Sabtu, 28 November 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Tujuh

Sebelumnya, SPS #Bab Enam

Setelah cukup lama menahan tawa akhirnya Rena melepaskannya juga, tawanya merdu, renyah dan gurih, tapi wanita itu tertawa sampai sedikit terpingkal-pingkal. Hal itu membuat wajah Leo makin memerah dan malu, ia jadi merasa culun dengan tingkah Rena.

Melihat ekspresi Leo yang seperti anak ABG yang baru tumbuh Rena menghentikan tawanya, sekuat tenaga ia menahan tawa yang masih menggelitik perutnya itu.

"Maaf, bukan ingin mengejekmu..hanya...aku tak bisa menahan tawa!"

Leo diam menyembunyikan rasa malunya, "kau mau aku jujur atau tidak?" tanya Rena, Leo kembali menatapnya, "tentu saja jujur, bukankah tadi sudah ku katakan?"

"Ok, sebenarnya....aku menyuruh seorang roomboy untuk membuka pakaianmu karena kau sempat muntah, bahkan juga mengotori bajuku!"
"Benarkah?"
Rena mengangguk, Leo bernafas lega.

"Memangnya kenapa jika aku yang membukanya, apa pacarmu tak pernah melakukannya?"
"Pacar, aku bahkan tak punya!"
"Lalu Maya?"

Leo terhenyak, bagaimana Rena tahu tentang Maya, apakah dirinya mengigau saat mabuk?

"Aku sedang tak ingin membicarakannya,"
"Dia yang membuatmu patah hati?"
"Sudah ku bilang aku tak mau membahasnya!"

Wajah Leo berubah kesal jadi Rena mengalah untuk tak menggodanya tentang Maya,
"Ok, sekarang kau sudah tahu tentang malam itu. Ya, tak terjadi apa-apa di antara kita jadi jangan pasang muka malu-malumu itu!"
"Siapa yang malu-malu?"

Rena tersenyum saja, pesanan merek tersaji di atas meja.
"Wah...aku lapar sekali, ayo kita makan!" katanya mulai memungut sumpit, baru satu suap saja makanan yang ia masukan hpnya berdering, iapun terpaksa harus mengangkatnya apalagi nama yang terpapar di layar hpnya,

"Sebentar ya!" katanya menyingkir ketika menerima panggilan itu, Leo memperhatikannya,

"Ada apa?"
"Kau dimana?"
"Sedang makan siang dengan teman!"
"Aku menelponmu karena kau lihai sekali membuat orangku kehilangan jejak, aku tidak suka itu!"
"Dan aku tidak suka kau terus menyuruh orang untuk membuntutiku!" katanya setengah berbisik, "itu untuk keamananmu Rena, karena aku yakin Zach pasti masih mengejarmu!"
"Aku masih bisa mengatasinya sendiri!"
"Jika terjadi sesua.....
"Roger, ingat....kau berjanji akan memberiku sedikit kebebasan dan imbalannya...aku akan lakukan permintaanmu!"

Rena menunggu beberapa detik, "ok, tapi ingat. Jangan berbuat macam-macam!"
"Aku tahu!" katanya mematikan hpnya, ia melirik Leo yang ternyata memperhatikannya. Iapun menghela nafas panjang sebelum kembali ke meja dimana Leo berada.

"Maaf, itu tadi sepupuku!"
"Pacarmu juga tidak apa-apa!"

Rena sedikit tertegun, lalu ia menyunggingkan senyum kecut, "aku tidak tahu, apakah hubungan seperti itu bisa di sebut pacar?" desisnya. Sahutan Rena seolah sebuah jarum yang menusuk sang pemilik kata sendiri, Leo merasakan ada kepedihan dalam nadanya.

Rena diam menatap Leo ke dalam matanya, "apa kau pernah mengalami ini, saat hidupmu....di kendalikan orang lain. Bahkan kau merasa.....kau tak punya hak apapun untuk dirimu sendiri?"

Leo diam mencerna kalimat wanita itu, mata Rena berembun tapi wanita itu segera saja menyeka airmata yang hampir saja tumpah. Lalu tiada lagi kata yang terlontar, ia kembali menyantap makan siangnya dengan lahab. Mencoba tak menatap pria di hadapannya, tapi Leo bisa membaca kalau wanita di depannya itu sedang dalam tekanan besar, ia ingin bertanya tapi ia tak ingin menelenyapkan selera makannya saat ini.

Setelah mereka selesai makan siang, Leo mencoba kembali membuka percakapan, "Rena, apakah malam ini ada waktu?"
"Ehm..., aku belum tahu jadwalku malam ini. Memangnya kenapa?"
"Tidak ada apa-apa, hanya....mungkin kita bisa menghabiskan sedikit lebih banyak waktu bersama. Aku jarang dapat teman bicara wanita yang nyaman seperti mu!"

Rena memandangnya aneh, tapi jujur ia senang dengan tawaran pria itu.

"Aku juga.....tak pernah merasa senyaman ini ketika sedang bersama seseorang!" katanya sedikit menunduk, Leo menangkap sesuatu makna dalam ucapan Rena. Ia jadi ingat Rena pernah bercerita tentang hubungannya dengan pria malam itu yang bernama Zach, katanya wanita itu sengaja mendekati Zach untuk sebuah tujuan. Tapi Rena belum cerita apa dibalik tujuannya sengaja mendekati Zach!

"Maaf, aku tidak bermaksud....," Kalimat Leo terpotong oleh gelengan Rena, sebuah senyuman perih tersungging di bibir manisnya, "terima kasih ya, sudah sedikit meluangkan waktu untukku. Jika nanti malam aku tidak ada acara....aku akan menghubungimu!"

"Itu terdengar bagus," Leo menilik arlogi di pergelangan tangannya, "maaf Rena, aku harus kembali ke kantor!"

Rena tersenyum dan mengangguk, Leo berdiri, "terima kasih makan siangnya!" tapi ia masih belum beranjak. Entah kenapa seperti ada yang membuatnya tertahan, menatap wanita itu.....ia merasa masih ingin duduk di depannya. Karena ia bisa merasakan kalau Rena seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting, sesuatu yang selama ini di tahannya seorang diri. Tapi waktu harus mengingatkannya untuk kembali ke kantor atau ia bisa kena masalah. Iapun beranjak pergi dari sana, Rena menatapnya hingga menghilang dari pandangannya.

Rena menatap dadanya perlahan, ia memejamkan mata untuk meresapi sesuatu di dalam rongga dadanya. Sebuah debaran aneh setiap kali ia menatap mata Leo, debaran yang justru membuatnya takut untuk hanya sekedar memimpikannya.

Leo sendiri merasa aneh menyadari ia menanyakan apakah Rena punya waktu untuk bisa keluar bersamanya malam ini, sebelumnya ia tak pernah bertanya seperti itu pada wanita manapun. Tak pernah mengajak wanita manapun untuk pergi bersamanya.

* * *

Ketika Leo berjalan ke arah ruangannya yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan staf marketing, Maya yang berada di dalam ruangan sebagai salah satu staf marketing melihatnya, ia segera keluar dan memanggilnya,

"Leo!"

Iapun menghentikan langkah menolehnya, "kau darimana saja, pak Dendy mencarimu?" tanyanya.
"Ada apa?"
"Aku tidak tahu, tapi dia berpesan jika kau sudah kembali nanti di suruh ke ruangannya setelah meeting. Karena saat ini beliau sedang ada meeting direksi!"
"Ouh, terima kasih!" sahutnya lalu kembali melanjutkan perjalanannya ke ruangannya, Maya memandangnya, ia ingin mencoba bersikap biasa agar Leopun bisa bersikap biasa.

Leo menembus ruangan yang berisi dua orang di sana, sesama arsitek, tapi ia tidak di ruangan itu melainkan di ruangan yang ada di dalam ruangan itu sebagai kepala arsitek di perusahaan. Sebenarnya sampai saat ini ia merasa tidak enak dengan Tama yang lebih senior dari dirinya, menurutnya Tama lebih pantas menjabat sebagai kepala arsitek ketimbang dirinya tapi entah kenapa pak Dendy malah memilihnya setelah pak Amar mengundurkan diri karena pindah keluar negeri.
Itu sebabnya ia juga tak segan untuk meminta saran dan pendapat kepada Tama dan Eros di setiap rancangan.

"Leo, pak Dendy mencarimu!" seru Tama, "itu artinya masalah baru!" sahutnya, ia duduk di meja Eros.

"Kenapa tak kau lamar saja Cynthia, agar pak Dendy tidak pusing!" goda Tama,
"Kenapa bukan kau saja, bukannya kau menyukainya diam-diam!"
"Cynthia tak pernah melirikku, lagipula aku memang tak dekat dengannya!"
"Apa pak Dendy meninggalkan pesan?"
"Ya!" sahut Eros, Leo menolehnya, Eros berdiri dan mendekatkan mulutnya ke telinga Leo, "segera nikahi putriku, dia sudah tidak tahan!" bisiknya di sertai cekikikan, Leo memungut kertas di meja dan memukulkannya ke kepala Eros. Pemuda itu malah makin geli tertawa seraya menarik dirinya.

"Kerjamu jangan bergosip terus, aku malu lihat hasil kerja kalian!" katanya menarik diri dari meja Eros dan berbalik,
"Nah, ini dia yang harus kita diskusikan. Aku dan Eros punya sedikit perbedaan pendapat soal posisi taman yang akan kita tambahkan di sisi kondominium!"

"Proyek ini sangat besar, jadi....kita benar harus mendiskusikannya secara matang, ribet sekali membuat desain bangunan seperti ini!"
"Bukannya aku sudah sudah membagi bagian masing-masing?"
"Tapi kami rasa....kita membutuhkan sentuhanmu di setiap bagian. Agar hasilnya lebih maksimal!" seru Tama,
"Iya, yang sedang kita rancang adalah sebuah kondominium megah, dimana setiap rumahnya harus benar seperti yang di harapkan. Sudah ada calon klien yang memesan beberapa rumah dengan desain yang beginilah, begitulah....gaya ini gaya itu, membuatku tambah pusing saja!" keluh Eros.

"Ok, kalau begitu....mari kita kerjakan ini," ajak Leo.

Baru mereka hendak membahasnya bersama seseorang masuk ke ruangan itu , Miko rupanya,
"Leo, pak Dendy sudah menunggumu di ruangannya! Kata Maya kau sudah kembali, jadi aku sendiri yang ke sini!"
"Ok, aku segera kesana!" katanya pada Miko lau kembali menoleh dua rekannya, "ok guys, kita lanjutkan nanti!" katanya lalu keluar ruangan.

Sebenarnya ia sudah malas kalau yang akan di bahas itu soal Cynthia, ia mengetuk pintu ruangan pak Dendy lalu masuk,
"Maaf pak, anda memanggil saya?"

Pak Dendy yang sudah mendongak ke arahnya menjawab, "iya, masuklah!" Leo segera menghampiri dan duduk.

"Ada kesulitan dengan proyek ini?" tanya pak Dendy, "kami sedang mendiskusikannya pak!" sahutnya,

"Tak usah terlalu terburu-buru, aku tidak mau asal jadi!"
"Jangan kuatir soal itu pak, kami sedang mengusahakan mendapatkan hasil yang terbaik!"

Ia merasa sedikit lega karena pak Dendy hanya membicarakan seputar pekerjaan saja, jadi tidak terjadi perdebatan.

* * *

"Kalian pulang saja dulu, masih ada banyak waktu!"
"Ok!"

Leo menyuruh Tama dan Eros pulang dulu sementara dirinya masih duduk di kursinya hingga malam, sebenarnya sambil mengerjakan pekerjaannya ia juga menunggu telepon Rena. Ia berharap wanita itu akan menelponnya, entah kenapa ia ingin sekali tahu banyak tentang wanita itu.

Tapi hingga hampir jam sembilan malam tak ada satupun telepon dari Rena, justru nama Cynthia yang muncul ketika hpnya berdering, dengan malas ia menerima telepon itu,

"Halo!"
"Halo, sedang apa?"
"Aku....masih di kantor!" katanya seraya memutar-mutar kursi yang di dudukinya.
"Masih di kantor?"
"Hanya....sedikit melanjutkan pekerjaan!"
"Ini sudah malam, sebaiknya kau pulang!"
"Tidak apa-apa, besok kan sabtu!"
"O iya, ehm....kalau begitu.....besok kau ada waktu kan?"
"Kenapa?"
"Kita pergi liburan yuk, nanti ku ajak temanku juga jadi kita pergi rame-rame!"
"Liburan!"
"Iya, sumpek di rumah terus!"
"Cyn....,"
"Ayolah...please.....nanti semua akomodasinya aku yang tanggung!"
"Memangnya mau kemana?"
"Singapore!"
"Ke Singapore?"
"He-em, nanti kita menginap di hotel papa. Jadi gratis!"
"Tapi Cyn....,"
"Please....ayolah.....sekali ini....saja!" rengek Cyntia.

Leo menggaruk lehernya, sebenarnya ia juga butuh refreshing sih, tapi bukan bersama Cynthia tapi......sepertinya tidak apa-apa sekali-kali.

"Jika ku ajak teman boleh?"
"Ehm...intinya kau mau?"

Leo menjijing satu alisnya, tapi sudah tentu gadis yang di ajaknya bicara tak akan bisa melihatnya.

"Ok, asalkan kau mau ikut aku tidak akan keberatan meski kau bawa banyak teman!"

"Ok, aku ikut!"

Cynthia tersenyum girang seolah Leo bisa melihatnya, "ok, besok langsung kumpul saja semuanya di airport. Masalah tiketnya tak usah di pikirkan!"

Setelah sambungan telepon dari Cynthia terputus ia segera menghubungi Alan, temannya itu langsung menerima panggilannya dan sudah pasti tidak menolak untuk ikut serta. Setelah berbicara dengan Alan, Leopun mulai sedikit ragu-ragu untuk menghubungi seseorang. Akhirnya....

Rena yang sudah berganti piyama segera menyambar hpnya yang berdering, senyumannya mengembang melihat nama di layarnya yang muncul,
"Halo!"
"Hai, malam!"
"Malam, ehm....., ada apa, ada yang pentingkah? Ku rasa kau sudah mendapatkan penjelasanku tadi siang!"
"Aku hanya.....ehm...begini, temanku mengajakku pergi liburan ke Singapore. Mungkin saja kau mau ikut!"
"Ke Singapore?"
"Bagaimana?"
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa!" katanya merebahkan diri dengan menelungkup, Leo mendesahkan sedikit rasa kecewa tapi ia tak ingin Rena tahu itu, "begitu, tak apa-apa!" kediaman merebak cukup lama, lalu suara Rena memecahkannya,

"Sebenarnya aku ingin sekali ikut, apalagi sudah lama sekali aku tidak pergi ke sana. Tapi....,"
"Tapi kenapa?"
"Hanya saja aku tak bisa pergi sekarang, mungkin lain kali aku bisa memberitahumu alasannya tapi tidak sekarang!"
"Ok!"
"Kau marah?"

Leo tertawa ringan, "kenapa harus marah?" sahutnya, "mungkin karena kau kecewa!" tukas Rena.

"Sebenarnya aku sedikit malas pergi bersama mereka tapi aku sudah kadung janji, tadinya ku pikir kau bisa ikut!"
"Maaf sekali ya!"
"Tidak apa-apa. Ya sudah, kau istirahat saja!"
"Memangnya kau dimana?"
"Masih di kantor!"
"Mas-sih di kantor?" sahut Rena seraya bangkit duduk, "di jam segini?"
"Ini sudah mau pulang kok, sebenarnya sih aku lapar sekali. Belum sempat makan malam!" kalimat Leo seolah sebuah ajakan untuk Rena agar mau menemaninya makan malam. Rena melirik jam dinding di kamarnya,
"Mau aku temani?"
"Jika kau sudah mau istirahat, itu sungguh tidak perlu. Mungkin aku akan makan di rumah saja!"
"Tidak apa-apa, aku bisa kok malam ini!"
"Benar?"
"I....yah!"
"Ok, mau aku jemput?"
"Tidak usah, aku bawa mobil sendiri!"
"Ok, ehm....bagaimana kalau kita bertemu di pantai saja!"
"Fine!"
"Ok, bay!"
* * *

Rena segera berganti baju dan keluar, untungnya Roger belum pulang.
"Nona, anda mau kemana?" tanya Rudi saat Rena menghampiri mobil.
"Bertemu seseorang!"
"Ini sudah malam nona!"
"Aku tahu!"

Tapi Rena tetap saja memasuki mobil tanpa memperdulikan Rudi dan langsung tancap gas. Leo sampai lebih dulu, ia duduk di salah satu meja di sebuah restoran outdoor sambil memandangi lautan lepas.

Setelah di pikir-pikir, ini aneh juga. Selama ini ia tak pernah agresif terhadap wanita, tapi ini ia lakukan setelah bertemu Rena. Apakah saat ini ia sedang melakukan PDKT pada wanita itu? Tapi saat bersama Rena ia seolah bisa menepiskan bayangan Maya dari hatinya.

Rena berjalan terburu ke arah tempat Leo berada, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang yang di kenalinya berada tak jauh di depannya. Matanya melebar dan rasa takut segera merayapinya, ia ingin segera menyingkir tapi tiba-tiba lututnya bergetar hebat hingga ia tak mampu menggerakannya. Ia berharap orang itu tak melihatnya, tapi.....

---Bersambung.....---

SPS #Bab Delapan | SPS #Prolog

Kamis, 05 November 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Enam

SPS # Bab Lima

Mata mereka masih beradu, tapi Leo segera mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Langkah pelan yang Maya cintakan begitu lembut, ia berjalan menghampiri Leo lalu duduk di sampingnya.

"Kenapa tidak tidur?"

Suara wanita itu lembut seperti biasanya, Maya memang tipa wanita yang lembut dan feminin.

"Aku belum mengantuk!"
"Aku juga tak bisa tidur!"
Leo menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya,
"Kenapa kau jarang ada di rumah?" tanya Maya, Leo tam menyahut, "kau bahkan selalu pulang larut malam, atau bahkan tidak pulang. Kata Miko, dulu kau lebih suka mengerjakan tugasmu di rumah sepulang kantor. Apa....karena ada aku?"

Leo tak menjawab, seolah mengiyakan hal itu.

"Leo, apa yang terjadi di antara kita....,"
"Tak pernah terjadi apa-apa di antara kita, iya kan!" potong Leo,
"Apa kau marah padaku, karena aku lebih memilih cinta Miko. Kalau begitu harusnya kau katakan dari dulu!"
Leo masih diam.

"Aku memilih cinta Miko bukan berarti aku sudah tak mencintamu lagi!"

Leo menonel padanya.

"Aku menunggu, menunggu pernyataan cintamu. Tapi kau tak pernah lakukan itu, lalu apakah salah jika aku memutuskan menerima cinta pria lain. Setidaknya.... Miko tidak pengecut, dia menyatakan perasaannya, menunjukan perasaannya!"

"Ok, aku memang salah. Dan mungkin aku memang pengecut. Aku tidak menyalahkanmu atau pun Miko, karena semua itu memang kesalahanku!"
"Leo, bukan begitu!"
"Bukan begitu?"

Maya membalas tatapannya, ia tahu pemuda itu masih mencintainya, "aku....aku masih tak bisa melupakanmu, aku masih mencintaimu!" ungkapnya.

"Apa?"
"Aku tak bisa melupakanmu begitu saja!"
"Maksudmu...kau menjadikan kakakku...,"
"Bukan, bukan begitu," potongnya seolah tahu apa yang akan di ucapkan Leo,"aku mencintai Miko, aku mencintainya. Tapi....., aku butuh waktu untuk melupakanmu, atau bahkan mungkin...tak bisa melupakanmu!"

Leo menyunggingkan senyum kecil di bibirnya, "Apa?"
"Kau juga masih mencintaiku kan!"
"Maksudmu....kau ingin menduakan kakakku denganku?"
"Leo, bukan begitu!"
"Lalu apa, apa kau tahu....ucapanmu tadi itu sangat tidak pantas untuk seorang wanita yang baru saja menikah!"
"Leo!"
"Ok, aku minta maaf karena selama ini aku terlalu pengecut terhadap perasaanku sendiri. Tapi sekarang keadaannya sudah seperti ini kan!"

Maya diam. Ia sedikit menunduk, ia sendiri tak tahu bagaimana ia bisa melupakan Leo sementara mereka tinggal seatap. Ia tahu betul kenapa sekarang Leo jarang ada di rumah.

"Sudah larut, sebaiknya kau ke kamar. Aku takut Miko akan mencarimu dan menemukan kita di sini!"

Maya kembali menatapnya, ia tahu apa arti kalimat itu. Secara tidak langsung pemuda itu mengusirnya dari sisinya. Tapi ia membenarkan hal itu, Miko bisa saja mencarinya dan malah memergoki mereka. Mayapun berdiri, secara perlahan ia berjalan kembali ke kamarnya meski sebenarnya ia masih ingin berbicara dengan pemuda itu.
Leo memungut kembali cangkir kopinya yang mulai mendingin, belum sempat ia menyesapnya dering dari hpnya membuatnya harus menaruhnya kembali. Ia memungut hpnya di saku celana pendeknya, nama Cintya terpapar di layar ponselnya,

"Aduh, malam-malam begini mau apa?" keluhnya tetapi ia tetap menerima panggilan itu, karena jika tidak, besok telinganya akan meledak di ceramahi oleh pak Dendy.

"Iya Cin?"
"Malam!"
"Malam!"
"Kau belum tidur kan?"
"Jika aku tidur tidak mungkin aku bicara denganmu!"
Terdengar suara tawa lembut di telinganya, "kau terlihat sedang kesal, ehm....bagaimana kalau kau main saja ke rumah!"
"Ke rumahmu?"
"Iya, papa belum pulang. Aku bosan sekali!"
"Kau bisa melakukan sesuatu kan, chatting dengan Vita atau apa!"
"Itu saran yang konyol, kalau begitu untuk apa aku menelponmu?"

Leo menggaruk kepalanya yang sudah pasti tidak gatal, bisa sampai pagi kalau melayani gadis manja itu di telepon!

Miko hanya diam saja ketika Maya memasuki kamar, ia pura-pura sudah terlelap karena memang setahu istrinya ia sudah tidur. Tapi saat ini ia sedang mengingat apa yang baru saja di dengarnya. Ia mengikuti istrinya keluar kamar dan mendengarkan percakapan mereka dari balik tembok di samping pintu belakang. Ternyata wanita yang pernah adiknya ceritakan kepadanya adalah Maya, dan sampai detik ini mereka masih saling mencintai. Sekarang ia merasa seperti orang bodoh, jadi adiknya jarang di rumah sekarang karena ada Maya.
Entah apakah Maya sering menyelinap seperti itu selama ini ketika dirinya tertidur?

* * *

Pagi itu Miko hanya diam saja, ia tak terlalu cerewet ketika seperti biasa Leo hanya menenggak air putih tapi kali ini adiknya memungut rotinya dan memakannya seraya berjalan.
Tapi Miko mencoba untuk bersikap biaa terhadap istrinya. Adiknya dan istrinya menyembunyikan darinya bahwa sebenarnya mereka memiliki perasaan yang sama, jadi iapun tak ingin mereka tahu kalau dirinya sudah mengetahui hal itu. Dan untungnya Maya tidak curiga dengan sikapnya.

Rena duduk diam di meja makan, ia hanya memandangi makanan yang terhidang di piringnya.
"Jika kau tidak mau makan kau bisa sakit, dan jika kau sakit....itu akan sangat merepotkan!" seru Roger yang masih mengunyah makanannya.
"Aku ingin menelpon adikku!"

Mendengar itu Roger berhenti mengunyah, menatapnya dalam, "dia baik-baik saja, selama kau menjaga sikap!" sahutnya.
"Aku ingin mendengar suaranya!"

Roger tertawa ringan, "kau tahu betul bagaimana keadaan adikmu, dia itu autis. Apa kau pikir dia akan bilang, "hai kak, aku kangen!" saat mendengar suaramu?"

Rena hanya diam,

"Aku hanya ingin tahu kalau dia baik-baik saja!"
"Sudah ku katakan padamu, dia baik-baik saja sejauh ini. Nanti akan ku minta seseorang membuat video saat dia menyapamu, ok!"
"Roger, aku ingin bertemu dengannya!"

Roger menaruh sendoknya lalu menatap Rena tajam, "aku tidak suka kau terlalu banyak menuntut ini itu, sudah untung ku biarkan kalian hidup!"

Rena menatapmya tajam, "dan kenapa kau menatapku seperti itu, ingin melawanku lagi?"
Rena tak menjawab, ia tahu apa akibatnya jika ia melawan atau tidak menurut pada Roger. Tapi kali ini ia beranikan untuk meminta sesuatu, "aku akan lakukan apa maumu, tapi aku minta sedikit kebebasan. Aku bosan jika terus terkurung di sini!" ungkapnya.

Roger sedikit mengernyit tapi ia masih diam menunggu apalagi yang akan Rena minta, "kau tahu aku tak mungkin lari darimu, apalagi ke polisi, aku hanya....,"
"Ok, aku tidak akan membatasi ruang gerakmu. Asal kau tidak mencoba berbuat macam-macam, kau tahu apa akibatnya jika kau mencoba mengkhianatiku kan?"

Rena mengangguk.

"Good, dan siap-siaplah. Kau akan segera punya pacar baru!" seru Roger dengan senyum iblisnya lalu beranjak pergi.

Rena masih diam di tempatnya, itu artinya Roger akan segera menyuruhnya untuk beraksi. Kali ini siapa lagi, semoga tak lebih berbahaya dari Zach. Tapi jika benar sekarang Roger tidak akan membatasi ruang geraknya, itu artinya ia akan punya waktu untuk menemui Leo.

Mengingat pria itu, Rena jadi menciptakan senyuman di bibirnya. Ia segera beranjak ke dalam kamarnya, kalau untuk bersih-bersih rumah dan memasak, Roger sudah menyiapkan orang. Dan semuanya adalah pria, termasuk kokinya. Jadi Rena adalah satu-satunya wanita yang tinggal di rumah itu, Roger sengaja tak mau Rena yang mengerjakan semua pekerjaan rumah karena ia tak mau merusaknya. Tentu saja, Rena adalah aset berharganya, ia ingin wanita itu selalu tampil menawan bak seorang putri raja. Memiliki kulit yang mulus dan licin, juga terawat. Bahkan ia menyewa seorang ahli kecantikan kusus untuk merawat tubuh Rena yang sudah menjadi langganannya.

Di kamar Rena segera menyambar hpnya dan menkan sebuah nomor tanpa ragu, panggilan itu tak mendapat tanggapan hingga saluran terputus. Ia mengulangi panggilannya hingga tiga kali lalu melempar hpnya di kasur. Memandanginya sejenak lalu segera berganti pakaian.

Setelah selesai ia segera keluar rumah, tapi di teras ia di cegat salah satu centeng Roger,
"Nona, anda mau kemana?"
"Ada urusan!"
"Tapi Nona...,"
"Apa kalian tidak tahu, bosmu sudah membebaskan aku untuk melakukan apapun mulai hari ini!"

Rudi seolah tak percaya, ia segera menelpon Roger dan Rena membiarkan saja.

"Biarkan saja dia pergi, dan turuti semua kemauannya. Tapi...kau tahu apa yang harus kau lakukan kan?"
"Iya bos!"

Rudi menurunkan hpnya, "bagaimana?" tanya Rena, Rudi menatapnya tanda mengerti.
"Maaf nona, saya belum tahu!"
"Boleh aku bawa mobil?"

Rudi sedikit melebarkan mata tetapi lalu ia menyodorkan kuncinya pada Rena, "terima kasih!" Rena menerimanya lalu langsung berjalan ke dalam mobil.

Setelah mobil Rena menjauh ia menelpon seseorang, "hei, kau di posisi?" tanyanya, "Mau dimana lagi!" sahut Edo.
"Nona Rena membawa mobil yang biasa ku bawa!"
"Ok, siap!"

Begitu mobil yang di kendarai Rena melintasinya, ia segera menjalankan motornya untuk membuntuti. Tapi agar tak membuat targetnya curiga ia tetap menjaga jarak.

* * *

Leo memasuki ruangannya, meletakan gulungan kertas di tangannya ke meja. Ia menghempaskan diri ke kursi seraya melirik hpnya di meja. Entah kenapa ia seperti terdorong untuk memungut dan memeriksa benda itu. Ia pun menyambar hpnya dan membukanya, ternyata ada 3 misscall, dan semuanya dari Rena.

Tanpa pikir panjang ia segera menghubungi nomor itu, Rena memungut hp di pangkuannya ketika benda itu berdering, apalagi melihat nama yang muncul di layarnya
"Halo!" sahutnya,
"Hai, ehmm....kau menelponku?"
"Iya, tapi sepertinya kau sedang sibuk!"
"Ada yang penting?"
"Bukannya kau yang ingin kita bertemu, karena semalam aku tak bisa datang jadi ku pikir mungkin hari ini....,"
"Sekarang kau ada di mana?"
"Aku sih sedang di jalan,"
"Ehm....begini. Karena hari ini aku masih ada kerjaan, bagaimana kalau makan siang nanti kita bertemu....ehm....dimana ya?"
"Bagaimana kalau di resto dekat klub kita minum bersama, ada resto korea yang enak, belum lama buka sih. Tapi...kau suka makanan Korea kan?"
"Ya, aku suka sesuatu yang pedas!"
"Ok, kita bertemu di sana!"

"Ehm, Rena!" panggil Leo saat Rena hendak mematikan hpnya,"iya!" sahut wanita itu.
"E......nanti saja!"
Rena mengangguk seolah Leo bisa melihatnya, lalu nada tut yang panjang terdengar di telinganya.

Leo menaruh hpnya di meja kembali, ia jadi ingat tentang malam itu. Meski ia yakin tak terjadi apa-apa, tapi tetap saja ia butuh kepastian. Karena malam itu ia mabuk berat, kalau pun memang terjadi sesuatu....itu bisa saja kan?"

Sebelum ke restoran karena itu masih pagi maka ia pun pergi ke tempat yang dulu sering ia kunjungi semasa kuliah.

Ternyata beberapa temannya masih suka nongkrong di sana, "eh, siapa tuh?" seru Afdal, Rena turun dari mobil dan beberapa orang itu memeperlihatkan ekspresi heran bercampur bahagia, apalagi ketika wanita itu menghampiri mereka.
"Hai guys!" sapa Rena,
"Wuiss..., Rena. Kemana saja selama ini, ngilang begitu saja!"
"Sorry, sibuk!"

"Ada apa tiba-tiba kemari?"
"Ceritanya tidak boleh nih?"
"Bukan begitu, heran saja....!" timpal Ando, Rena tertawa manis, ia duduk menggeser Afdal.

Beberapa mobil sport berjejer di parkiran, mereka adalah anak-anak komunitas mobil sport. Dulu Rena adalah salah satu anggota mereka, jadi kebut-kebutan di jalanan dengan mobil itu sudah biasa baginya, itu sebabnya di Edo sampai kehilangan jejak.

"Ngomong-ngomong....mobilmu mana?"
"Eh...itu...sudah lenyap. Kalian tahu, sejak papa meninggal aku berhenti balapan!"
Mereka ngobrol lama melepas kangen, sembari menunggu jam makan siang akhirnya Rena pun kembali menjajal kemampuannya dengan beberapa teman. Terpaksa ia harus pinjam mobil Doni. Kangen juga terjun ke jalan seperti itu.

* * *

Leo hendak beranjak ketika Miko masuk ke ruangannya, Miko menghentikan langkah di pintu ketika melihat adiknya keluar dari meja dan berjalan ke arahnya.

"Kau mau keluar?"
"Ini memang jam makan siang kan!"
"Kalau begitu kita bisa makan bersama, ada yang ingin ku bicarakan!"
"Maaf Mik, aku ada janji dengan seseorang!" katanya berhenti di depan kakaknya, "ini penting sekali!"
"Urusan kantor?"
"Bukan sih, tapi aku buru-buru nih. Takut telat!" katanya melewati kakaknya, Miko menatap punggung adiknya yang berjalan menjauh.

Leo janjian dengan seseorang, dan katanya penting sekali, siapa?

Leo segera melaju dengan kecepatan tinggi karena karena tempat pertemuannya dengan Rena memelurkan jarak tempuh yang cukup jauh dari kantornya, ia tak mau membuat wanita itu menunggu terlalu lama dan kemudian pergi. Dan akhirnya mereka harus batal bertemu lagi.

Rena menyedot minuman yang ada di mejanya, sesekali matanya menatap ke arah pintu masuk. Ia berharap Leo bisa datang, karena sepertinya pria itu ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting dengan dirinya. Ia juga berharap bisa bercerita sedikit tentang dirinya, tapi Leo terlihat seperti pria baik-baik. Jika pria itu tahu siapa dirinya mungkin dia tidak akan mau mengajaknya bertemu seperti ini?

Senyum Rena mengembang ketika melihat sosok yang ia tunggu menembus pintu masuk, pria iru celingukan sejenak untuk mencari temannya. Ketika sudah ketemu ia langsung saja melangkah,

"Maaf, membuatmu menunggu lama ya?"
"Tidak selama kau menungguku semalam!"

Leo tertawa tanpa suara sambil duduk setelah menyeret kursi,
"Mau pesan apa, aku yang traktir deh!" tawar Rena, "jangan. Biar aku saja, kan aku yang minta bertemu!"
"Tapi kau sudah menyelamatkanku dua kali, anggaplah sebagai salah satu ucapan terima kasih!"
"Ehmmm....baiklah!"

Mereka memanggil waitres dan memesan makanan masing-masing yang ternyata sama. Lalu mereka saling pandang saat menunggu pesanan mereka done.

Leo menatap wanita itu tajam sekali, sebuah tatapan yang penuh pertanyaan.

"Rena, aku mau bertanya. Ku mohon jawab dengan jujur!"
"Katakan saja!"
"Ehm...., soal tempo hari. Apa yang terjadi?"

Rena terdiam, ia mengingat peristiwa itu. Malam itu Leo mabuk berat sehingga ia harus memesan kamar. Dan sekarang ia tahu kemana arah pertanyaan pria itu. Iapun tersenyum-senyum kecil.

"Kau memang mabuk berat, tapi apakah benar kau tak ingat apapun yang kita lakukan. Itu keterlaluan!"

Leo sedikit melotot, ia memang mabuk berat sampai tak ingat apa-apa. Jika terjadi sesuatupun, pasti ia juga tak ingat. Meski ia yakin tak terjadi apapun, tapi ia tetap ingin sebuah penjelasan.

"Memangnya apa yang terjadi?" tanyanya setengah berbisik, seolah takut ada orang lain yang mendengar. Rena terlihat sedang menahan tawa,

"Apakah kau yang membuka pakaianku?"

Rena masih belum menjawab. Tapi ekspresi Leo sungguh ingin membuatnya tertawa, pria brengsek tidak akan bertanya seperti itu.

"Ya, aku yang melepaskan pakaianmu!"

Leo menelan ludah seketika, matanya jadi tambah lebar dan pipinya sedikit memerah, dari ekspresinya itu Rena bisa menerka. Bahwa pria di hadapannya itu pastilah belum pernah telanjang di depan wanita.

Oh My God!

Benarkah?

Pria setampan itu belum sekalipun melakukan hubungan ranjang?

* * *

Bersambung......

SPS #Bab Tujuh | SPS #Prolog