Kamis, 25 Agustus 2016

Sebuah Pengorbanan Sederhana # Bab Sebelas

Sebelumnya, SPS # Bab Sepuluh


Hari itu Leo mencoba menyenangkan Cynthia, mereka memasuki semua wahana, bermain dan tertawa bersama layaknya sepasang kekasih. Bahkan Cynthia tak pernah melepaskan lengan Leo ketika mereka berjalan, dan di akhiri dengan makan malam romantis di Ocean Restorant. Menyantap hidangan seraya menikmati hewan-hewan laut yang berada di dalam aquarium raksasa yang mengurung mereka.

Cynthia meletakan tangannya di atas telapak tangan Leo ketika pria itu selesai menyantap makan malamnya, satu tangannya memang tergeletak di atas meja sedang yang satu lagi menenggak minuman hangat. Leo menatap tangannya yang di tutupi tangan mulus Cynthia sejenak, lalu beralih ke wajahnya cantiknya, "terima kasih ya, hari ini aku bahagia sekali, seandainya kita bisa seperti ini selamanya!" katanya malu-malu.

"Selamanya?" desis Leo, "kurasa tidak mungkin!" kalimatnya membuat Cynthia merubah mimiknya, "aku kan butuh bekerja!" tapi kalimat terakhirnya membuatnya kembali tersenyum.
"Apa selamanya kau mau menjadi arsitek, Tidak mau memimpin perusahaan?" tanyanya memancing.
"Aku tidak punya perusahaan untuk di pimpin!"
"Maksudku, setelah kita menikah kau kan bisa menggantikan posisi papa. Sepertinya papa butuh istirahat dan menikmati hari tuanya menunggui cucu!" kalimat Cynthia menjurus sekali. Membuat Leo sedikit kelimpungan untuk menjawab. Saat ini ia tak mau membuat gadis di depannya kecewa.
"Cynt, aku belum berfikir untuk menikah. Lagipula hubungan kita...,"
"Belum jelas?" potong Cynthia, "kalau begitu kita resmikan malam ini saja!" girangnya.

Leo menelan ludah, tapi ia masih belum menarik telapak tangannya dari genggaman Cynthia.

"Cynt,"
"Aku sangat mencintaimu, dan kau tahu itu.
Aku tak akan bisa hidup tanpamu Leo!" ungkapnya. Leo terdiam, "apa salahnya kita mencoba menjalin hubungan, aku akan berusaha menjadi gadis yang kau mau. Aku tidak akan mengecewakanmu!" rengeknya.

Leo menatap gadis di depannya, entah dengan tatapan seperti apa saat ini. Tapi beberapa detik kemudian ia menarik telepak tangannya dari genggaman Cynthia, yang membuat gadis itu sedikit menekuk wajahnya. Lalu ia berkata,

"Sebaiknya kita kembali ke hotel, ini sudah malam!" ajak Leo, padahal itu baru jam 8 malam kurang.

Cynthia membalas tatapan itu dengan kekecewaan, "kau benar-benar tidak mau menikah denganku!" serunya lantang sehingga beberapa pasang mata mengarah ke mereka, "apa kurangnya aku?" matanya mulai memerah dan berkaca, "kenapa sedikit saja kau tak pernah melihatku?" lantangnya dengan bulir bening yang langsung mengalir, lalu iapun bangkit dan lari keluar.
"Cynthia!" panggil Leo, tetapi gadis itu tetap menanggapinya.

Leo tak langsung mengejar karena ia harus membayar bilnya terlebih dahulu, baru ia menyusul keluar. Berlari ke arah mobil yang cukup jauh ia parkirkan. Tapi saat sampai disana, ia tak melihat Cynthia. Nah, kalau sudah begini mau cari kemana?

Leo berkeliling mencari ke sekitarnya, tetapi juga tak menemukan gadis itu. Ia mulai kebingungan, meski ia tahu Cynthia tidak mungkin nyasar. Tapi kalau bertemu dengan orang iseng atau orang jahat bagaimana? Kalau terjadi apa-apa dengannya, pak Dendy pasti akan mengulitinya! Bukan karena ia takut dengan bigbosnya itu. Tapi ini menyangkut tanggungjawab. Pak Dendy tahu kalau Cynthia pergi berlibur dengannya, tentu ia harus bisa menjaganya.


Suasana pesta yang di sesaki orang-orang itu membuat Rena jengah, ia sempat bertemu dengan Tian dan harus menghindar sebelum terjadi keributan. Tetapi Tian bukan Zach yang tak memperdulikan situasi di sekitarnya, Tian lebih bisa menjaga emosinya. Sedari tadi Rena mencari kesempatan untuk bisa mendekati targetnya, tapi masih belum ada hasil. Sementara Roger terus mengawasinya dari jauh, bahkan menyuruh salah satu kacungnya untuk membuntuti.

"Masalah itu..., putriku memiliki pilihannya sendiri. Aku tak bisa memaksanya menuruti kehendakku!" sahut Dendy,
"Jadi, sudah ada calon suami. Sayang sekali, padahal aku berharap mungkin Cynthia dan Alex bisa menjalin hubungan!" tukas Adrian.
"Belum jadi calon suami sih, e...hanya mereka masih menikmati masa muda!" Dendy tak mungkin mengatakan kalau si pria susah sekali di luluhkan hatinya.
"Heee...he..., ya...bisa di mengerti!"

BRUKK!

"Arghh...!" sesosok tubuh menyenggol tubuh Dendy, tepatnya tertubruk hingga sosok itu terpental. Refleks Dendy menoleh, melihat sosok itu hampir jatuh terjengkang ke belakang sadar tidak sadar ia segera bergerak meraih sosok itu. Secara refleks pula wanita itu menyambut pertolongannya dengan memegang keda bahunya. Untung keseimbangan yang Dendy miliki cukup bagus hingga mereka tidak jatuh ke lantai, mata mereka bertemu. Bertatapan lama. Sosok di dalam pelukannya itu sungguh memesona, seperti bidadari sampai membuat darahnya mendesir. Hal itu cukup di saksikan banyak orang.

"E-hem!" suara Adrian membuat keduanya terjaga. Dendy membawa sang bidadari tegap di atas kakinya sendiri dan melepaskannya, "maaf!" desisnya.
"Oh tidak, saya yang harusnya minta maaf karena tidak terlalu memperhatikan jalan!" sahut Rena, lalu ekspresinya berubah, "ya Tuhan..., baju anda basah!" pakaian Dendy memang tersiram minuman yang Rena bawa yang sekarang gelas itu sudah berkeping-keping di lantai.

Dendy melihat pakaiannya sendiri, "ou...ini...!" desisnya yang terhenti karena wanita itu sudah lebih dulu mengelapnya dengan sapu tangan. Dendy menahan tangan lentik itu, "tidak apa-apa!" katanya menghentikannya. Dan sekali lagi mata mereka saling terpaut.

Wanita itu segera melepaskan tangannya dari tangan Dendy dan sedikit mundur, "maaf ya!"
"Ah..., tidak apa-apa. Ini..., bisa diatasi!" sahut Dendy tanpa berkedip, bahkan bukan hanya Dendy tapi juga Adrian yang ada disisi mereka.

Wanita itu memasang senyum yang sudah pasti tidak bisa di tolak oleh pria manapun, lalu ia hendak menyingkir ketika Dendy meraihkan tangannya ke lengan wanita itu, "tunggu!"

Wanita itu kembali menoleh padanya, "ehm..., kau datang dengan seseorang?" tanya Dendy tiba-tiba. Ia sendiri asal bertanya karena ia masih ingin menikmati kecantikan wanita yang menubruknya, jujur...Dendy bukan pria yang mudah tergoda dengan wanita. Sejak istrinya meninggal ia belum berfikir untuk menikah lagi.

"Saya..., saya datang menemani sepupu saya. Tapi sekarang, dia malah asyik bersama teman-temannya!"
"Itu artinya sekarang sendirian!" ia melepaskan tangannya dari lengan wanita itu.

Mereka tertawa kecil.

"Oya, Dendy!" Dendy mengulurkan telapak tangannya, "jika tidak keberatan berkenalan dengan pria tua!" candanya. Wanita itu tersenyum menyambut tangan Dendy, "Rena, menurut saya...anda tidak terlihat tua!" tukasnya membuat Dendy tersenyum.

"Jangan bicara terlalu formal, itu terdengar kurang akrab. O-ya, ini Adrian!" katanya mengenalkan. Adrian pun menyalami Rena. Sebenarnya darahnya juga dibuat mendesir oleh wanita muda yang memesona itu, tapi ia bisa menangkap kalau sepertinya sahabatnya tertarik dengan Rena. Maka ia tidak akan menyerobot, lagipula ia masih punya istri. Sementara Dendy sudah lama membiarkan ranjangnya dingin tanpa ada yang menemani.

"Jadi, tidak keberatan bergabung dengan kami?" tawar Adrian ikut nimbrung dalam obrolan.
"Ehm..., sebenarnya...saya..., eh, aku..., sedang hendak menuju keluar!"
"Keluar?"
"Acara ini membuatku bosan, lagipula...aku sedikit lelah!"
"Ouh...!"

Di sisi lain dalam ruangan itu, seseorang sedang tersenyum menangkap pemandangan yang ada. Rena memang tak pernah mengecewakan dalam hal memikat pria, bahkan seseorang seperti Dendy Mahendra yang berwibawa.

"Maaf, aku...permisi dulu!" pamit Rena, ia masih sempat mengerling ke arah Dendy sebelum berbalik dan meninggalkan kedua pria itu. Dendy sendiri tak melepaskan pandangannya dari wanita muda yang tengah menembusi kerumunan orang itu.

Adrian mendekatkan dirinya ke sahabatnya, "kau tidak menanyakan nomor teleponnya?" bisiknya. Seketika Dendy terbelalak,

Dasar bodoh kau Dendy, kenapa kau tak berfikir sampai kesana?

Ia segera menyadari hal itu, tapi ia tak mau mengakuinya karena gengsi terhadap Adrian. Maka iapun mencari alasan yang menurutnya bisa diterima.

"Adrian, dia masih sangat muda!" tukasnya.

Adrian malah tertawa ringan, "jangan membodohiku, kau pikir aku tidak melihat caramu menatapnya." katanya dengan terus menatap ke depan, meski Rena sudah tak terlihat, "dia memang masih sangat muda, tapi kulihat...dia juga memperhatikanmu sepertinya!"
"Benarkah? itu tidak mungkin!"
"Kejar dia dan antarkan dia pulang!" suruh Adrian.
"Apa?"
"Kalau kau tidak mau ya sudah, biar aku saja yang melakukannya. Memiliki istri simpanan seperti Rena tidak akan membuatku rugi meski nantinya Wilda akan menceraikanku!" goda Adrian. Dendy melotot,
"Adrian!" serunya ketika sahabatnya siap melangkah, "tapi...urusanku disini belum selesai!" bimbangnya.
"Nah..., begitu. Kau jangan kuatir, biar aku yang meng-handle urusanmu disini. Cepat kejar bidadari itu sebelum ada yang mengantarnya lebih dulu!" suruh Adrian.

Dendy menghela nafas lalu melangkah menuju pintu keluar, dimana Rena menghilang. Adrian tersenyum nakal karena bujukannya berhasil, ya...kalau seandainya dirinya yang diperhatikan Rena tentu saja ia yang akan mengejarnya. Seperti yang ia katakan, ia tidak akan menyesal bercerai dengan istrinya Wilda asal ia masih memiliki bidadari cantik seperti Rena. Sayangnya, ia bisa menangkap cara Rena menatap Dendy seperti cara seorang wanita yang menatap pria yang disukainya. Lagipula Dendy memang tak pernah menatap wanita seperti itu selama ini setelah di tinggal istrinya ke dunia lain.

Dendy berjalan cepat meninggalkan gedung itu, ia celingukan di teras lobi. Rena berkata bahwa ia datang bersama sepupunya, jika sepupunya masih asyik bersama teman-temannya, maka artinya ia pasti akan mencari taksi untuk pulang. Jadi Dendy segera berjalan keluar saja.

Setelah melewati gerbang, Rena tersentak karena ada seseorang yang menariknya dan menyandarkannya ke tembok.

"Tian!"
"Hai cantik, kenapa buru-buru mau pulang. Tidak mau bernostalgia denganku dulu?" godanya.
"Sudah kukatakan jangan ganggu aku lagi!"
"Kau cantik sekali malam ini!" pujinya, "membuatku tidak tahan."

Rena mencoba bergerak tapi Tian langsung mengurungnya dengan kedua tangannya yang ia letakan di kedua sisi Rena.

"Jangan macam-macam Tian!" ancamnya,
"Ouh..., kau sudah berani mengancam rupanya. Tapi aku tidak akan membiarkanmu lepas lagi, sayang. Aku akan mendapatkanmu kembali!" ia lebih merapatkan tubuhnya ke arah Rena. Dan Renapun mendorong dada bidang pria itu,
"Mengingkir atau aku akan berteriak!"
"Santai saja sayang," ia mengalah dengan dorongan Rena. Menjauhkan tangannya dari dinding,"aku tidak akan memaksamu, asal...kau mau ikut denganku malam ini!"

Rena menatapnya tajam, ia tahu Tian tak mungkin semanis itu jika tak ada maunya. Pria itu pasti akan membalas sakit hatinya, entah dengan cara apa. Sebenarnya ia tak terlalu kuatir, tak seperti terhadap Zach. Tian tak sekasar dan sebajingan Zach, tapi ia tetap tak mau lagi memiliki hubungan apapun dengannya.

"Maaf Tian, aku buru-buru!" tolaknya berlalu, Tianpun segera mengejar dan meraih lengannya hingga Rena berbalik, merapat ke tubuhnya, "kau bisa sombong sekarang, tapi ini belum selesai Rena!" katanya menyimpan sebuah ancaman. Rena berusaha melepaskan lengannya yang terasa sakit oleh cengkraman Tian.

"Lepaskan aku Tian!"
"Aku akan mem...!"
"Hei!"

Sebuah suara lagi-lagi harus menggagalkan aksi Tian. Keduanya menoleh, Tian melebarkan matanya mengetahui siapa orang itu.

Dendy Mahendra!

Sial!

"Lepaskan dia!" suruh Dendy. Tianpun melepaskan lengan Rena. Dendy Mahendra adalah orang yang sedang tak ingin ia buat kesal karena ia baru saja menjalin hubungan kerja, ia tak mau hubungan kerjanya hancur dan akan membuat dirinya kehilangan semuanya lagi.

"Ouh pak Dendy!" sapanya.

Dendy mendekat, menatap Rena, "kau tidak apa-apa?" tanyanya. Rena hanya menggeleng, sedikit mendekat padanya seraya mengerling pada Tian seolah memberitahukan kalau ia kenal dengan pria itu.

"Kalian ada masalah?"
"Eh..., tidak. Hanya...kesalah pahaman saja!" sahut Rena.

Dendy beralih menatap Tian, "kau ada masalah dengannya pak Christian?" tanyanya penuh arti.
"Seperti yang dikatakannya, hanya sebuah kesalah-pahaman!" sahutnya, "tapi..., it's ok. Permisi!" katanya pamit lebih dulu. Dendy masih memperhatikannya karena ia bisa menangkap arti tatapan pria itu terhadap Rena. Lalu iapun kembali menghadap Rena,

"Kalian punya hubungan?"
"Ehm..., dulu, iya. Kami memang sempat dekat, dan sudah lama tidak bertemu!"
"Tapi sepertinya dia masih mengejarmu?" tukas Dendy. Rena hanya tersenyum malu lalu menjawab, "aku berharap tak pernah bertemu lagi dengannya!"

Dendy diam sejenak, ia tahu Rena sungguh-sungguh mengatakan itu.

"Kau tak perlu kuatir, dia tidak akan menganggumu lagi!"

Rena sedikit terkejut, "maksud anda?" herannya.
"Kenapa anda lagi?"
"Ouh, maaf."
"Kami baru saja menjalin kerjasama, dan kurasa...dia tak mau kehilangan kerjasamanya denganku!"

Rena menatapnya, ia mengerti maksud Dendy. Pria itu akan memperingatkan Tian menggunakan kerjasama yang baru saja mereka jalin, itu bagus! Tian pasti akan kesal. Dan tentunya tak mau bangkrut lagi.

"Kau mau pulang kan?" tanya Dendy membuyarkannya, "eh, iya!" sahut Rena sedikit gugup.
"Bagaimana kalau ku antar saja kau pulang?"
"Jangan, sepertinya kau juga masih sibuk disini!" tolaknya, "aku tidak mau merepotkan."
"Aku justru lebih kuatir terhadapmu, jika kau pulang sendiri...bisa saja nanti ada yang berbuat jahat terhadapmu!"
"Tapi...!"
"Kau malu diantar pria tua sepertiku?" potong Dendy.

Rena tertegun sejenak.

"Bukan itu, hanya... memangnya tidak akan ada yang marah jika kau mengantarku?"
"Harusnya aku yang kuatir akan hal itu, wanita cantik sepertimu...pasti banyak mengincar. Atau...setidaknya kekasihmu!"
"A, aku...saat ini aku sedang sendiri!"
"Benarkah, kalau begitu aku beruntung."
"Apa?"
"Setidaknya tidak akan ada yang datang dan memukuliku!"

Rena tertawa merdu dibuatnya. Dan Dendy sangat menikmati itu, ia berhasil membuat wanita itu tertawa olehnya.

"Jadi bagaimana? Aku boleh mengantarmu pulang?" tanyanya. Rena mengangguk perlahan.

* * *

Leo menghampiri Cynthia di meja bar, Tama menelponnya karena ia bertemu Cynthia di bar dan mulai minum-minuman. Tak bisa di cegah, ketika Leo datang Tama, Eros, Viola dan Rita pun beranjak kembali ke hotel.

"Cynthia, hentikan ini!" ia merebut gelas berisi cairan yang tengah di tenggak gadis itu. Dari baunya ia tahu apa itu, "kau meminum tequila?" serunya.
"Sini!"

Cynthia berusaha merebutnya kembali dan Leo kian menjauhkannya, "apa pedulimu, kau kan tak pernah peduli padaku!" katanya lemas. Ia menjatuhkan kepalanya ke meja.

"Ayo kita pergi!" Leo mulai memungut tubuhnya,
"Tidak mau!"
Tapi tetap saja ia mengangkat tubuh Cynthia dan memapahnya keluar dari sana. Belum sampai ke mobil Cynthia sudah muntah-muntah. Mengotori baju mereka berdua. Leo kebingungan, tak mungkin ia membawa Cynthia kembali ke hotel mereka menginap dalam pakaian seperti itu. Maka iapun mencari resort di sekitar situ saja.

Setelah memesan kamar, ia meminta tolong pada service room wanita untuk membantu membuka pakaian Cynthia. Sebelumnya ia sudah membuka pakaiannya lebih dulu dan memakai robe, lalu meminta jasa laundry untuk mencucikannya. Ia tak mungkin berkeliaran keluar membeli pakaian hanya mengenakan robe saja.

Saat ini ia duduk di sofa menatap Cynthia tidur dengan hanya mengenakan dalaman saja dan tertutupi selimut. Saat terlelap, gadis itu terlihat sangat cantik. Meski cara tidurnya sungguh sembrono, telentang kesana-kemari seperti anak kecil. Tapi ia justru membayangkan jika yang ada di hadapannya adalah Rena. Wanita itu pasti sangat memesona saat tidur.

Ia segera menyingkirkan pikiran itu dari otaknya. Lalu ia mulai menaikan kakinya ke sofa panjang itu. Menatap langit-langit, ia tak mau terlalu lama menatap Cynthia tidur. Bagaimanapun dirinya seorang pria normal, di depannya ada gadis cantik yang tengah terlelap hanya tertutupi selimut, ia tak mau sampai tergoda. Jadi ia paksakan saja dirinya menutup mata.

"Kau tinggal disini?"

Rena mengangguk. Dendy mengamati rumah yang cukup besar itu, "dengan siapa?"
"Aku tinggal sendiri, hanya dengan satpam, satu tukang kebun, satu koki, satu ART!" sahutnya. Rena tak memberitahu tentang bodyguard Roger yang selalu menjaganya. Tentu!
"Keluargamu?"
"Mereka sudah tidak ada."
"Ah, maaf!"
"Tidak apa-apa, eh...aku...masuk dulu. Maaf, tidak bisa mengajakmu mampir sekarang!"
"Tidak apa-apa, lagipula kita baru saja bertemu kan. Tidak sopan juga jika aku menerobos masuk!" gurau Dendy.

Rena tersenyum padanya, senyum yang membuat jantung Dendy seakan berhenti berdetak.

"Terima kasih sudah mengantarku,"
"Kapan saja!"

Rena segera turun dan berjalan ke gerbang. Tono, satpamnya langsung membuka gerbang dan mempersilahkannya masuk. Rena sempat menoleh ke arah Dendy dan memberi senyuman sebelum berlalu ke pintu rumahnya. Dendy menatapnya hingga menghilang dari jarak pandangnya. Baru ia memutar balik mobilnya karena rumahnya memang berlawanan arah. Dan cukup jauh dari kediaman Rena. Tapi hatinya berbunga-bunga karena ia merasa Rena juga memiliki perasaan yang sama.

Memang, di usianya yang sudah 48 tahun. Dendy Mahendra masih cukup tampan dan gagah. Ia juga masih memiliki tubuh yang proporsional karena masih sering berolahraga dan fitnes. Sebenarnya ia lakukan demi kesehatan. Karena ia menyadari putri tunggalnya belum menikah, masih sangat membutuhkannnya. Dan masih belum mau terjun ke bisnis padahal ia sudah menyuruhnya untuk membantunya di kantor. Agar suatu saat bisa menggantikannya.

* * *

Malam bergerak lambat, Rena belum mampu memejamkan matanya. Ia masih teringat tatapan Dendy, dari semua pria yang menjadi targetnya. Tak ada yang menatapnya seperti Dendy Mahendra menatapnya, tatapan yang penuh kekaguman tulus. Dan tatapan itu, mengingatkannya kepada Leo. Ia pernah menangkap Leo menatapnya seperti itu saat di pantai, meski ia ragu. Mungkin itu hanya perasaannya saja, karena ia sungguh tak mampu membaca mata Leo setiap mereka bertatapan.

Mengingat Leo, pria itu saat ini sedang berlibur di Singapore bersama teman-temannya. Ia justru berkhayal jika seandainya ia bisa berlibur dengan pria itu. Pasti akan sangat menyenangkan. Apalagi Leo sempat menawarinya sebelum pergi, meski itu ramai-ramai. Ia jadi tersenyum sendiri, tapi senyum itu lenyap ketika pintu kamarnya di gedor dengan kencang. Sebelumnya Roger sudah memutar gagangnya, tapi ternyata di kunci, itu sebabnya ia mengetuknya dengan kencang.

Rena menatap pintunya, sebenarnya ia malas sekali membukanya. Ia malas menatap wajah Roger yang akan menampakan senyum iblisnya akan hasil kerjanya. Pintu itu kembali tergedor.

"Rena!"

__________o0o__________

Selanjutnya, || # SPS #Prolog