Sabtu, 28 November 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Tujuh

Sebelumnya, SPS #Bab Enam

Setelah cukup lama menahan tawa akhirnya Rena melepaskannya juga, tawanya merdu, renyah dan gurih, tapi wanita itu tertawa sampai sedikit terpingkal-pingkal. Hal itu membuat wajah Leo makin memerah dan malu, ia jadi merasa culun dengan tingkah Rena.

Melihat ekspresi Leo yang seperti anak ABG yang baru tumbuh Rena menghentikan tawanya, sekuat tenaga ia menahan tawa yang masih menggelitik perutnya itu.

"Maaf, bukan ingin mengejekmu..hanya...aku tak bisa menahan tawa!"

Leo diam menyembunyikan rasa malunya, "kau mau aku jujur atau tidak?" tanya Rena, Leo kembali menatapnya, "tentu saja jujur, bukankah tadi sudah ku katakan?"

"Ok, sebenarnya....aku menyuruh seorang roomboy untuk membuka pakaianmu karena kau sempat muntah, bahkan juga mengotori bajuku!"
"Benarkah?"
Rena mengangguk, Leo bernafas lega.

"Memangnya kenapa jika aku yang membukanya, apa pacarmu tak pernah melakukannya?"
"Pacar, aku bahkan tak punya!"
"Lalu Maya?"

Leo terhenyak, bagaimana Rena tahu tentang Maya, apakah dirinya mengigau saat mabuk?

"Aku sedang tak ingin membicarakannya,"
"Dia yang membuatmu patah hati?"
"Sudah ku bilang aku tak mau membahasnya!"

Wajah Leo berubah kesal jadi Rena mengalah untuk tak menggodanya tentang Maya,
"Ok, sekarang kau sudah tahu tentang malam itu. Ya, tak terjadi apa-apa di antara kita jadi jangan pasang muka malu-malumu itu!"
"Siapa yang malu-malu?"

Rena tersenyum saja, pesanan merek tersaji di atas meja.
"Wah...aku lapar sekali, ayo kita makan!" katanya mulai memungut sumpit, baru satu suap saja makanan yang ia masukan hpnya berdering, iapun terpaksa harus mengangkatnya apalagi nama yang terpapar di layar hpnya,

"Sebentar ya!" katanya menyingkir ketika menerima panggilan itu, Leo memperhatikannya,

"Ada apa?"
"Kau dimana?"
"Sedang makan siang dengan teman!"
"Aku menelponmu karena kau lihai sekali membuat orangku kehilangan jejak, aku tidak suka itu!"
"Dan aku tidak suka kau terus menyuruh orang untuk membuntutiku!" katanya setengah berbisik, "itu untuk keamananmu Rena, karena aku yakin Zach pasti masih mengejarmu!"
"Aku masih bisa mengatasinya sendiri!"
"Jika terjadi sesua.....
"Roger, ingat....kau berjanji akan memberiku sedikit kebebasan dan imbalannya...aku akan lakukan permintaanmu!"

Rena menunggu beberapa detik, "ok, tapi ingat. Jangan berbuat macam-macam!"
"Aku tahu!" katanya mematikan hpnya, ia melirik Leo yang ternyata memperhatikannya. Iapun menghela nafas panjang sebelum kembali ke meja dimana Leo berada.

"Maaf, itu tadi sepupuku!"
"Pacarmu juga tidak apa-apa!"

Rena sedikit tertegun, lalu ia menyunggingkan senyum kecut, "aku tidak tahu, apakah hubungan seperti itu bisa di sebut pacar?" desisnya. Sahutan Rena seolah sebuah jarum yang menusuk sang pemilik kata sendiri, Leo merasakan ada kepedihan dalam nadanya.

Rena diam menatap Leo ke dalam matanya, "apa kau pernah mengalami ini, saat hidupmu....di kendalikan orang lain. Bahkan kau merasa.....kau tak punya hak apapun untuk dirimu sendiri?"

Leo diam mencerna kalimat wanita itu, mata Rena berembun tapi wanita itu segera saja menyeka airmata yang hampir saja tumpah. Lalu tiada lagi kata yang terlontar, ia kembali menyantap makan siangnya dengan lahab. Mencoba tak menatap pria di hadapannya, tapi Leo bisa membaca kalau wanita di depannya itu sedang dalam tekanan besar, ia ingin bertanya tapi ia tak ingin menelenyapkan selera makannya saat ini.

Setelah mereka selesai makan siang, Leo mencoba kembali membuka percakapan, "Rena, apakah malam ini ada waktu?"
"Ehm..., aku belum tahu jadwalku malam ini. Memangnya kenapa?"
"Tidak ada apa-apa, hanya....mungkin kita bisa menghabiskan sedikit lebih banyak waktu bersama. Aku jarang dapat teman bicara wanita yang nyaman seperti mu!"

Rena memandangnya aneh, tapi jujur ia senang dengan tawaran pria itu.

"Aku juga.....tak pernah merasa senyaman ini ketika sedang bersama seseorang!" katanya sedikit menunduk, Leo menangkap sesuatu makna dalam ucapan Rena. Ia jadi ingat Rena pernah bercerita tentang hubungannya dengan pria malam itu yang bernama Zach, katanya wanita itu sengaja mendekati Zach untuk sebuah tujuan. Tapi Rena belum cerita apa dibalik tujuannya sengaja mendekati Zach!

"Maaf, aku tidak bermaksud....," Kalimat Leo terpotong oleh gelengan Rena, sebuah senyuman perih tersungging di bibir manisnya, "terima kasih ya, sudah sedikit meluangkan waktu untukku. Jika nanti malam aku tidak ada acara....aku akan menghubungimu!"

"Itu terdengar bagus," Leo menilik arlogi di pergelangan tangannya, "maaf Rena, aku harus kembali ke kantor!"

Rena tersenyum dan mengangguk, Leo berdiri, "terima kasih makan siangnya!" tapi ia masih belum beranjak. Entah kenapa seperti ada yang membuatnya tertahan, menatap wanita itu.....ia merasa masih ingin duduk di depannya. Karena ia bisa merasakan kalau Rena seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting, sesuatu yang selama ini di tahannya seorang diri. Tapi waktu harus mengingatkannya untuk kembali ke kantor atau ia bisa kena masalah. Iapun beranjak pergi dari sana, Rena menatapnya hingga menghilang dari pandangannya.

Rena menatap dadanya perlahan, ia memejamkan mata untuk meresapi sesuatu di dalam rongga dadanya. Sebuah debaran aneh setiap kali ia menatap mata Leo, debaran yang justru membuatnya takut untuk hanya sekedar memimpikannya.

Leo sendiri merasa aneh menyadari ia menanyakan apakah Rena punya waktu untuk bisa keluar bersamanya malam ini, sebelumnya ia tak pernah bertanya seperti itu pada wanita manapun. Tak pernah mengajak wanita manapun untuk pergi bersamanya.

* * *

Ketika Leo berjalan ke arah ruangannya yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan staf marketing, Maya yang berada di dalam ruangan sebagai salah satu staf marketing melihatnya, ia segera keluar dan memanggilnya,

"Leo!"

Iapun menghentikan langkah menolehnya, "kau darimana saja, pak Dendy mencarimu?" tanyanya.
"Ada apa?"
"Aku tidak tahu, tapi dia berpesan jika kau sudah kembali nanti di suruh ke ruangannya setelah meeting. Karena saat ini beliau sedang ada meeting direksi!"
"Ouh, terima kasih!" sahutnya lalu kembali melanjutkan perjalanannya ke ruangannya, Maya memandangnya, ia ingin mencoba bersikap biasa agar Leopun bisa bersikap biasa.

Leo menembus ruangan yang berisi dua orang di sana, sesama arsitek, tapi ia tidak di ruangan itu melainkan di ruangan yang ada di dalam ruangan itu sebagai kepala arsitek di perusahaan. Sebenarnya sampai saat ini ia merasa tidak enak dengan Tama yang lebih senior dari dirinya, menurutnya Tama lebih pantas menjabat sebagai kepala arsitek ketimbang dirinya tapi entah kenapa pak Dendy malah memilihnya setelah pak Amar mengundurkan diri karena pindah keluar negeri.
Itu sebabnya ia juga tak segan untuk meminta saran dan pendapat kepada Tama dan Eros di setiap rancangan.

"Leo, pak Dendy mencarimu!" seru Tama, "itu artinya masalah baru!" sahutnya, ia duduk di meja Eros.

"Kenapa tak kau lamar saja Cynthia, agar pak Dendy tidak pusing!" goda Tama,
"Kenapa bukan kau saja, bukannya kau menyukainya diam-diam!"
"Cynthia tak pernah melirikku, lagipula aku memang tak dekat dengannya!"
"Apa pak Dendy meninggalkan pesan?"
"Ya!" sahut Eros, Leo menolehnya, Eros berdiri dan mendekatkan mulutnya ke telinga Leo, "segera nikahi putriku, dia sudah tidak tahan!" bisiknya di sertai cekikikan, Leo memungut kertas di meja dan memukulkannya ke kepala Eros. Pemuda itu malah makin geli tertawa seraya menarik dirinya.

"Kerjamu jangan bergosip terus, aku malu lihat hasil kerja kalian!" katanya menarik diri dari meja Eros dan berbalik,
"Nah, ini dia yang harus kita diskusikan. Aku dan Eros punya sedikit perbedaan pendapat soal posisi taman yang akan kita tambahkan di sisi kondominium!"

"Proyek ini sangat besar, jadi....kita benar harus mendiskusikannya secara matang, ribet sekali membuat desain bangunan seperti ini!"
"Bukannya aku sudah sudah membagi bagian masing-masing?"
"Tapi kami rasa....kita membutuhkan sentuhanmu di setiap bagian. Agar hasilnya lebih maksimal!" seru Tama,
"Iya, yang sedang kita rancang adalah sebuah kondominium megah, dimana setiap rumahnya harus benar seperti yang di harapkan. Sudah ada calon klien yang memesan beberapa rumah dengan desain yang beginilah, begitulah....gaya ini gaya itu, membuatku tambah pusing saja!" keluh Eros.

"Ok, kalau begitu....mari kita kerjakan ini," ajak Leo.

Baru mereka hendak membahasnya bersama seseorang masuk ke ruangan itu , Miko rupanya,
"Leo, pak Dendy sudah menunggumu di ruangannya! Kata Maya kau sudah kembali, jadi aku sendiri yang ke sini!"
"Ok, aku segera kesana!" katanya pada Miko lau kembali menoleh dua rekannya, "ok guys, kita lanjutkan nanti!" katanya lalu keluar ruangan.

Sebenarnya ia sudah malas kalau yang akan di bahas itu soal Cynthia, ia mengetuk pintu ruangan pak Dendy lalu masuk,
"Maaf pak, anda memanggil saya?"

Pak Dendy yang sudah mendongak ke arahnya menjawab, "iya, masuklah!" Leo segera menghampiri dan duduk.

"Ada kesulitan dengan proyek ini?" tanya pak Dendy, "kami sedang mendiskusikannya pak!" sahutnya,

"Tak usah terlalu terburu-buru, aku tidak mau asal jadi!"
"Jangan kuatir soal itu pak, kami sedang mengusahakan mendapatkan hasil yang terbaik!"

Ia merasa sedikit lega karena pak Dendy hanya membicarakan seputar pekerjaan saja, jadi tidak terjadi perdebatan.

* * *

"Kalian pulang saja dulu, masih ada banyak waktu!"
"Ok!"

Leo menyuruh Tama dan Eros pulang dulu sementara dirinya masih duduk di kursinya hingga malam, sebenarnya sambil mengerjakan pekerjaannya ia juga menunggu telepon Rena. Ia berharap wanita itu akan menelponnya, entah kenapa ia ingin sekali tahu banyak tentang wanita itu.

Tapi hingga hampir jam sembilan malam tak ada satupun telepon dari Rena, justru nama Cynthia yang muncul ketika hpnya berdering, dengan malas ia menerima telepon itu,

"Halo!"
"Halo, sedang apa?"
"Aku....masih di kantor!" katanya seraya memutar-mutar kursi yang di dudukinya.
"Masih di kantor?"
"Hanya....sedikit melanjutkan pekerjaan!"
"Ini sudah malam, sebaiknya kau pulang!"
"Tidak apa-apa, besok kan sabtu!"
"O iya, ehm....kalau begitu.....besok kau ada waktu kan?"
"Kenapa?"
"Kita pergi liburan yuk, nanti ku ajak temanku juga jadi kita pergi rame-rame!"
"Liburan!"
"Iya, sumpek di rumah terus!"
"Cyn....,"
"Ayolah...please.....nanti semua akomodasinya aku yang tanggung!"
"Memangnya mau kemana?"
"Singapore!"
"Ke Singapore?"
"He-em, nanti kita menginap di hotel papa. Jadi gratis!"
"Tapi Cyn....,"
"Please....ayolah.....sekali ini....saja!" rengek Cyntia.

Leo menggaruk lehernya, sebenarnya ia juga butuh refreshing sih, tapi bukan bersama Cynthia tapi......sepertinya tidak apa-apa sekali-kali.

"Jika ku ajak teman boleh?"
"Ehm...intinya kau mau?"

Leo menjijing satu alisnya, tapi sudah tentu gadis yang di ajaknya bicara tak akan bisa melihatnya.

"Ok, asalkan kau mau ikut aku tidak akan keberatan meski kau bawa banyak teman!"

"Ok, aku ikut!"

Cynthia tersenyum girang seolah Leo bisa melihatnya, "ok, besok langsung kumpul saja semuanya di airport. Masalah tiketnya tak usah di pikirkan!"

Setelah sambungan telepon dari Cynthia terputus ia segera menghubungi Alan, temannya itu langsung menerima panggilannya dan sudah pasti tidak menolak untuk ikut serta. Setelah berbicara dengan Alan, Leopun mulai sedikit ragu-ragu untuk menghubungi seseorang. Akhirnya....

Rena yang sudah berganti piyama segera menyambar hpnya yang berdering, senyumannya mengembang melihat nama di layarnya yang muncul,
"Halo!"
"Hai, malam!"
"Malam, ehm....., ada apa, ada yang pentingkah? Ku rasa kau sudah mendapatkan penjelasanku tadi siang!"
"Aku hanya.....ehm...begini, temanku mengajakku pergi liburan ke Singapore. Mungkin saja kau mau ikut!"
"Ke Singapore?"
"Bagaimana?"
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa!" katanya merebahkan diri dengan menelungkup, Leo mendesahkan sedikit rasa kecewa tapi ia tak ingin Rena tahu itu, "begitu, tak apa-apa!" kediaman merebak cukup lama, lalu suara Rena memecahkannya,

"Sebenarnya aku ingin sekali ikut, apalagi sudah lama sekali aku tidak pergi ke sana. Tapi....,"
"Tapi kenapa?"
"Hanya saja aku tak bisa pergi sekarang, mungkin lain kali aku bisa memberitahumu alasannya tapi tidak sekarang!"
"Ok!"
"Kau marah?"

Leo tertawa ringan, "kenapa harus marah?" sahutnya, "mungkin karena kau kecewa!" tukas Rena.

"Sebenarnya aku sedikit malas pergi bersama mereka tapi aku sudah kadung janji, tadinya ku pikir kau bisa ikut!"
"Maaf sekali ya!"
"Tidak apa-apa. Ya sudah, kau istirahat saja!"
"Memangnya kau dimana?"
"Masih di kantor!"
"Mas-sih di kantor?" sahut Rena seraya bangkit duduk, "di jam segini?"
"Ini sudah mau pulang kok, sebenarnya sih aku lapar sekali. Belum sempat makan malam!" kalimat Leo seolah sebuah ajakan untuk Rena agar mau menemaninya makan malam. Rena melirik jam dinding di kamarnya,
"Mau aku temani?"
"Jika kau sudah mau istirahat, itu sungguh tidak perlu. Mungkin aku akan makan di rumah saja!"
"Tidak apa-apa, aku bisa kok malam ini!"
"Benar?"
"I....yah!"
"Ok, mau aku jemput?"
"Tidak usah, aku bawa mobil sendiri!"
"Ok, ehm....bagaimana kalau kita bertemu di pantai saja!"
"Fine!"
"Ok, bay!"
* * *

Rena segera berganti baju dan keluar, untungnya Roger belum pulang.
"Nona, anda mau kemana?" tanya Rudi saat Rena menghampiri mobil.
"Bertemu seseorang!"
"Ini sudah malam nona!"
"Aku tahu!"

Tapi Rena tetap saja memasuki mobil tanpa memperdulikan Rudi dan langsung tancap gas. Leo sampai lebih dulu, ia duduk di salah satu meja di sebuah restoran outdoor sambil memandangi lautan lepas.

Setelah di pikir-pikir, ini aneh juga. Selama ini ia tak pernah agresif terhadap wanita, tapi ini ia lakukan setelah bertemu Rena. Apakah saat ini ia sedang melakukan PDKT pada wanita itu? Tapi saat bersama Rena ia seolah bisa menepiskan bayangan Maya dari hatinya.

Rena berjalan terburu ke arah tempat Leo berada, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang yang di kenalinya berada tak jauh di depannya. Matanya melebar dan rasa takut segera merayapinya, ia ingin segera menyingkir tapi tiba-tiba lututnya bergetar hebat hingga ia tak mampu menggerakannya. Ia berharap orang itu tak melihatnya, tapi.....

---Bersambung.....---

SPS #Bab Delapan | SPS #Prolog

Kamis, 05 November 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Enam

SPS # Bab Lima

Mata mereka masih beradu, tapi Leo segera mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Langkah pelan yang Maya cintakan begitu lembut, ia berjalan menghampiri Leo lalu duduk di sampingnya.

"Kenapa tidak tidur?"

Suara wanita itu lembut seperti biasanya, Maya memang tipa wanita yang lembut dan feminin.

"Aku belum mengantuk!"
"Aku juga tak bisa tidur!"
Leo menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya,
"Kenapa kau jarang ada di rumah?" tanya Maya, Leo tam menyahut, "kau bahkan selalu pulang larut malam, atau bahkan tidak pulang. Kata Miko, dulu kau lebih suka mengerjakan tugasmu di rumah sepulang kantor. Apa....karena ada aku?"

Leo tak menjawab, seolah mengiyakan hal itu.

"Leo, apa yang terjadi di antara kita....,"
"Tak pernah terjadi apa-apa di antara kita, iya kan!" potong Leo,
"Apa kau marah padaku, karena aku lebih memilih cinta Miko. Kalau begitu harusnya kau katakan dari dulu!"
Leo masih diam.

"Aku memilih cinta Miko bukan berarti aku sudah tak mencintamu lagi!"

Leo menonel padanya.

"Aku menunggu, menunggu pernyataan cintamu. Tapi kau tak pernah lakukan itu, lalu apakah salah jika aku memutuskan menerima cinta pria lain. Setidaknya.... Miko tidak pengecut, dia menyatakan perasaannya, menunjukan perasaannya!"

"Ok, aku memang salah. Dan mungkin aku memang pengecut. Aku tidak menyalahkanmu atau pun Miko, karena semua itu memang kesalahanku!"
"Leo, bukan begitu!"
"Bukan begitu?"

Maya membalas tatapannya, ia tahu pemuda itu masih mencintainya, "aku....aku masih tak bisa melupakanmu, aku masih mencintaimu!" ungkapnya.

"Apa?"
"Aku tak bisa melupakanmu begitu saja!"
"Maksudmu...kau menjadikan kakakku...,"
"Bukan, bukan begitu," potongnya seolah tahu apa yang akan di ucapkan Leo,"aku mencintai Miko, aku mencintainya. Tapi....., aku butuh waktu untuk melupakanmu, atau bahkan mungkin...tak bisa melupakanmu!"

Leo menyunggingkan senyum kecil di bibirnya, "Apa?"
"Kau juga masih mencintaiku kan!"
"Maksudmu....kau ingin menduakan kakakku denganku?"
"Leo, bukan begitu!"
"Lalu apa, apa kau tahu....ucapanmu tadi itu sangat tidak pantas untuk seorang wanita yang baru saja menikah!"
"Leo!"
"Ok, aku minta maaf karena selama ini aku terlalu pengecut terhadap perasaanku sendiri. Tapi sekarang keadaannya sudah seperti ini kan!"

Maya diam. Ia sedikit menunduk, ia sendiri tak tahu bagaimana ia bisa melupakan Leo sementara mereka tinggal seatap. Ia tahu betul kenapa sekarang Leo jarang ada di rumah.

"Sudah larut, sebaiknya kau ke kamar. Aku takut Miko akan mencarimu dan menemukan kita di sini!"

Maya kembali menatapnya, ia tahu apa arti kalimat itu. Secara tidak langsung pemuda itu mengusirnya dari sisinya. Tapi ia membenarkan hal itu, Miko bisa saja mencarinya dan malah memergoki mereka. Mayapun berdiri, secara perlahan ia berjalan kembali ke kamarnya meski sebenarnya ia masih ingin berbicara dengan pemuda itu.
Leo memungut kembali cangkir kopinya yang mulai mendingin, belum sempat ia menyesapnya dering dari hpnya membuatnya harus menaruhnya kembali. Ia memungut hpnya di saku celana pendeknya, nama Cintya terpapar di layar ponselnya,

"Aduh, malam-malam begini mau apa?" keluhnya tetapi ia tetap menerima panggilan itu, karena jika tidak, besok telinganya akan meledak di ceramahi oleh pak Dendy.

"Iya Cin?"
"Malam!"
"Malam!"
"Kau belum tidur kan?"
"Jika aku tidur tidak mungkin aku bicara denganmu!"
Terdengar suara tawa lembut di telinganya, "kau terlihat sedang kesal, ehm....bagaimana kalau kau main saja ke rumah!"
"Ke rumahmu?"
"Iya, papa belum pulang. Aku bosan sekali!"
"Kau bisa melakukan sesuatu kan, chatting dengan Vita atau apa!"
"Itu saran yang konyol, kalau begitu untuk apa aku menelponmu?"

Leo menggaruk kepalanya yang sudah pasti tidak gatal, bisa sampai pagi kalau melayani gadis manja itu di telepon!

Miko hanya diam saja ketika Maya memasuki kamar, ia pura-pura sudah terlelap karena memang setahu istrinya ia sudah tidur. Tapi saat ini ia sedang mengingat apa yang baru saja di dengarnya. Ia mengikuti istrinya keluar kamar dan mendengarkan percakapan mereka dari balik tembok di samping pintu belakang. Ternyata wanita yang pernah adiknya ceritakan kepadanya adalah Maya, dan sampai detik ini mereka masih saling mencintai. Sekarang ia merasa seperti orang bodoh, jadi adiknya jarang di rumah sekarang karena ada Maya.
Entah apakah Maya sering menyelinap seperti itu selama ini ketika dirinya tertidur?

* * *

Pagi itu Miko hanya diam saja, ia tak terlalu cerewet ketika seperti biasa Leo hanya menenggak air putih tapi kali ini adiknya memungut rotinya dan memakannya seraya berjalan.
Tapi Miko mencoba untuk bersikap biaa terhadap istrinya. Adiknya dan istrinya menyembunyikan darinya bahwa sebenarnya mereka memiliki perasaan yang sama, jadi iapun tak ingin mereka tahu kalau dirinya sudah mengetahui hal itu. Dan untungnya Maya tidak curiga dengan sikapnya.

Rena duduk diam di meja makan, ia hanya memandangi makanan yang terhidang di piringnya.
"Jika kau tidak mau makan kau bisa sakit, dan jika kau sakit....itu akan sangat merepotkan!" seru Roger yang masih mengunyah makanannya.
"Aku ingin menelpon adikku!"

Mendengar itu Roger berhenti mengunyah, menatapnya dalam, "dia baik-baik saja, selama kau menjaga sikap!" sahutnya.
"Aku ingin mendengar suaranya!"

Roger tertawa ringan, "kau tahu betul bagaimana keadaan adikmu, dia itu autis. Apa kau pikir dia akan bilang, "hai kak, aku kangen!" saat mendengar suaramu?"

Rena hanya diam,

"Aku hanya ingin tahu kalau dia baik-baik saja!"
"Sudah ku katakan padamu, dia baik-baik saja sejauh ini. Nanti akan ku minta seseorang membuat video saat dia menyapamu, ok!"
"Roger, aku ingin bertemu dengannya!"

Roger menaruh sendoknya lalu menatap Rena tajam, "aku tidak suka kau terlalu banyak menuntut ini itu, sudah untung ku biarkan kalian hidup!"

Rena menatapmya tajam, "dan kenapa kau menatapku seperti itu, ingin melawanku lagi?"
Rena tak menjawab, ia tahu apa akibatnya jika ia melawan atau tidak menurut pada Roger. Tapi kali ini ia beranikan untuk meminta sesuatu, "aku akan lakukan apa maumu, tapi aku minta sedikit kebebasan. Aku bosan jika terus terkurung di sini!" ungkapnya.

Roger sedikit mengernyit tapi ia masih diam menunggu apalagi yang akan Rena minta, "kau tahu aku tak mungkin lari darimu, apalagi ke polisi, aku hanya....,"
"Ok, aku tidak akan membatasi ruang gerakmu. Asal kau tidak mencoba berbuat macam-macam, kau tahu apa akibatnya jika kau mencoba mengkhianatiku kan?"

Rena mengangguk.

"Good, dan siap-siaplah. Kau akan segera punya pacar baru!" seru Roger dengan senyum iblisnya lalu beranjak pergi.

Rena masih diam di tempatnya, itu artinya Roger akan segera menyuruhnya untuk beraksi. Kali ini siapa lagi, semoga tak lebih berbahaya dari Zach. Tapi jika benar sekarang Roger tidak akan membatasi ruang geraknya, itu artinya ia akan punya waktu untuk menemui Leo.

Mengingat pria itu, Rena jadi menciptakan senyuman di bibirnya. Ia segera beranjak ke dalam kamarnya, kalau untuk bersih-bersih rumah dan memasak, Roger sudah menyiapkan orang. Dan semuanya adalah pria, termasuk kokinya. Jadi Rena adalah satu-satunya wanita yang tinggal di rumah itu, Roger sengaja tak mau Rena yang mengerjakan semua pekerjaan rumah karena ia tak mau merusaknya. Tentu saja, Rena adalah aset berharganya, ia ingin wanita itu selalu tampil menawan bak seorang putri raja. Memiliki kulit yang mulus dan licin, juga terawat. Bahkan ia menyewa seorang ahli kecantikan kusus untuk merawat tubuh Rena yang sudah menjadi langganannya.

Di kamar Rena segera menyambar hpnya dan menkan sebuah nomor tanpa ragu, panggilan itu tak mendapat tanggapan hingga saluran terputus. Ia mengulangi panggilannya hingga tiga kali lalu melempar hpnya di kasur. Memandanginya sejenak lalu segera berganti pakaian.

Setelah selesai ia segera keluar rumah, tapi di teras ia di cegat salah satu centeng Roger,
"Nona, anda mau kemana?"
"Ada urusan!"
"Tapi Nona...,"
"Apa kalian tidak tahu, bosmu sudah membebaskan aku untuk melakukan apapun mulai hari ini!"

Rudi seolah tak percaya, ia segera menelpon Roger dan Rena membiarkan saja.

"Biarkan saja dia pergi, dan turuti semua kemauannya. Tapi...kau tahu apa yang harus kau lakukan kan?"
"Iya bos!"

Rudi menurunkan hpnya, "bagaimana?" tanya Rena, Rudi menatapnya tanda mengerti.
"Maaf nona, saya belum tahu!"
"Boleh aku bawa mobil?"

Rudi sedikit melebarkan mata tetapi lalu ia menyodorkan kuncinya pada Rena, "terima kasih!" Rena menerimanya lalu langsung berjalan ke dalam mobil.

Setelah mobil Rena menjauh ia menelpon seseorang, "hei, kau di posisi?" tanyanya, "Mau dimana lagi!" sahut Edo.
"Nona Rena membawa mobil yang biasa ku bawa!"
"Ok, siap!"

Begitu mobil yang di kendarai Rena melintasinya, ia segera menjalankan motornya untuk membuntuti. Tapi agar tak membuat targetnya curiga ia tetap menjaga jarak.

* * *

Leo memasuki ruangannya, meletakan gulungan kertas di tangannya ke meja. Ia menghempaskan diri ke kursi seraya melirik hpnya di meja. Entah kenapa ia seperti terdorong untuk memungut dan memeriksa benda itu. Ia pun menyambar hpnya dan membukanya, ternyata ada 3 misscall, dan semuanya dari Rena.

Tanpa pikir panjang ia segera menghubungi nomor itu, Rena memungut hp di pangkuannya ketika benda itu berdering, apalagi melihat nama yang muncul di layarnya
"Halo!" sahutnya,
"Hai, ehmm....kau menelponku?"
"Iya, tapi sepertinya kau sedang sibuk!"
"Ada yang penting?"
"Bukannya kau yang ingin kita bertemu, karena semalam aku tak bisa datang jadi ku pikir mungkin hari ini....,"
"Sekarang kau ada di mana?"
"Aku sih sedang di jalan,"
"Ehm....begini. Karena hari ini aku masih ada kerjaan, bagaimana kalau makan siang nanti kita bertemu....ehm....dimana ya?"
"Bagaimana kalau di resto dekat klub kita minum bersama, ada resto korea yang enak, belum lama buka sih. Tapi...kau suka makanan Korea kan?"
"Ya, aku suka sesuatu yang pedas!"
"Ok, kita bertemu di sana!"

"Ehm, Rena!" panggil Leo saat Rena hendak mematikan hpnya,"iya!" sahut wanita itu.
"E......nanti saja!"
Rena mengangguk seolah Leo bisa melihatnya, lalu nada tut yang panjang terdengar di telinganya.

Leo menaruh hpnya di meja kembali, ia jadi ingat tentang malam itu. Meski ia yakin tak terjadi apa-apa, tapi tetap saja ia butuh kepastian. Karena malam itu ia mabuk berat, kalau pun memang terjadi sesuatu....itu bisa saja kan?"

Sebelum ke restoran karena itu masih pagi maka ia pun pergi ke tempat yang dulu sering ia kunjungi semasa kuliah.

Ternyata beberapa temannya masih suka nongkrong di sana, "eh, siapa tuh?" seru Afdal, Rena turun dari mobil dan beberapa orang itu memeperlihatkan ekspresi heran bercampur bahagia, apalagi ketika wanita itu menghampiri mereka.
"Hai guys!" sapa Rena,
"Wuiss..., Rena. Kemana saja selama ini, ngilang begitu saja!"
"Sorry, sibuk!"

"Ada apa tiba-tiba kemari?"
"Ceritanya tidak boleh nih?"
"Bukan begitu, heran saja....!" timpal Ando, Rena tertawa manis, ia duduk menggeser Afdal.

Beberapa mobil sport berjejer di parkiran, mereka adalah anak-anak komunitas mobil sport. Dulu Rena adalah salah satu anggota mereka, jadi kebut-kebutan di jalanan dengan mobil itu sudah biasa baginya, itu sebabnya di Edo sampai kehilangan jejak.

"Ngomong-ngomong....mobilmu mana?"
"Eh...itu...sudah lenyap. Kalian tahu, sejak papa meninggal aku berhenti balapan!"
Mereka ngobrol lama melepas kangen, sembari menunggu jam makan siang akhirnya Rena pun kembali menjajal kemampuannya dengan beberapa teman. Terpaksa ia harus pinjam mobil Doni. Kangen juga terjun ke jalan seperti itu.

* * *

Leo hendak beranjak ketika Miko masuk ke ruangannya, Miko menghentikan langkah di pintu ketika melihat adiknya keluar dari meja dan berjalan ke arahnya.

"Kau mau keluar?"
"Ini memang jam makan siang kan!"
"Kalau begitu kita bisa makan bersama, ada yang ingin ku bicarakan!"
"Maaf Mik, aku ada janji dengan seseorang!" katanya berhenti di depan kakaknya, "ini penting sekali!"
"Urusan kantor?"
"Bukan sih, tapi aku buru-buru nih. Takut telat!" katanya melewati kakaknya, Miko menatap punggung adiknya yang berjalan menjauh.

Leo janjian dengan seseorang, dan katanya penting sekali, siapa?

Leo segera melaju dengan kecepatan tinggi karena karena tempat pertemuannya dengan Rena memelurkan jarak tempuh yang cukup jauh dari kantornya, ia tak mau membuat wanita itu menunggu terlalu lama dan kemudian pergi. Dan akhirnya mereka harus batal bertemu lagi.

Rena menyedot minuman yang ada di mejanya, sesekali matanya menatap ke arah pintu masuk. Ia berharap Leo bisa datang, karena sepertinya pria itu ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting dengan dirinya. Ia juga berharap bisa bercerita sedikit tentang dirinya, tapi Leo terlihat seperti pria baik-baik. Jika pria itu tahu siapa dirinya mungkin dia tidak akan mau mengajaknya bertemu seperti ini?

Senyum Rena mengembang ketika melihat sosok yang ia tunggu menembus pintu masuk, pria iru celingukan sejenak untuk mencari temannya. Ketika sudah ketemu ia langsung saja melangkah,

"Maaf, membuatmu menunggu lama ya?"
"Tidak selama kau menungguku semalam!"

Leo tertawa tanpa suara sambil duduk setelah menyeret kursi,
"Mau pesan apa, aku yang traktir deh!" tawar Rena, "jangan. Biar aku saja, kan aku yang minta bertemu!"
"Tapi kau sudah menyelamatkanku dua kali, anggaplah sebagai salah satu ucapan terima kasih!"
"Ehmmm....baiklah!"

Mereka memanggil waitres dan memesan makanan masing-masing yang ternyata sama. Lalu mereka saling pandang saat menunggu pesanan mereka done.

Leo menatap wanita itu tajam sekali, sebuah tatapan yang penuh pertanyaan.

"Rena, aku mau bertanya. Ku mohon jawab dengan jujur!"
"Katakan saja!"
"Ehm...., soal tempo hari. Apa yang terjadi?"

Rena terdiam, ia mengingat peristiwa itu. Malam itu Leo mabuk berat sehingga ia harus memesan kamar. Dan sekarang ia tahu kemana arah pertanyaan pria itu. Iapun tersenyum-senyum kecil.

"Kau memang mabuk berat, tapi apakah benar kau tak ingat apapun yang kita lakukan. Itu keterlaluan!"

Leo sedikit melotot, ia memang mabuk berat sampai tak ingat apa-apa. Jika terjadi sesuatupun, pasti ia juga tak ingat. Meski ia yakin tak terjadi apapun, tapi ia tetap ingin sebuah penjelasan.

"Memangnya apa yang terjadi?" tanyanya setengah berbisik, seolah takut ada orang lain yang mendengar. Rena terlihat sedang menahan tawa,

"Apakah kau yang membuka pakaianku?"

Rena masih belum menjawab. Tapi ekspresi Leo sungguh ingin membuatnya tertawa, pria brengsek tidak akan bertanya seperti itu.

"Ya, aku yang melepaskan pakaianmu!"

Leo menelan ludah seketika, matanya jadi tambah lebar dan pipinya sedikit memerah, dari ekspresinya itu Rena bisa menerka. Bahwa pria di hadapannya itu pastilah belum pernah telanjang di depan wanita.

Oh My God!

Benarkah?

Pria setampan itu belum sekalipun melakukan hubungan ranjang?

* * *

Bersambung......

SPS #Bab Tujuh | SPS #Prolog





Sabtu, 13 Juni 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Lima

SPS #BabEmpat

"Bertemu?" seru Rena.

Leo memutuskan menelpon nomor itu dan dugaannya benar, itu memang nomor Rena. Ia mengajaknya bertemu di tempat terakhir dirinya masih sadarkan diri, itu artinya di klub.

* * * * *

Rena menghentikan langkah ketika suara Roger mengejutkannya,
"Kau mau kemana?"
"Ada urusan sebentar!"
"Kau pikir kau bisa keluar masuk seenaknya?"
"Aku tidak lama!"

Roger berjalan menghampirinya, "menemui seseorang, bukankah antara kau dan Zach sudah berakhir?"
"Dan sekarang pria itu sedang mencariku, bahkan mungkin berniat membunuhku. Belum cukupkah permainan licikmu, sampai kapan aku harus menurutimu?"
"Selama yang aku mau, kecuali kau menghendaki adikmu mati tersiksa. Silahkan saja pergi dariku, tapi kau juga tahu aku tidak akan membiarkan kau pergi dengan mudah!"
"Kau memang biadab Roger!"
"Ha...ha...ha....!" tawa Roger menggelegar, "aku sudah cukup baik hati terhadapmu, masih ku biarkan kau menikmati hidup!"
"Menikmati hidup?" geram Rena,
"Setidaknya aku tidak merantai kakimu!"
"Apa?"
"Aku mau sementara kau diam di rumah sampai ku siapkan target baru!"
"Aku tidak mau lagi lakukan itu!" tolaknya.
"Kau tidak punya pilihan!"

Rena menatapnya penuh benci, lalu ia melangkah melewati Roger tapi kakinya kembali terhenti saat dua orang pria menghadangnya. Mereka adalah anak buah Roger, keduanya melangkah mendekatinya. Ia langsung membalikan badan dan menemukan Roger sudah kembali menatapnya,
"Sudah ku bilang aku mau kau diam di rumah untuk sementara waktu!"
"Ijinkan aku pergi sebentar!"

Roger tak menjawab, kedua orang itu segera memungut lengan Rena.
"Lepaskan aku!" rontanya, Roger mendekat. "aku tidak suka kau terus mencoba melawanku!" katanya pada Rena lalu memberi isyarat kepada dua orang itu untuk membawa Rena kembali ke kamarnya. Mereka langsung melaksanakan perintah bosnya, sementara Rena meronta.

"Lepaskan aku, aku bisa jalan sendiri!" teriaknya. Roger mengikutinya, sesampainya di kamar kedua orang itu menidurkan Rena secara paksa. "lepaskan!" serunya.

Mereka menelentangkan kedua tangan Rena, Roger memungut sesuatu dari dalam sakunya dan mendekati Rena. Rena membulatkan bola matanya ketika melihat sebuah suntikan di tangan sepupunya.

"Tidak, jangan lakukan itu!" rontanya, "lepaskan aku. Roger aku mohon, jangan lakukan itu lagi padaku!" pintanya.

Tapi Roger tidak memperdulikan rengekan Rena, ia tetap menyuntikan cairan di dalam benda itu ke lengan Rena. Berteriakpun tak ada gunanya, ia tidak akan mampu melawan mereka. Apalagi melawan, bergerakpun sekarang tak mampu. Dalam sekejap reaksi cairan itu bisa Rena rasakan di sekujur tubuhnya. Kedua orang yang memeganginya pun melepaskannya, Roger memungut wajah Rena.

"Dengar, aku bisa menambah dosisnya jika kau terus melawanku. Dan ku pastikan kau akan mati pelan-pelan!" serunya lalu melepaskan Rena dan meninggalkannya di kamarnya.

* * * * *

Leo sudah menghabiskan dua gelas minuman di meja bar, sesekali ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah satu jam lebih ia menunggu dan Rena tak muncul juga. Iapun memutuskan untuk pergi keluar dan menelponnya, Rena segera mengangkat hpnya ketika berdering.
"Hallo!"
"Hei, kau dimana?" tanya Leo.
"Maaf, aku tidak datang malam ini!"
"Kau menangis, apa yang terjadi?"
"Tidak ada apa-apa!"

Leo terdiam, ia tahu pasti Rena sedang dalam masalah. Tapi rasanya tidak pantas jika ia bertanya terlalu pribadi, mereka belum lama kenal.

"Kau yakin tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja, maaf ya jika membuatmu menunggu!"
"Tak apa, mungkin lain kali!"

Leo menutup teleponnya, ia yakin Rena tidak baik-baik saja. Wanita itu cukup membuatnya penasaran, dia cenderung lebih tertutup. Akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang.

Miko baru keluar dari ruang kerjanya ketika Leo baru memasuki rumah.
"Tumben, kau tidak kelayapan hingga pagi!"
teguran Miko membuat Leo menghentikan langkah.
"Bukannya kau senang?"
"Tadi Cintya mencarimu kemari!"
"Apa, Cintya?"
"Jangan menggantungkan perasaan anak orang, apalagi dia anak bos kita?"
"Menggantungkan? Miko, aku dan Cintya tidak ada hubungan apapun!"
"Lalu kenapa setiap saat dia selalu menanyakanmu?"
"Oh....ya Tuhan!" keluh Leo seraya memutar pandangannya tapi matanya malah menemukan Maya yang muncul dari dapur membawa secangkir kopi.

Mata mereka bertemu, tapi Leo segera mengalihkannya seraya berkata, "aku mau istirahat!" iapun berjalan ke kamarnya. Masih memikirkan apa yang terjadi dengan Rena, tapi di sisi lain ia juga masih memikirkan Maya. Ia menghempaskan dirinya ke kasur hingga memantul.

Ia berfikir, mungkin mengguyur tubuhnya dulu akan lebih menyegarkan otaknya. Ia pun bangkit dan melenyapkan diri di kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia memungut gitarnya dan memainkannya di atas kasur. Tapi saat ini pikirannya menjadi kacau, ia bahkan tak bisa memainkan gitar dengan benar. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar kamar, berjalan ke dapur untuk membuat kopi.

Ie menyeduh kopinya sendiri, menikmati sendiri. Lalu membawa kopinya ke serambi belakang, duduk di bibir teras. Entah apa yang di lakukannya, ia sendiri merasa seperti orang gila sendirian minum kopi di malam buta. Kalo sedang mengerjakan rancangannya itu sih wajar saja, daripada bengong sendirian tak pasti. Seharusnya malam ini ia bisa menghabiskan waktu bersama Rena, ngobrol mungkin? Ia segera menggelengkan kepalanya untuk menepia pikiran itu. Kenapa sekarang malah berharap sedang bersama wanita itu?

Sebuah langkah kaki pelan membuatnya harus menoleh, ia melebarkan mata karena melihat Maya sudah berdiri tak jauh darinya dengan piyamanya. Menatapnya dengan tatapan yang dulu pernah ia kenali, saat mereka sedang saling berharap.

Bersambung.....

SPS #Bab Enam | SPS #Prolog

Sabtu, 06 Juni 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Empat

SPS #Bab Tiga

Rena masih diam menatap Leo dengan tatapan curiga, pria itu memintanya menemaninya malam ini sebagai ucapan terima kasih karena telah menolong dirinya.

Leo menatapnya dalam, ia bisa membaca ada keresahan di mata wanita itu. Semalam sikapnya tak menunjukan rasa takut, justru begitu berani dan sedikit agresif tapi malam ini wanita itu seperti menampakan wajah aslinya. Leo mengembangkan senyum tipis di bibirnya,

"Maksudku..... Aku butuh teman untuk ngobrol, mungkin juga bisa minum, biasanya aku menghabiskan waktu bersama temanku tapi karena malam ini dia ada kencan aku jadi sendirian!" jelasnya,
"Oh....!" sahut Rena merasa lega, "jadi....mau menemaniku?" tanya Leo sekali lagi. Rena memutar bola matanya untuk berfikir sejenak, lalu ia mengangguk. Leo melebarkan senyumannya, ia memberi isyarat kepana Rena untuk kembali naik ke belakangnya. Mereka saling bertukar nama dalam perjalanan, tapi keduanya tak melanjutkan percakapan.

Leo mampir ke sebuah butik yang masih buka, membeli sebuah baju untuk Rena karena bajunya sudah tak layak pakai dan minta pensiun gara-gara Zach.

Rena menceritakan hubungannya dengan Zach kepada Leo, kenapa Zach bisa berbuat seperti itu tadi. Entah kenapa, seperti ada kelegaan yang Rena rasakan setelah menceritakan hal itu pada Leo. Meski belum semuanya ia ceritakan, "bagaimana denganmu?" tanya Rena lalu menenggak minuman dari botol yang di pegangnya. Mereka sempat membeli dua botol minuman tadi, Rena berjalan di bibir pantai. Bertelanjang kaki, air laut membasahinya. Sementara Leo ada satu meter di sampingnya,
"Denganku?"
"Iya, kau terlihat seperti seorang pria patah hati yang sedang butuh dokter!"
"Dokter, memangnya aku gila!" protes Leo, Rena tertawa renyah. "bukan begitu maksudku...., dokter dalam artian teman. Tapi tebakanku benar kan?"

Leo meliriknya, wanita itu sedang tersenyum padanya menunggu tanggapannya. Ia tak mau menjawab, malah merebut botol di tangan wanita itu.

"Terlalu banyak minum membuatmu sok tahu!" cibirnya lalu menenggak minuman itu. "kurasa wanita itu bodoh, jika tidak dia tidak akan membuatmu patah hati!" seru Rena.

"Dia tidak bodoh!"
"Dia selingkuh atau di jodohkan?"
"Tidak dua-duanya!"

Rena menghentikan langkah dan menatapnya tapi Leo tetap melanjutkan langkahnya. Wanita itu kembali mengikutinya, "apa kita akan main di pantai ini sampai pagi?"
"Kau bilang kau malas pulang kan?"
"Iya, tapi kalau kita harus tidur di atas pasir ku rasa aku pasti akan jatuh sakit!" tawarnya. Leo seperti tak menggubris ocehannya, lalu Rena merebut botol yang masih di mulut Leo.
"Sini!"
Ia menenggaknya tapi isinya sudah kosong, "kau menghabiskannya!"

Mereka akhirnya pergi ke Klub di gedung hotel tak jauh dari sana, memesan beberapa botol minuman. Leo cukup terkejut karena teman minumnya cukup kuat, wanita itu sudah menghabiskan sebotol lebih redwine tapi masih belum teler.

"Jangan menatapku seperti itu, apa kau tidak pernah melihat wanita minum?"
"Sering, hanya.....aku tak mengira kalau kau kuat minum juga!"
"Terkadang aku harus melakukannya!" sahut Rena merubah mimik wajahnya, Leo memperhatikan itu. Lalu Rena kembali memasang senyum, "sudahlah, aku tak mau membicarakannya. Kita ke sini untuk bersenang-senang kan!" katanya melanjutkan menenggak minumannya.

Mereka akhirnya menghabiskan pesanannya, bahkan menambah pesanan tapi kali ini Leo yang menghabiskannya bukan Rena, Rena mencoba menghentikannya ketika Leo mulai terlihat mabuk. Tapi sepertinya Leo tak mau berhenti, Rena jadi bingung.

Leo tak terlihat seperti pria yang suka mabuk, atau....dugaannya benar. Dia sedang patah hati?

Karena Rena tak tahu alamat Leo sementara pria itu tak mungkin mengemudikan motornya maka iapun memesan sebuah kamar saja dan membawa Leo ke sana. Saat memapahnya ke kamar itu, Rena sempat mendengar Leo menyebutkan sebuah nama. Nama seorang wanita, Maya!

* * * * *

Leo membuka matanya perlahan, mengerjapkannya beberapa kali lalu ia membangkitkan diri hingga terduduk. Kepalanya masih terasa pening karena terlalu banyak minum, ia memegang dahinya. Sedikit memijatnya lalu matanya melotot lebar karena ia menyadari keadaan dirinya. Ia berada di sebuah ranjang yang bukan miliknya tanpa baju, ia mengintip ke dalam selimut sejenak. Dirinya hanya mengenakan pakaian dalam, lalu iapun memutar pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia tahu dirinya pasti berada di dalam kamar hotel, ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum dirinya masuk ke dalam kamar itu tapi ia tak mampu mengingatnya. Yang ia ingat hanya ia menolong Rena hingga mereka pergi minum bersama, setelah itu ia tak ingat karena terlalu mabuk. Apa yang terjadi semalam? Ia bangkit dan mengguyur dirinya di dalam kamar mandi. Setelah itu ia mencari pakaiannya tapi tak menemukannya, lalu ia segera memungut hpnya karena saat mandi tadi ia sempat mendengar ada panggilan masuk beberapa kali.

Ada miscall dari Miko dua kali, Cintya empat kali. Tapi ia tak bermaksud untuk membalas panggilan itu malah membuka register untuk menghapusnya, tapi ia justru menemukan sebuah panggilan keluar ke nomor yang tak ia kenali. Iapun menklik nomor itu untuk mengetahui kapan panggilan itu di lakukan. Ia terperanjat karena panggilan itu di lakukan semalam dan hampir tengah malam, padahal semalam ia bersama Rena mulai dari sekitar jam 8 hingga mereka pergi minum bersama dan harus berakhir di ruangan itu. Leo mengernyit memandang nomor itu, tapi suara bell membuyarkan lamunannya. Ia segera membuka pintu, seorang pria berdiri di hadapannya.

"Ini pakaian anda tn!" seru pria itu seraya menyodorkan tiga buah pakaian yang tergantung di hanger dan terbungkus palstik laundry kepadanya. Leo menerimanya tapi ia menatap pria iru heran, "semalam pacar anda meminta kami mencuci baju anda dan harus mengantarkannya pagi ini!"
"Pac-car!" sekali lagi Leo terkejut.
"Iya, tn!"
"Sebentar!" seru Leo memasukan dirinya ke dalam, la menaruh pakaiannya lalu memungut sejumlah uang untuk membayar biaya laundry dan juga uang tips kepada pria itu. Setelah itu ia segera berpakaian kembali dan meninggalkan tempat itu untuk melaju ke kantor karena ia sudah cukup terlambat.

*****
Saat meeting ia kurang konsentrasi gara-gara memikirkan apa yang terjadi semalam, dan nomor misterius di hpnya sehingga ia mendapat teguran dari pak Dendy. Tapi ternyata bukan cuma soal meeting itu saja, tapi juga soal dimana semalam dirinya berada.

"Kenapa urusan pribadi saya juga di permasalahkan Pak?" protesnya.
"Bukan begitu Leo, hanya....Cintya terus saja mendesakku untuk....!"
"Maaf Pak, saya dan Cintya tidak berpacaran. Kami hanya berteman, lagipula saya masih ingin fokus dengan pekerjaan saya dulu!"
"Leo, kau tidak perlu khawatir soal pekerjaan!"
"Maaf pak, jika saya meraih kesuksesan saya ingin memulai itu dari nol. Jadi saya mohon anda mengerti akan hal itu!" pintanya. Dendy terdiam dengan jawaban Leo, dalam hati ia memang mengagumi sosok pemuda di hadapannya. Tapi Cintya putrinya terus saja mendesaknya untuk bisa segera menikah dengan Leo atau dia tidak akan menikah seumur hidupnya, tapi tentunya rumah tangga putrinya tidak akan sempurna jika pria yang menikahinya tidak mencintainya. Mungkin memang akan lebih baik jika ia memberi Leo waktu untuk bisa membuka hatinya untuk Cintya.

Leo menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menghela nafas panjang lalu ia memungut hpnya di meja. Kembali membuka nomor yang belum ia kenali itu, ia masih bimbang apakah ia akan menghubungi nomor itu atau tidak. Ia tahu itu pasti nomor Rena, wanita itu sengaja meminta nomor Leo dengan menghubungi hpnya sendiri menggunakan hp Leo.

Akhirnya Leo menekan call dan menunggu panggilannya di respon. Rena sedang menerima telepon ketika ada panggilan masuk lainnya, "sebentar ya, ada yang masuk!" ia menekan hold untuk teman bicaranya itu lalu menerima panggilan Leo yang nomornya memang sudah ia save.

"Halo!" sahutnya lembut,
"Halo, Rena!" sapa Leo,
"Hai, aku tak berfikir kau akan menelponku.
aku meminta nomormu karena ku pikir mungkin saja suatu saat aku bisa minta bantuanmu!"
"Jadi ini benar nomormu?"
"Iya, tapi.....ada apa kau menelponku?"
"Bisakah kita bertemu?"
"Bertemu!"

Bersambung.....

SPS #Bab Lima | SPS #Prolog

Minggu, 31 Mei 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Tiga

SPS #Bab Dua

Leo menuruni tangga dengan tergesa, ia segera menuju meja makan. Di sana Miko dan Maya sedang sarapan pagi, ia hanya memungut segelas air putih dan segera mengosongkan isinya ke dalam perutnya tanpa duduk. Ia segera melangkah tapi suara Miko menghentikan langkahnya,

"Apa kau tidak mau sarapan dulu?"
"Biasanya aku sarapan di kantor kan!"
"Dulu kita hanya berdua, tapi sekarang ada Maya di rumah yang menyediakan sarapan untuk kita. Setidaknya hargai usahanya sedikit!"
"Miko, mungkin dia sedang buru-buru!" bela Maya.
"Ini masih pagi, tidak akan terlambat hanya untuk sarapan kan!"
"Lain kali saja, aku ada pekerjaan yang harus di selesaikan!" tolaknya seraya melangkah keluar. Miko mendesah memandangnya, "sudahlah, mungkin dia memang sedang ada pekerjaan!"
"Maya!"
"Miko, sebelumnya kalian hanya tinggal berdua. Tentu saja Leo membutuhkan waktu untuk terbiasa ada aku di sini!"
"Dia harus mulai belajar kan, bagaimana kalau dia menikah nanti. Bukankah tidak mungkin setiap pagi dia akan mencari sarapan di luar?"

Maya tersenyum, "kau juga baru sarapan di rumah setelah kita menikah kan, lalu kenapa kau khawatir!" Miko terdiam dengan ucapan istrinya karena itu memang benar. Tapi sejak Maya di rumah itu adiknya justru jarang berada di rumah, padahal dulu dia malah lebih suka mengerjakan tugas kantor di dalam rumah ketimbang keluyuran di luar sana.

Begitu sampai di kantor Leo di kagetkan dengan sosok seorang gadis yang langsung saja menubruknya, menggandeng lengannya dengan senyum yang mengembang indah di wajahnya. Itu masih di lobi, ia berusaha melepaskan tangan gadis itu karena merasa tidak enak jadi pusat perhatian karyawan di ruangan itu.

"Cintya, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya seraya berusaha melepaskan diri dari gadis itu. "kenapa kau bertanya seperti itu, ini kan kantor papaku jadi aku bisa datang kapanpun aku mau. Iya kan?" sahutnya.
"I-iya tapi.....,"
"Kau selalu menghindari jika aku mau mengajakmu bertemu dengan segudang alasan, bahkan kau tak pernah menjawab teleponku jadi aku ke sini saja!" katanya dengan suara keras tanpa malu.
"E.....,"

Leo tak melanjutkan kalimatnya karena ia melihat Pak Dendy Mahendra muncul dari dalam lift, Cintya masih menggandengnya. Ketika Dendy berjalan ke arah mereka, Cintya langsung membuka mulut,

"Papa, tidak apa-apa kan kalau kami keluar sebentar untuk sarapan?" katanya manja. "Cintya, aku masih ada pekerjaan yang harus ku selesaikan!" tolak Leo. Dendy tersenyum pada putrinya, "tentu saja!" lalu ia menatap Leo, "Cintya sengaja ikut aku ke sini untuk menemuimu, ajaklah dia makan di luar. Lagipula tidak ada meeting penting pagi ini!"
"Tapi pak.....!"
"Terima kasih pa, aku sayang papa!" girang Cintya melepaskan tangan Leo dan mengecup pipi papanya, ia tak memberi kesempatan Leo untuk mengungkapkan penolakan lagi. Segera saja ia menyeretnya keluar dari lobi, Leo hanya bisa menurut meski sebenarnya ia enggan.
Mereka sarapan di restoran dekat kantor.

"Kenapa sekarang kau tak pernah mengangkat teleponku?" protes Cintya, "itu.....!"
"Tidak apa-apa, aku tahu kau berusaha menghindariku tapi aku tidak akan membiarkan gadis manapun merebutmu dariku!"
"Cintya, maaf. Mungkin kau salah paham, kita selama ini tidak...!"
"Pacaran?" potong gadis itu, "aku tahu, tapi kau juga tak pernah punya pacar kan. Aku yakin suatu saat kau akan sadar kalau aku satu-satunya wanita yang tulus mencintaimu!"
"Cintya....!"
"Sudah jangan bicara lagi, habiskan sarapanmu agar kau bisa konsentrasi dalam pekerjaanmu nanti!" suruhnya, "oya, malam ini kita nonton yuk. Ada film baru!"
"Kau tahu aku tidak suka nonton bioskop!"
"Kalau begitu ke rumahku saja, kita bisa nonton di sana!"
"Rumahmu, papamu bisa membunuhku nanti!"
"Malam ini papa ada dinner dengan temannya, sepertinya akan pulang larut malam!"
"Tetap saja itu ide yang buruk!"
"Lalu kapan kita bisa menghabiskan waktu berdua?"
"Bukankah sekarang kita sedang berdua?"
"Jangan pura-pura tidak mengerti apa maksudku!" kesal Cintya, "Cintya.....!"
"Hem.....jusnya enak sekali!" serunya setelah menyedot jus jambu + susu kesukaannya itu. Ia ingin mengalihkan pembicaraan mereka karena ia tahu Leo selalu berusaha menolaknya.
"Kau sering minum itu, kupikir rasanya sama saja!" desis Leo, "jambu biji itu sangat bagus untuk kulit, kau mau coba?" katanya seraya menyodorkan gelas jusnya.
"Aku tidak suka susu!" tolaknya.

*****

"Bagaimana?" seru Roger, ia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. "sampai saat ini kau selalu bicara seperti itu, bekerjalah lebih cepat!" marahnya, ia memutar kursi yang di dudukinya. "aku ingin kau memberi hasil secepatnya, kau mengerti!" kesalnya mematikan hpnya dan melemparnya ke meja.
Ia duduk di meja yang seharusnya kini menjadi milik Rena, akal bulusnya berhasil membuatnya memiliki perusahaan itu. Dengan tanda tangan Rena yang sah, perusahaan itu beralih nama menjadi miliknya. Dan ia juga sudah berhasil menggulingkan beberapa perusahaan incarannya, hal itu membuat perusahaannya semakin besar dan pesat. Bahkan saat ini ia sedang mengincar sebuah perusahaan yang jauh lebih besar, meski sulit tapi ia selalu yakin bisa melakukannya. Selama ia masih bisa menguasai Rena, ia bisa menggunakan sepupunya itu sebagai alat yang ampuh. Rena adalah wanita yang cantik, seksi dan menawan. Kenyataannya wanita itu selalu berhasil merayu targetnya, dan ia bahkan tak perlu susah-susah mengeluarkan banyak uang untuk membayar. Tak seperti jika ia harus menbayar wanita lain.

Leo duduk di depan meja pak Dendy, mendengar pria itu berbicara. Sedari tadi pak Dendy terus saja membicarakan Cintya, "maaf pak, saya rasa anda salah paham. Saya dan Cintya tidak ada hubungan yang serius, kami hanya teman!"
"Jangan bicara seperti itu, kau tidak perlu malu. Cintya sudah bercerita banyak tentang kedekatan kalian, Leo.....Cintya adalah putriku satu-satunya. Aku hanya ingin dia bahagia, dan aku yakin kau adalah pria yang baik. Aku harap.....kau tidak mengecewakannya atau membuatnya patah hati!"
Leo menggaruk belakang kepalanya pelan, kalau sudah begini pasti akan repot jadinya.

"Eh....., pak. Saya permisi ke ruangan saya dulu, bukankah saya harus menyelesaikan tugas saya secepatnya!" katanya seraya berdiri. Dendy hanya mengangguk dengan tatapan tajam yang seolah mengancam.

******

"Ha....ha....ha.....!" tawa Alan menggelegar ke seisi ruangan, beruntung di sana tidak ada yang mengenal mereka kecuali para karyawan caffe karena mereka memang sering janjian di sana seusai kerja.

"Kau ini bukannya membantuku mencari solusi malah menertawakanku!" kesal Leo, "sudahlah kawan, nikahi saja Cintya. Otomatis kau akan menjadi bos di perusahaan itu!"
"Kau pikir aku sebrengsek itu?"
"Ku lihat Cintya benar cinta mati padamu, nyatanya dia setia sekali mengejarmu!" gurau Alan di sertai tawa ledekan.
"Terus saja meledekku seperti itu, ku pecat nanti kau jadi temanku!"
"Aduh Leo, bahkan Om Dendy pun tak keberatan kau jadi mantunya. Kurang apalagi?"

Leo memungut gelasnya dan menenggak isinya, menaruh gelas itu kembali ke meja tapi tangannya tak melepaskan benda itu.

"Jadi malam ini kau benar ada dinner dengan Tania?"
"Yep, kenapa. Mau ikut?" katanya mengangguk mantap, "jadi obat nyamuk, maksudnya? Tidak, lebih baik aku mencari sesuatu yang bisa menyegarkan otakku!"
"Misalnya, minum sampai teler? Lebih baik kau pulang dan biasakan dirimu dengan adanya Maya di rumahmu sebagai kakak ipar. Tidak mungkin kan kau akan selamanya menghindari kenyataan?"
"Aku tidak menghindari kenyataan!" sangkalnya.
"Heah......memang susah bicara denganmu!" keluh Alan, "aku mau pulang saja, mempersiapkan semuanya untuk kencanku. Ingat, jangan minum jika aku tak bersamamu?" seru Alan seraya membangkitkan diri dari duduknya.
"Aku bukan pemabuk!"
"Belakangan kau sering melakukannya!" sahutnya seraya berjalan menjauh, Leo hanya melirik sahabatnya lalu menurunkan pandangannya ke gelas di depannya yang sudah hampir kosong.

*****

Rena berjalan pelan di pinggir jalan, ia baru saja dari makam orangtuanya hingga larut. Tempat satu-satunya ia melarikan semua ketidakberdayaannya. Mau kemana lagi, kerabat satu-satunya justru membuatnya bagai hidup di neraka. Ia memang kenal beberapa teman, tapi hanya teman bermain, teman-teman kuliahnya dulu. Sebuah mobil melintas dengan cepat dan berhenti di depannya membuatnya harus menghentikan langkah. Tiga orang keluar dari dalam mobil, salah satunya cukup ia kenali, ia pun segera membalikan tubuhnya. Bersiap untuk mengambil langkah seribu, sayangnya seseorang lebih sigap meraih lengan. Memutar tubuhnya kembali, ia meronta.

"Lepaskan aku!"
"Kau pikir kau bisa lari dariku?"
"Zach, lepaskan aku!"
"Aku tahu apa yang kau lakukan, kau sengaja mendekatiku agar kau bisa mencuri dariku kan? Katakan, ada hubungan apa kau dengan Roger Suryadinata?" seru Zach seraya mempererat cengkramannya di lengan Rena, "simpanannya, pelacurnya. Katakan?"
"Itu bukan urusanmu!"

Rena mencoba meronta tapi cengkraman Zach justru makin kencang, membuatnya merintih. "Zach, lepaskan aku!"
"Melepaskanmu.....ha...ha...tentu saja!" sahut Zach seraya melempar Rena ke arah dua temannya, mereka segera menangkap kedua lengan Rena. Seketika Rena meronta tapi kekuatannya tak sebanding dengan kedua pria itu, "lepaskan!" ia menatap Zach, "kau mau apa?"

"Aku....., tentu saja bersenang-senang denganmu. Mau apalagi, bukankah kita sering melakukannya?"

Rena melebarkan bola matanya, Zach melangkah maju lalu memungut dagu Rena. Mendekatkan kepalanya seraya berdesis, "tapi kali ini.....kita tak hanya berdua. Kau tidak keberatan berbagi dengan teman-temanku kan?" lanjut Zach dengan senyum nakal.

Leo mengendarai motornya kencang melewati jalan itu, sekilas ia seperti melihat keributan maka iapun menghentikan motornya dan menoleh ke belakang. Terlihat ada satu wanita di antara ketiga pria di belakang mobil, wanita itu meronta dan berteriak. Sementara para pria itu menyeretnya untuk masuk mobil, ia seperti mengenali wanita itu dan juga salah satu dari ketiga pria yang bersamanya. Ia membuka helm dan turun dari motor, sementara salah satu pria itu pria itu sudah masuk ke dalam joj belakang menyeret Rena ikut bersamanya di bantu dengan satunya lagi yang mendorongnya.

Leo melangkah cepat ke arah mereka. Di dalam mobil Rena meronta dan berteriak ketika dua pria itu berusaha memaksanya, pintu mobil masih terbuka. Zach hendak menutup pintu ketika suara seseorang menghentikannya.

"Hanya para pengecut yang berani mengeroyok wanita!"

Zach terpaksa menoleh ke arah suara itu, Leo sudah berdiri tak jauh darinya.
"Jangan ikut campur!"
"Maaf, ini jalanan umum. Dan aku melihat hal yang tidak sopan jadi aku punya kewajiban untuk ikut campur!"
"Jangan sok jadi pahlawan!" cibir Zach melangkah seraya melayangkan sebuah tinju ke arah Leo tapi tangan Leo dengan sigap menangkapnya.

Mereka terlibat perkelahian, sementara yang dua di dalam akhirnya harus berhenti untuk membantu temannya yang mulai kewelahan menghadapi pengganggu mereka. Renapun segera berhambur keluar dari mobil, menepikan dirinya menjauh dari mobil itu seraya menyikap tubuhnya sendiri dengan airmata yang membanjiri pipinya.

Perkelahian masih berlanjut, meski sedikit kewelahan tapi Leo tetap berhasil membuat ketiganya melarikan diri. Ia memandang mobil itu menjauh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Rena. Ia melangkah maju mendekati wanita itu yang masih mendekap dirinya sendiri seraya menundukan wajah, terdengar isakan lembut dari mulutnya. Pakaiannya koyak di beberapa tempat.

"Kau tidak apa-apa?"

Rena mengangkat wajahnya perlahan, ia sedikit terkejut ketika menatap pria di hadapannya. Semalam ia memang belum melihat wajahnya dengan jelas, tapi suara dan matanya masih ia ingat. Pria yang ada di hadapannya, yang baru saja menyelamatkannya adalah pria semalam yang juga membantunya berhasil lolos dari Zach. Rena tak mengucap apapun karena ia masih sedikit shok dengan apa yang baru saja di alaminya. Tanpa bertanya lagi Leo pun membuka jaketnya dan kembali menyodorkannya pada Rena, "pakailah, ku antar pulang!" serunya.

Rena tak langsung memungutnya,ia masih terpaku menatap Leo. Karena tak ada reaksi, maka Leopun bertindak sendiri. Ia melangkah dan menyelimutkan jaketnya ke tubuh Rena. Hal itu membuat Rena sedikit terperanjat, ia melirik jaket yang menyentuh tubuhnya lalu matanya merangkak ke wajah pemilik jaket itu. Mata mereka bertemu, menyadari tatapan itu Leo segera mengalihkannya dengan menjauh dari Rena. Ia melangkah ke arah motornya, melajukannya dan berhenti di samping wanita itu.

"Naiklah!" serunya, Rena tak langsung beranjak ia masih diam. "hei!" seru Leo membuyarkan lamunannya.
"Eh!"

Renapun duduk di belakang Leo dan mereka segera meninggalkan tempat itu, ini kedua kalinya mereka bertemu dan selalu dalam keadaan yang sama. Tapi kali ini justru lebih parah, keadaannya lebih dari buruk. Sekali lagi Leo bertanya padanya dimana alamat rumahnya, tapi Rena tak menyahut. Akhirnya Leo menghentikan motornya di tepi jalan di kawasan yang ramai, tanpa di suruh Rena turun dari motor. Leo membuka helmnya.

"Kalau kau tak memberitahu alamatnya bagaimana kita bisa sampai?" tanyanya.
"Aku sedang malas pulang ke rumah!" sahutnya lirih, "terima kasih sudah menolongku, kau antar aku sampai di sini saja!"
"Apa, bagaimana kalau orang-orang itu masih mencarimu. Atau penjahat-penjahat lain?"
"Ini kawasan ramai, lihatlah.....banyak pedagang, toko dan juga kendaraan yang lalu lalang. Jika ada sesuatu.....aku akan mudah minta tolong!" ia mencoba bicara tenang meski suaranya tetap tak bisa menyembunyikannya. Dan Leo tahu itu.

"Begitu?" sahut Leo menatapnya dalam, "begini saja, karena aku juga sedang malas pulang. Dan aku sudah menyelamatkanmu dari para bajingan itu, bagaimana kalau.....kau menemaniku saja malam ini sebagai ucapan terima kasih?" tawarnya.

Rena terperanjat, "me-menem-manimu?" sahutnya terbata, ia menatap Leo dengan tatapan yang berbeda kini. Apa arti dari menemaniku malam ini? Rena mulai berfikir negatif tentang Leo, apakah mungkin pria itu juga memiliki niat yang buruk terhadap dirinya setelah bertemu dua kali dalam keadaan yang hampir sama?

---Bersambung.....---

SPS #Bab Empat | SPS #Prolog

Jumat, 24 April 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Dua

SPS # Bab Satu

Wanita itu mengotak-atik sebuah laptop di atas meja, matanya sesekali melirik pintu kamar mandi. Suara gemericik aliran air dari shower masih terdengar, berkas-berkas embun terlihat dari pintu kamar mandi. Setelah ia rasa semuanya beres, ia pun mencabut sebuah flashdisc dari samping laptop lalu menutup benda itu dengan sempurna. Ia segera merapikannya kembali lalu mulai mengenakan pakaian, bersikap seperti biasanya.

Pria 38 tahun itu memungut handuk, mengelap seluruh tubuhnya lalu membungkusnya dengan robe seraya berjalan keluar dari dalam kamar mandi. Di lihatnya wanita muda yang saat ini membuatnya tergila-gila itu sudah mengenakan pakaiannya lagi, dia bahkan sedang memoles wajahnya kembali di depan cermin.
"Kau tidak akan menginap malam ini?" tanya Zach,
Zakarya Yahya adalah seorang pengusaha yang sedang mulai menanjak di bidang properti, dia memang tampan. Tapi tak beda dengan bos-bos lainnya yang mudah tergoda dengan kulit mulus dan wajah rupawan seorang wanita padahal di rumah ada istri yang menunggunya pulang dengan cemas.

"Aku bertemu istrimu tempo hari, dia terlihat seperti istri yang baik. Mungkin sebaiknya mulai malam ini kita tidak usah bertemu lagi!"
"Jangan bercanda!" sahut Zach, ia menghampiri wanita itu. Meraihnya ke dalam dirinya, Rena memalingkan wajah sebelum pria itu memagutnya kembali. Ia mendorong dada Zach menjauh darinya, melepaskan diri.
"Aku serius, aku tidak mau selamanya menjadi simpananmu!"
"Kalau begitu kau tak harus jadi simpananku!"
"Apa maksudmu?"
"Kita bisa menikah,"
"Jadi istri keduamu begitu, maaf aku tidak bisa!"
"Rena!"
"Cukup Zach!" Rena menampik tangan Zach yang hendak meraihnya kembali, "aku harus pergi sekarang!"
"Jadi kau menemuiku malam ini hanya untuk mengatakan hal itu, lalu kenapa kau tidak menolak kemesraan kita?" kesal Zach dengan nada kecewa.

Rena menatapnya tajam, ada tatapan ejekan di bola matanya. Ia menyunggingkan senyum sinis, "hanya untuk sebuah kesenangan, bukankah kau menyukainya?"
"Jangan coba mempermainkan aku, kau pikir siapa dirimu? Tidak sulit bagiku mencari 1000 wanita sepertimu!"
"Terserah apa katamu, kau pikir aku peduli!"

Zach menarik lengannya dengan kasar, "kau tidak bisa pergi dariku begitu saja!" ancamnya, "jangan mengancamku, aku tidak takut padamu!" tantang Rena seraya menendang bagian vital Zach dengan lututnya, membuat pria itu meraung dan melepaskannya. Rena segera menyambar tasnya di atas meja lalu berlari ke pintu. Menyelinap keluar dari kamar dan lari ke pintu keluar apartemen itu. Zach mengejarnya, sudah pasti.
"Dasar wanita jalang, jangan lari!" makinya, Rena segera keluar dari tempat itu dan berlari ke lift. Ia menekan tombol open beberapa kali dengan cepat seraya menoleh ke belakang. Terlihat Zach berlari ke arahnya, ia mulai panik tapi syukurlah pintu lift terbuka. Iapun memasukan dirinya ke dalam, menekan tombol closed dengan cepat. Pintu tertutup kembali begitu Zach sampai, ia memukul pintu lift lalu pindah ke lift sebelahnya. Dengan kesal pula ia menekan tombol open, saat lift terbuka iapun tak ingin membuang waktu.

Rena keluar dari lift dan segera berlari meninggalkan gedung itu melalui lobi depan, begitu ia sampai di teras Zachpun keluar dari lift yang satunya.
"Rena!" serunya,
Rena mendengar teriakan itu tapi ia tak mau menoleh, ia terus saja berlari menjauh. Dua buah sepeda motor melaju dengan kencang di jalanan itu, Rena berlari ke jalanan. Berharap menemukan taksi, tapi karena tak ada taksi yang lewat dan Zach juga sudah mulai terlihat ia pun semakin panik. Ia memilih untuk menyeberang jalan meski ia mendengar suara motor dengan kencang, tapi suara klakson yang keras beberapa kali membuatnya harus menghentikan langkah di tambah lagi dengan sorot lampu depan yang menyilaukan mata membuatnya harus berteriak seraya menutup matanya.

Suara derit ban motor yang menggesek aspal akibat di rem secara mendadak cukup nyeri di telinga, motor itu berhasil berhenti tepat di depan Rena. Semantara motor yang satunya lagi berhenti tak jauh di depannya. Kaca helm orang itu terbuka,
"Hei, kau sudah gila. Sengaja mau bunuh diri?" seru Leo. Rena membuka mata perlahan, memutar bola matanya ke kanan-kiri untuk memastikan bahwa tubuhnya masih utuh di tempat. Ia menoleh ke arah Zach yang makin mendekat padanya, pria itu memang sempat berhenti ketika dirinya hampir tertabrak tapi kembali melangkahkan kaki padanya kini. Rena membulatkan bola matanya lalu berjalan ke arah Leo, tanpa basa-basi ia pun naik ke motor itu.
"Hei, apa yang kau lakukan?" seru Leo.
"Sudah jalan saja, cepat!"
"Kau....!"
"Pria itu mau membunuhku!" teriaknya.

"Hei!" Seru Zach seraya mendekat, Leo menoleh ke arah Zach lalu ia pun segera melajukan motornya kembali di ikuti Alan. Zach berhenti ketika sampai di jalan karena Rena sudah kabur dan ia tak mungkin mengejarnya hanya mengenakan robe saja.
"Sial!" makinya meninju angin.

*****

Leo menghentikan motornya di suatu jalan, Rena masih duduk di belakangnya.
"Hei, turun!" seru Leo.
"Kenapa kita berhenti di sini?"
"Ku bilang turun!" geram Leo, Rena pun akhirnya turun dan bergeser ke tepat di samping Leo. Alan menghentikan motornya di depan Leo, membuka helmnya dan memutar tubuhnya ke belakang.

"Rumahku masih sedikit jauh, mungkin kau mau mengantarku!" seru Rena, "apa, kita tidak saling kenal. Untuk apa aku mengantarmu!" acuh Leo
"Kau dingin sekali, ya.....kupikir mungkin kau mau mengantarku sekalian sampai ke rumah!"

Leo menatapnya, wanita itu memakai baju warna lembayung dengan belahan dada cukup pendek. Rok mini warna hitam, rambut yang terurai halus dengan make up yang elegan dan parfum yang sangat feminin. Mengembangkan senyum manis yang menggoda, caranya berbicara yang tanpa canggung juga cukup menggoda. Leo menghela nafas seraya melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya pada Rena.
"Kau bisa pulang sendiri kan, aku masih ada urusan!" serunya.

Rena memandang jaket di tangan pria itu yang di sodorkan padanya, lalu matanya berpindah ke wajah sang pemilik jaket. Ia mengamati cara pria itu memandangnya, tidak seperti pria lainnya yang memandangnya dengan kilatan nakal. Sorot matanya justru membuatnya canggung dengan penampilannya yang seperti itu, ia pun memungut jaket itu dari tangan Leo. Leo kembali menutup kaca helmnya dan mulai menstater motornya, tapi sebelum ia melaju tangan Rena menyentuh lengannya.
"Tunggu!"
Leo menoleh padanya, sementara Alan juga kembali siaga. "e.....terima kasih!" desis Rena, Leo tak menyahut. Rena melepaskan tangannya dan membiarkan pria itu menyingkir bersama temannya. Ia masih memandang hingga mereka tak rerlihat, setelah itu ia memakai jaket yang di berikan Leo padanya dan mulai mencari taksi.

*****

Sebenarnya Leo sudah tak ada acara apapun, ia dan Alan menuju rumah masing-masing. Lampu ruang tamu sudah padam ketika Leo memasuki rumah, ia langsung saja memasuki kamarnya. Sebenarnya sudah tak asing, karena ia hanya hidup dengan Miko maka merekapun jarang makan malam bersama di rumah. Ia memang sering pulang telat tapi yang jelas bukan untuk hal yang negatif. Meski sekarang sudah ada Maya, apalagi itu.....ia justru tak bisa berlama-lama berdiam di dalam rumah karena ia masih tak bisa menepiskan perasaannya terhadap wanita itu.

Rena memasuki kamarnya, ia melempar tas dan membuka jaket yang di kenakannya tapi ia tak melempar jaket itu. Ia justru memandanginya, mengingat sorot mata sang pemiliknya. Ia memang tak melihat wajahnya karena pria itu tak melepas helmnya, tapi ia masih ingat matanya yang hangat. Suaranya yang menenangkan dan bau parfumnya yang khas. Ia pun duduk di kasur seraya menggenggam jaket itu seakan tak mau ia lepaskan. Tapi pintu yang terbuka dengan kasar membuyarkan lamunannya, ia segera menaruh jaket itu di sampingnya.

"Kau membuat masalah lagi!" seru Roger, Rena membuang muka. "aku sudah bosan dengan semua ini!"
"Kau tahu kalau kau tak bisa berhenti sebelum....!"

Kalimat Roger terhenti ketika Rena menyodorkan sebuah flashdisc padanya, "ini yang kau inginkan, semuanya ada di sini!"
Roger melirik benda itu lalu memungutnya, "mungkin Zach akan membunuhku jika dia tahu aku mencuri datanya, Roger.....aku tidak ingin melakukan ini lagi!"
Roger memandangi benda mungil di tangannya lalu melirik Rena, menyunggingkan senyum congkak. "kau tahu kalau aku tidak akan melepaskanmu sebelum aku mencapai tujuanku!"
"Kau sudah mendapatkan semuanya, bahkan perusahaan orangtuaku. Lalu apalagi yang kau inginkan?" seru Rena seraya berdiri, "masih ada beberapa perusahaan yang belum aku takhlukan, dan kau masih memiliki banyak tugas!"
"Tidak, aku tidak mau lagi kau jadikan alatmu!"
"Oh....begitu, jadi kau sudah tidak peduli lagi dengan adikmu. Silahkan saja, jika kau ingin lari.....tapi ku pastikan kau tidak akan pernah melihatnya lagi!"
Rena menggerutu mendengar ancaman Roger, sepupunya sendiri. Roger memandangnya dengan puas lalu keluar dari kamar itu. Rena kembali duduk di kasur, airmata mulai meluncur di pipinya. Sampai kapan ini akan terus berlanjut, rasanya ia sudah tak tahan lagi. Tapi jika ia melawan Roger, iblis itu pasti akan menyakiti adiknya yang bahkan ia tak tahu di sembunyikan dimana. Sejak orangtuanya meninggal dan menitipkannya pada Roger yang dulu memang baik dan bagaikan malaikat, kini hidupnya sudah hancur. Orang yang ia kira adalah seorang malaikat ternyata adalah sesosok iblis, dia merenggut semua yang di milikinya. Perusahaan orangtuanya, adiknya sebagai jaminan agar dirinya mengikuti semua perintahnya dan juga masa depannya. Kini ia bahkan merasa seperti sampah di selokan, tapi ia harus bertahan. Bertahan agar adiknya bisa tetap hidup seperti janjinya pada orangtuanya, ia berjanji akan menjaga adiknya dengan baik. Membuatnya bahagia, tapi kini.....lihatlah. Menolong dirinya sendiri saja ia tidak bisa.

---Bersambung.....---

SPS #Bab Tiga | SPS #Prolog

Selasa, 14 April 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Satu

SPS #Prolog

Leo sedang duduk memutar-mutar kursinya seraya menggoyangkan pensil di tangannya tanpa henti ketika Miko memasuki ruangannya. Ia setengah tak acuh dengan kedatangan sang kakak.

"Kemana saja semalam, kau bahkan tidak pulang ke rumah?" kesal Miko.
"Menginap di rumah Alan!"
"Tapi setidaknya kau tidak mematikan hpmu, apa kau tahu aku khawatir setengah mati?"
"Aku bukan anak kecil lagi Mik, aku bisa menjaga diri!" jawabnya menaruh pensilnya di atas kertas putih yang sudah di coretinya dengan rancangannya.
Leo memang seorang arsitek, dan ia juga memilih menerima tawaran dari perusahaan tempat Miko menjabat sebagai direktur pelaksana. Sebenarnya ia mendapatkan tawaran gaji yang lebih tinggi di perusahaan orangtua Alan, tapi ia memilih untuk dekat dengan sang kakak.

Leo memandang sang kakak, "bukankah seharusnya kau masih cuti?"
"Aku hanya datang untuk memastikanmu baik-baik saja, setidaknya kau bisa pulang dulu ke rumah kan?"
"Tadi aku bangun kesiangan, itu sebabnya aku langsung ke kantor!"

Miko menghela nafas lega, "lain kali jangan matikan hpmu, dan semoga kau cepat menyelesaikan rancanganmu. Bulan ini kita harus sudah membangunnya!" seru Miko seraya berjalan keluar. Leo hanya meliriknya saja, lalu menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi.

"Miko!" sapa seseorang, Miko menoleh. "Nathan!" balasnya, "ku pikir kau masih cuti?" tanya Nathan seraya mendekat.
"Aku memang masih cuti, aku datang hanya untuk berbicara dengan adikku!"
Miko memang memakai pakaian biasa, tapi dia selalu tampil rapi, "kenapa dengannya hingga kau harus menemuinya di kantor?"
"Biasa, namanya juga anak muda. Semalam dia menghilang dan tidak pulang. Oya, aku harus pergi!" pamitnya,
Nathan tersenyum, "ok, salam untuk istrimu!" titipnya, Miko mengangguk dan berjalan ke arah lift. Nathan masih memandangnya hingga Miko menghilang ke dalam lift dan meluncur turun. Setelah itu Nathan bergegas ke dalam ruangannya. Nathan adalah wakil direktur pelaksana, selama Miko masih cuti ia merasa harus memanfaatkan keadaan sebaik mungkin.

"Sial!" maki Leo, "otakku benar-benar blank!" ia menjambak rambutnya sendiri seraya menggigit bibirnya, menyisirkan matanya ke seisi ruangannya. Ia bangkit dan menggulung kertas putih itu dengan cepat tapi hpnya berdering sehingga membuatnya harus memungutnya dari meja.

"Cintya!" desisnya, ia menghembuskan nafas lalu mengantongi saja hpnya tanpa memperdulikan raungan dari benda mungil itu. Dengan sigap ia memungut beberapa peralatan lalu meninggalkan ruangannya. Di saat seperti itu ia membutuhkan tempat yang jauh lebih nyaman dari ruangan kantornya, setidaknya tempat yang bisa membuat otaknya kembali normal.

Leo mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, ia bisa merasakan hpnya bergetar beberapa kali selama perjalanan.

*****

"Bagaimana, dia ada di kantor?" tanya Maya ketika suaminya memasuki pintu rumah, "anak itu selalu membuatku pusing!" keluh Miko.
"Dia sudah mulai dewasa Miko, sebaiknya kau jangan terlalu overprotektif padanya!"
"Dia tak pernah dewasa, dan aku tidak overprotektif. Hanya saja.....terkadang dia suka melakukan hal yang gila, dan itu yang membuatku khawatir!" sahut Miko menghempaskan dirinya di kursi.
Maya duduk di samping suaminya dengan senyuman lembut, "bagaimana dia bisa dewasa jika kau selalu menganggapnya seperti anak kecil!"

Miko menatap istrinya, ia membalas senyuman lembut itu. "entahlah, terkadang.....aku suka dia yang seperti itu. Sejak orangtua kami meninggal, hanya Leo yang aku miliki!"
"Aku mengerti!" sahut Maya menyentuh lengan suaminya.

*****
Alan mengangkat telepon yang sejak tadi ia diamkan, kalau tak diangkat pula dirinya yang tidak akan konsen bekerja.
"Iya Cin?"
"Temanmu itu bagaimana, aku menelponnya puluhan kali tapi tak satupun di tanggapinya?" marahnya,
"Kenapa kau tanyakan padaku, kami tidak sekantor. Mungkin dia sedang sibuk!"
"Aku sudah menelpon papa, katanya hari ini bahkan tidak ada meeting penting. Parahnya lagi dia tidak ada di mejanya!"
"Hah....aku tidak tahu. Aku bukan baby siternya, ok! Maaf Cintya aku sedang sibuk!" kesal Alan memutus teleponnya.
"Alan tunggu!" seru Cintya, tapi sambungan telepon sudah terputus. "Alan....Alan!" ia melepaskan hpnya dari telinganya, "mereka sama saja!" kesalnya, ia menyambar tas dan berlari keluar kamarnya.

Sementara Leo asyik menikmati orang-orang yang sedang beraktivitas di pelabuhan, ia bertengger di atas motornya. Rambutnya sedikit menari oleh terpaan angin, saat sendiri seperti ini justru sangat ia nikmati. Matanya menangkap sepasang anak lelaki yang sepertinya kakak beradik, mereka sedang bermain, bercanda, kejar-kejaran. Ia tersenyum, mengingat masa kecilnya dulu bersama Miko. Saat mereka kejar-kejaran, main bola hingga dirinya terjatuh. Ia menangis dan Miko menggendongnya pulang, jarak usia mereka 9 tahun. Itu sebabnya dirinya terlalu manja pada kakaknya itu, ia suka mengganggu Miko yang sedang belajar. Bahkan hingga sekarang, ia masih suka mengganggu kakaknya yang sedang sibuk bekerja, dan ia memang suka di perlakukan seperti anak kecil oleh kakaknya meski terkadang ia juga ingin di anggap sudah dewasa. Bunyi dering telepon membuyarkan lamunannya, ia segera memungut hpnya.

"Alan!" desisnya lalu mengangkat panggilan itu. Tapi belum sempat dirinya menyapa sahabatnya, ia sudah di semprot duluan dengan omelan.
"Hei, bisakah kau tidak melibatkanku dalam masalahmu?"
"Eit, tunggu. Ada apa?"
"Cintya menelponku berulang-ulang, jika aku tidak mengangkat telpon darinya pasti dia tidak akan berhenti menelpon sampai hpku meledak!"
"Masalahnya denganku?"
"Ya Tuhan....., dia menelponku karena mencarimu. Dasar brengsek, kenapa kau tidak kencani saja dia agar sedikit lebih jinak!" kesal Alan.
"Maaf, itu tidak akan pernah terjadi. Dan kau tahu itu!"
"Lain kali jangan sampai dia mengganggu pekerjaanku, apa salahnya mengangkat teleponnya dan ajak dia jalan!"
"Alan....., aku sedang tak ingin membahas Cintya. Ok!"
"Huh....dimana kau?"
"Pelabuhan, aku tidak bisa konsentrasi di kantor. Itu sebabnya aku kabur!"
"Ok, bagaimana kalau aku menyusul dan kita having fun. Aku juga bosan dengan suasana ruanganku, siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang menyenangkan!"
"Idemu tidak buruk, tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama!"
"Bukannya kebalik, kau yang selalu membuatku repot!" balas Alan. Leo hanya tertawa ringan.

---Bersambung.....---

Next, SPS #Bab Dua


Kamis, 19 Maret 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana # Prolog

Prolog
Leo menyelinap keluar di tengah pernikahan sang kakak, ia merasa tak sanggup jika harus mengikuti resepsi itu hingga berakhir. Alan mengikutinya hingga ke klub, menamaninya minum. Ia terus memperhatikan sahabatnya itu menengak minuman keras.
"Hentikan itu Leo, ini tidak benar!" serunya merebut botol wine di tangan sahabatnya. "membuat dirimu teler tidak akan menghilangkan rasa sakitmu, mungkin kau memang melakukan kesalahan. Melakukan kebodohan, tapi kau tak bisa menyalahkan hatimu sendiri, Maya memang wanita yang tidak berjodoh denganmu. Itu saja!" seru Alan.
Leo tersenyum perih, "tahu apa kau soal jodoh, jangan sok mengguruiku!" balasnya.
 
 Alan mendesah, ia terus berusaha menjauhkan wine yang hendak di rebut sahabatnya itu. Ia mengerti perasaan Leo, melihat wanita yang ia cintai harus menjadi milik kakaknya sendiri. Itu cukup menyakitkan. Tapi itu juga karena kebodohannya sendiri yang terlalu egois tak mau mengakui ataupun menyatakan cinta terhadap wanita itu hingga kakaknya yang melangkah lebih dulu. Maya adalah seniornya 2 semester saat kuliah, ia mengagumi gadis itu sejak menjadi mahasiswa baru, sayangnya ia hanya bisa menyimpan perasaannya itu karena saat itu Maya memang termasuk salah satu mahasiswi yang populer dan banyak di incar oleh para pria. Meski sejauh itu Maya memang tidak menerima satupun semua pria yang menyatakan cinta padanya, karena sebenarnya ia juga menaruh hati pada Leo. Ia menunggu juniornya itu memiliki nyali untuk menyatakan perasaannya tapi Leo justru terlihat menghindar setiap kali dirinya muncul. Hingga setelah wisuda Maya di terima bekerja di sebuah perusahaan yang kebetulan Miko juga bekerja di sana. Miko tahu gadis itu satu kampus dengan adiknya tapi ia tak tahu sola perasaan kedua insan itu. Ia jatuh cinta pada Maya dan mulai mendekatinya, awalnya Maya memang terkesan menghindar tapi kebaikan hati Miko akhirnya membuatnya luluh juga. Ia mulai membuka hatinya pada pria itu hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
 
Saat Miko membawanya ke rumah untuk di kenalkan pada adiknya, di saat itulah Leo merasa sangat terlambat. Padahal ia sudah mengumpulkan keberaniannya untuk mulai mendekati wanita itu tapi ternyata wanita itu justru sudah membuka hati untuk pria lain yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Hingga detik ini Miko tidak pernah tahu kalau gadis yang sering di ceritakan adiknya itu adalah gadis yang baru saja di nikahinya. Ia mencoba menelpon Leo setelah acara selesai. Adiknya itu belum pulang juga setelah menghilang di tengah acara. Alan tak bisa menghentikan Leo menghabiskan beberapa botol wine sampai teler, akhirnya ia membawanya pulang ke rumahnya saja, jika ia mengantar Leo ke rumahnya sendiri nanti Miko pasti akan marah besar. Ia membantingkan tubuh Leo ke ranjang hingga memantul, memandang sahabatnya sambil menggelengkan kepala. Iapun ikut berbaring di sampingnya setelah membuka jaket dan melemparnya begitu saja.
---Bersambung.....---

Sebelumnya, SPS #Bab Satu | SPS #Bab Satu