu mati tersiksa. Silahkan saja pergi dariku, tapi kau juga tahu aku tidak akan membiarkan kau pergi dengan mudah!"
"Kau memang biadab Roger!"
"Ha...ha...ha....!" tawa Roger menggelegar, "aku sudah cukup baik hati terhadapmu, masih ku biarkan kau menikmati hidup!"
"Menikmati hidup?" geram Rena,
"Setidaknya aku tidak merantai kakimu!"
"Apa?"
"Aku mau sementara kau diam di rumah sampai ku siapkan target baru!"
"Aku tidak mau lagi lakukan itu!" tolaknya.
"Kau tidak punya pilihan!"

Rena menatapnya penuh benci, lalu ia melangkah melewati Roger tapi kakinya kembali terhenti saat dua orang pria menghadangnya. Mereka adalah anak buah Roger, keduanya melangkah mendekatinya. Ia langsung membalikan badan dan menemukan Roger sudah kembali menatapnya,
"Sudah ku bilang aku mau kau diam di rumah untuk sementara waktu!"
"Ijinkan aku pergi sebentar!"

Roger tak menjawab, kedua orang itu segera memungut lengan Rena.
"Lepaskan aku!" rontanya, Roger mendekat. "aku tidak suka kau terus mencoba melawanku!" katanya pada Rena lalu memberi isyarat kepada dua orang itu untuk membawa Rena kembali ke kamarnya. Mereka langsung melaksanakan perintah bosnya, sementara Rena meronta.

"Lepaskan aku, aku bisa jalan sendiri!" teriaknya. Roger mengikutinya, sesampainya di kamar kedua orang itu menidurkan Rena secara paksa. "lepaskan!" serunya.

Mereka menelentangkan kedua tangan Rena, Roger memungut sesuatu dari dalam sakunya dan mendekati Rena. Rena membulatkan bola matanya ketika melihat sebuah suntikan di tangan sepupunya.

"Tidak, jangan lakukan itu!" rontanya, "lepaskan aku. Roger aku mohon, jangan lakukan itu lagi padaku!" pintanya.

Tapi Roger tidak memperdulikan rengekan Rena, ia tetap menyuntikan cairan di dalam benda itu ke lengan Rena. Berteriakpun tak ada gunanya, ia tidak akan mampu melawan mereka. Apalagi melawan, bergerakpun sekarang tak mampu. Dalam sekejap reaksi cairan itu bisa Rena rasakan di sekujur tubuhnya. Kedua orang yang memeganginya pun melepaskannya, Roger memungut wajah Rena.

"Dengar, aku bisa menambah dosisnya jika kau terus melawanku. Dan ku pastikan kau akan mati pelan-pelan!" serunya lalu melepaskan Rena dan meninggalkannya di kamarnya.

* * * * *

Leo sudah menghabiskan dua gelas minuman di meja bar, sesekali ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah satu jam lebih ia menunggu dan Rena tak muncul juga. Iapun memutuskan untuk pergi keluar dan menelponnya, Rena segera mengangkat hpnya ketika berdering.
"Hallo!"
"Hei, kau dimana?" tanya Leo.
"Maaf, aku tidak datang malam ini!"
"Kau menangis, apa yang terjadi?"
"Tidak ada apa-apa!"

Leo terdiam, ia tahu pasti Rena sedang dalam masalah. Tapi rasanya tidak pantas jika ia bertanya terlalu pribadi, mereka belum lama kenal.

"Kau yakin tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja, maaf ya jika membuatmu menunggu!"
"Tak apa, mungkin lain kali!"

Leo menutup teleponnya, ia yakin Rena tidak baik-baik saja. Wanita itu cukup membuatnya penasaran, dia cenderung lebih tertutup. Akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang.

Miko baru keluar dari ruang kerjanya ketika Leo baru memasuki rumah.
"Tumben, kau tidak kelayapan hingga pagi!"
teguran Miko membuat Leo menghentikan langkah.
"Bukannya kau senang?"
"Tadi Cintya mencarimu kemari!"
"Apa, Cintya?"
"Jangan menggantungkan perasaan anak orang, apalagi dia anak bos kita?"
"Menggantungkan? Miko, aku dan Cintya tidak ada hubungan apapun!"
"Lalu kenapa setiap saat dia selalu menanyakanmu?"
"Oh....ya Tuhan!" keluh Leo seraya memutar pandangannya tapi matanya malah menemukan Maya yang muncul dari dapur membawa secangkir kopi.

Mata mereka bertemu, tapi Leo segera mengalihkannya seraya berkata, "aku mau istirahat!" iapun berjalan ke kamarnya. Masih memikirkan apa yang terjadi dengan Rena, tapi di sisi lain ia juga masih memikirkan Maya. Ia menghempaskan dirinya ke kasur hingga memantul.

Ia berfikir, mungkin mengguyur tubuhnya dulu akan lebih menyegarkan otaknya. Ia pun bangkit dan melenyapkan diri di kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia memungut gitarnya dan memainkannya di atas kasur. Tapi saat ini pikirannya menjadi kacau, ia bahkan tak bisa memainkan gitar dengan benar. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar kamar, berjalan ke dapur untuk membuat kopi.

Ie menyeduh kopinya sendiri, menikmati sendiri. Lalu membawa kopinya ke serambi belakang, duduk di bibir teras. Entah apa yang di lakukannya, ia sendiri merasa seperti orang gila sendirian minum kopi di malam buta. Kalo sedang mengerjakan rancangannya itu sih wajar saja, daripada bengong sendirian tak pasti. Seharusnya malam ini ia bisa menghabiskan waktu bersama Rena, ngobrol mungkin? Ia segera menggelengkan kepalanya untuk menepia pikiran itu. Kenapa sekarang malah berharap sedang bersama wanita itu?

Sebuah langkah kaki pelan membuatnya harus menoleh, ia melebarkan mata karena melihat Maya sudah berdiri tak jauh darinya dengan piyamanya. Menatapnya dengan tatapan yang dulu pernah ia kenali, saat mereka sedang saling berharap.

Bersambung.....

SPS #Bab Enam | SPS #Prolog

Sabtu, 06 Juni 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Empat

SPS #Bab Tiga

Rena masih diam menatap Leo dengan tatapan curiga, pria itu memintanya menemaninya malam ini sebagai ucapan terima kasih karena telah menolong dirinya.

Leo menatapnya dalam, ia bisa membaca ada keresahan di mata wanita itu. Semalam sikapnya tak menunjukan rasa takut, justru begitu berani dan sedikit agresif tapi malam ini wanita itu seperti menampakan wajah aslinya. Leo mengembangkan senyum tipis di bibirnya,

"Maksudku..... Aku butuh teman untuk ngobrol, mungkin juga bisa minum, biasanya aku menghabiskan waktu bersama temanku tapi karena malam ini dia ada kencan aku jadi sendirian!" jelasnya,
"Oh....!" sahut Rena merasa lega, "jadi....mau menemaniku?" tanya Leo sekali lagi. Rena memutar bola matanya untuk berfikir sejenak, lalu ia mengangguk. Leo melebarkan senyumannya, ia memberi isyarat kepana Rena untuk kembali naik ke belakangnya. Mereka saling bertukar nama dalam perjalanan, tapi keduanya tak melanjutkan percakapan.

Leo mampir ke sebuah butik yang masih buka, membeli sebuah baju untuk Rena karena bajunya sudah tak layak pakai dan minta pensiun gara-gara Zach.

Rena menceritakan hubungannya dengan Zach kepada Leo, kenapa Zach bisa berbuat seperti itu tadi. Entah kenapa, seperti ada kelegaan yang Rena rasakan setelah menceritakan hal itu pada Leo. Meski belum semuanya ia ceritakan, "bagaimana denganmu?" tanya Rena lalu menenggak minuman dari botol yang di pegangnya. Mereka sempat membeli dua botol minuman tadi, Rena berjalan di bibir pantai. Bertelanjang kaki, air laut membasahinya. Sementara Leo ada satu meter di sampingnya,
"Denganku?"
"Iya, kau terlihat seperti seorang pria patah hati yang sedang butuh dokter!"
"Dokter, memangnya aku gila!" protes Leo, Rena tertawa renyah. "bukan begitu maksudku...., dokter dalam artian teman. Tapi tebakanku benar kan?"

Leo meliriknya, wanita itu sedang tersenyum padanya menunggu tanggapannya. Ia tak mau menjawab, malah merebut botol di tangan wanita itu.

"Terlalu banyak minum membuatmu sok tahu!" cibirnya lalu menenggak minuman itu. "kurasa wanita itu bodoh, jika tidak dia tidak akan membuatmu patah hati!" seru Rena.

"Dia tidak bodoh!"
"Dia selingkuh atau di jodohkan?"
"Tidak dua-duanya!"

Rena menghentikan langkah dan menatapnya tapi Leo tetap melanjutkan langkahnya. Wanita itu kembali mengikutinya, "apa kita akan main di pantai ini sampai pagi?"
"Kau bilang kau malas pulang kan?"
"Iya, tapi kalau kita harus tidur di atas pasir ku rasa aku pasti akan jatuh sakit!" tawarnya. Leo seperti tak menggubris ocehannya, lalu Rena merebut botol yang masih di mulut Leo.
"Sini!"
Ia menenggaknya tapi isinya sudah kosong, "kau menghabiskannya!"

Mereka akhirnya pergi ke Klub di gedung hotel tak jauh dari sana, memesan beberapa botol minuman. Leo cukup terkejut karena teman minumnya cukup kuat, wanita itu sudah menghabiskan sebotol lebih redwine tapi masih belum teler.

"Jangan menatapku seperti itu, apa kau tidak pernah melihat wanita minum?"
"Sering, hanya.....aku tak mengira kalau kau kuat minum juga!"
"Terkadang aku harus melakukannya!" sahut Rena merubah mimik wajahnya, Leo memperhatikan itu. Lalu Rena kembali memasang senyum, "sudahlah, aku tak mau membicarakannya. Kita ke sini untuk bersenang-senang kan!" katanya melanjutkan menenggak minumannya.

Mereka akhirnya menghabiskan pesanannya, bahkan menambah pesanan tapi kali ini Leo yang menghabiskannya bukan Rena, Rena mencoba menghentikannya ketika Leo mulai terlihat mabuk. Tapi sepertinya Leo tak mau berhenti, Rena jadi bingung.

Leo tak terlihat seperti pria yang suka mabuk, atau....dugaannya benar. Dia sedang patah hati?

Karena Rena tak tahu alamat Leo sementara pria itu tak mungkin mengemudikan motornya maka iapun memesan sebuah kamar saja dan membawa Leo ke sana. Saat memapahnya ke kamar itu, Rena sempat mendengar Leo menyebutkan sebuah nama. Nama seorang wanita, Maya!

* * * * *

Leo membuka matanya perlahan, mengerjapkannya beberapa kali lalu ia membangkitkan diri hingga terduduk. Kepalanya masih terasa pening karena terlalu banyak minum, ia memegang dahinya. Sedikit memijatnya lalu matanya melotot lebar karena ia menyadari keadaan dirinya. Ia berada di sebuah ranjang yang bukan miliknya tanpa baju, ia mengintip ke dalam selimut sejenak. Dirinya hanya mengenakan pakaian dalam, lalu iapun memutar pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia tahu dirinya pasti berada di dalam kamar hotel, ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum dirinya masuk ke dalam kamar itu tapi ia tak mampu mengingatnya. Yang ia ingat hanya ia menolong Rena hingga mereka pergi minum bersama, setelah itu ia tak ingat karena terlalu mabuk. Apa yang terjadi semalam? Ia bangkit dan mengguyur dirinya di dalam kamar mandi. Setelah itu ia mencari pakaiannya tapi tak menemukannya, lalu ia segera memungut hpnya karena saat mandi tadi ia sempat mendengar ada panggilan masuk beberapa kali.

Ada miscall dari Miko dua kali, Cintya empat kali. Tapi ia tak bermaksud untuk membalas panggilan itu malah membuka register untuk menghapusnya, tapi ia justru menemukan sebuah panggilan keluar ke nomor yang tak ia kenali. Iapun menklik nomor itu untuk mengetahui kapan panggilan itu di lakukan. Ia terperanjat karena panggilan itu di lakukan semalam dan hampir tengah malam, padahal semalam ia bersama Rena mulai dari sekitar jam 8 hingga mereka pergi minum bersama dan harus berakhir di ruangan itu. Leo mengernyit memandang nomor itu, tapi suara bell membuyarkan lamunannya. Ia segera membuka pintu, seorang pria berdiri di hadapannya.

"Ini pakaian anda tn!" seru pria itu seraya menyodorkan tiga buah pakaian yang tergantung di hanger dan terbungkus palstik laundry kepadanya. Leo menerimanya tapi ia menatap pria iru heran, "semalam pacar anda meminta kami mencuci baju anda dan harus mengantarkannya pagi ini!"
"Pac-car!" sekali lagi Leo terkejut.
"Iya, tn!"
"Sebentar!" seru Leo memasukan dirinya ke dalam, la menaruh pakaiannya lalu memungut sejumlah uang untuk membayar biaya laundry dan juga uang tips kepada pria itu. Setelah itu ia segera berpakaian kembali dan meninggalkan tempat itu untuk melaju ke kantor karena ia sudah cukup terlambat.

*****
Saat meeting ia kurang konsentrasi gara-gara memikirkan apa yang terjadi semalam, dan nomor misterius di hpnya sehingga ia mendapat teguran dari pak Dendy. Tapi ternyata bukan cuma soal meeting itu saja, tapi juga soal dimana semalam dirinya berada.

"Kenapa urusan pribadi saya juga di permasalahkan Pak?" protesnya.
"Bukan begitu Leo, hanya....Cintya terus saja mendesakku untuk....!"
"Maaf Pak, saya dan Cintya tidak berpacaran. Kami hanya berteman, lagipula saya masih ingin fokus dengan pekerjaan saya dulu!"
"Leo, kau tidak perlu khawatir soal pekerjaan!"
"Maaf pak, jika saya meraih kesuksesan saya ingin memulai itu dari nol. Jadi saya mohon anda mengerti akan hal itu!" pintanya. Dendy terdiam dengan jawaban Leo, dalam hati ia memang mengagumi sosok pemuda di hadapannya. Tapi Cintya putrinya terus saja mendesaknya untuk bisa segera menikah dengan Leo atau dia tidak akan menikah seumur hidupnya, tapi tentunya rumah tangga putrinya tidak akan sempurna jika pria yang menikahinya tidak mencintainya. Mungkin memang akan lebih baik jika ia memberi Leo waktu untuk bisa membuka hatinya untuk Cintya.

Leo menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menghela nafas panjang lalu ia memungut hpnya di meja. Kembali membuka nomor yang belum ia kenali itu, ia masih bimbang apakah ia akan menghubungi nomor itu atau tidak. Ia tahu itu pasti nomor Rena, wanita itu sengaja meminta nomor Leo dengan menghubungi hpnya sendiri menggunakan hp Leo.

Akhirnya Leo menekan call dan menunggu panggilannya di respon. Rena sedang menerima telepon ketika ada panggilan masuk lainnya, "sebentar ya, ada yang masuk!" ia menekan hold untuk teman bicaranya itu lalu menerima panggilan Leo yang nomornya memang sudah ia save.

"Halo!" sahutnya lembut,
"Halo, Rena!" sapa Leo,
"Hai, aku tak berfikir kau akan menelponku.
aku meminta nomormu karena ku pikir mungkin saja suatu saat aku bisa minta bantuanmu!"
"Jadi ini benar nomormu?"
"Iya, tapi.....ada apa kau menelponku?"
"Bisakah kita bertemu?"
"Bertemu!"

Bersambung.....

SPS #Bab Lima | SPS #Prolog