Minggu, 31 Mei 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Tiga

SPS #Bab Dua

Leo menuruni tangga dengan tergesa, ia segera menuju meja makan. Di sana Miko dan Maya sedang sarapan pagi, ia hanya memungut segelas air putih dan segera mengosongkan isinya ke dalam perutnya tanpa duduk. Ia segera melangkah tapi suara Miko menghentikan langkahnya,

"Apa kau tidak mau sarapan dulu?"
"Biasanya aku sarapan di kantor kan!"
"Dulu kita hanya berdua, tapi sekarang ada Maya di rumah yang menyediakan sarapan untuk kita. Setidaknya hargai usahanya sedikit!"
"Miko, mungkin dia sedang buru-buru!" bela Maya.
"Ini masih pagi, tidak akan terlambat hanya untuk sarapan kan!"
"Lain kali saja, aku ada pekerjaan yang harus di selesaikan!" tolaknya seraya melangkah keluar. Miko mendesah memandangnya, "sudahlah, mungkin dia memang sedang ada pekerjaan!"
"Maya!"
"Miko, sebelumnya kalian hanya tinggal berdua. Tentu saja Leo membutuhkan waktu untuk terbiasa ada aku di sini!"
"Dia harus mulai belajar kan, bagaimana kalau dia menikah nanti. Bukankah tidak mungkin setiap pagi dia akan mencari sarapan di luar?"

Maya tersenyum, "kau juga baru sarapan di rumah setelah kita menikah kan, lalu kenapa kau khawatir!" Miko terdiam dengan ucapan istrinya karena itu memang benar. Tapi sejak Maya di rumah itu adiknya justru jarang berada di rumah, padahal dulu dia malah lebih suka mengerjakan tugas kantor di dalam rumah ketimbang keluyuran di luar sana.

Begitu sampai di kantor Leo di kagetkan dengan sosok seorang gadis yang langsung saja menubruknya, menggandeng lengannya dengan senyum yang mengembang indah di wajahnya. Itu masih di lobi, ia berusaha melepaskan tangan gadis itu karena merasa tidak enak jadi pusat perhatian karyawan di ruangan itu.

"Cintya, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya seraya berusaha melepaskan diri dari gadis itu. "kenapa kau bertanya seperti itu, ini kan kantor papaku jadi aku bisa datang kapanpun aku mau. Iya kan?" sahutnya.
"I-iya tapi.....,"
"Kau selalu menghindari jika aku mau mengajakmu bertemu dengan segudang alasan, bahkan kau tak pernah menjawab teleponku jadi aku ke sini saja!" katanya dengan suara keras tanpa malu.
"E.....,"

Leo tak melanjutkan kalimatnya karena ia melihat Pak Dendy Mahendra muncul dari dalam lift, Cintya masih menggandengnya. Ketika Dendy berjalan ke arah mereka, Cintya langsung membuka mulut,

"Papa, tidak apa-apa kan kalau kami keluar sebentar untuk sarapan?" katanya manja. "Cintya, aku masih ada pekerjaan yang harus ku selesaikan!" tolak Leo. Dendy tersenyum pada putrinya, "tentu saja!" lalu ia menatap Leo, "Cintya sengaja ikut aku ke sini untuk menemuimu, ajaklah dia makan di luar. Lagipula tidak ada meeting penting pagi ini!"
"Tapi pak.....!"
"Terima kasih pa, aku sayang papa!" girang Cintya melepaskan tangan Leo dan mengecup pipi papanya, ia tak memberi kesempatan Leo untuk mengungkapkan penolakan lagi. Segera saja ia menyeretnya keluar dari lobi, Leo hanya bisa menurut meski sebenarnya ia enggan.
Mereka sarapan di restoran dekat kantor.

"Kenapa sekarang kau tak pernah mengangkat teleponku?" protes Cintya, "itu.....!"
"Tidak apa-apa, aku tahu kau berusaha menghindariku tapi aku tidak akan membiarkan gadis manapun merebutmu dariku!"
"Cintya, maaf. Mungkin kau salah paham, kita selama ini tidak...!"
"Pacaran?" potong gadis itu, "aku tahu, tapi kau juga tak pernah punya pacar kan. Aku yakin suatu saat kau akan sadar kalau aku satu-satunya wanita yang tulus mencintaimu!"
"Cintya....!"
"Sudah jangan bicara lagi, habiskan sarapanmu agar kau bisa konsentrasi dalam pekerjaanmu nanti!" suruhnya, "oya, malam ini kita nonton yuk. Ada film baru!"
"Kau tahu aku tidak suka nonton bioskop!"
"Kalau begitu ke rumahku saja, kita bisa nonton di sana!"
"Rumahmu, papamu bisa membunuhku nanti!"
"Malam ini papa ada dinner dengan temannya, sepertinya akan pulang larut malam!"
"Tetap saja itu ide yang buruk!"
"Lalu kapan kita bisa menghabiskan waktu berdua?"
"Bukankah sekarang kita sedang berdua?"
"Jangan pura-pura tidak mengerti apa maksudku!" kesal Cintya, "Cintya.....!"
"Hem.....jusnya enak sekali!" serunya setelah menyedot jus jambu + susu kesukaannya itu. Ia ingin mengalihkan pembicaraan mereka karena ia tahu Leo selalu berusaha menolaknya.
"Kau sering minum itu, kupikir rasanya sama saja!" desis Leo, "jambu biji itu sangat bagus untuk kulit, kau mau coba?" katanya seraya menyodorkan gelas jusnya.
"Aku tidak suka susu!" tolaknya.

*****

"Bagaimana?" seru Roger, ia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. "sampai saat ini kau selalu bicara seperti itu, bekerjalah lebih cepat!" marahnya, ia memutar kursi yang di dudukinya. "aku ingin kau memberi hasil secepatnya, kau mengerti!" kesalnya mematikan hpnya dan melemparnya ke meja.
Ia duduk di meja yang seharusnya kini menjadi milik Rena, akal bulusnya berhasil membuatnya memiliki perusahaan itu. Dengan tanda tangan Rena yang sah, perusahaan itu beralih nama menjadi miliknya. Dan ia juga sudah berhasil menggulingkan beberapa perusahaan incarannya, hal itu membuat perusahaannya semakin besar dan pesat. Bahkan saat ini ia sedang mengincar sebuah perusahaan yang jauh lebih besar, meski sulit tapi ia selalu yakin bisa melakukannya. Selama ia masih bisa menguasai Rena, ia bisa menggunakan sepupunya itu sebagai alat yang ampuh. Rena adalah wanita yang cantik, seksi dan menawan. Kenyataannya wanita itu selalu berhasil merayu targetnya, dan ia bahkan tak perlu susah-susah mengeluarkan banyak uang untuk membayar. Tak seperti jika ia harus menbayar wanita lain.

Leo duduk di depan meja pak Dendy, mendengar pria itu berbicara. Sedari tadi pak Dendy terus saja membicarakan Cintya, "maaf pak, saya rasa anda salah paham. Saya dan Cintya tidak ada hubungan yang serius, kami hanya teman!"
"Jangan bicara seperti itu, kau tidak perlu malu. Cintya sudah bercerita banyak tentang kedekatan kalian, Leo.....Cintya adalah putriku satu-satunya. Aku hanya ingin dia bahagia, dan aku yakin kau adalah pria yang baik. Aku harap.....kau tidak mengecewakannya atau membuatnya patah hati!"
Leo menggaruk belakang kepalanya pelan, kalau sudah begini pasti akan repot jadinya.

"Eh....., pak. Saya permisi ke ruangan saya dulu, bukankah saya harus menyelesaikan tugas saya secepatnya!" katanya seraya berdiri. Dendy hanya mengangguk dengan tatapan tajam yang seolah mengancam.

******

"Ha....ha....ha.....!" tawa Alan menggelegar ke seisi ruangan, beruntung di sana tidak ada yang mengenal mereka kecuali para karyawan caffe karena mereka memang sering janjian di sana seusai kerja.

"Kau ini bukannya membantuku mencari solusi malah menertawakanku!" kesal Leo, "sudahlah kawan, nikahi saja Cintya. Otomatis kau akan menjadi bos di perusahaan itu!"
"Kau pikir aku sebrengsek itu?"
"Ku lihat Cintya benar cinta mati padamu, nyatanya dia setia sekali mengejarmu!" gurau Alan di sertai tawa ledekan.
"Terus saja meledekku seperti itu, ku pecat nanti kau jadi temanku!"
"Aduh Leo, bahkan Om Dendy pun tak keberatan kau jadi mantunya. Kurang apalagi?"

Leo memungut gelasnya dan menenggak isinya, menaruh gelas itu kembali ke meja tapi tangannya tak melepaskan benda itu.

"Jadi malam ini kau benar ada dinner dengan Tania?"
"Yep, kenapa. Mau ikut?" katanya mengangguk mantap, "jadi obat nyamuk, maksudnya? Tidak, lebih baik aku mencari sesuatu yang bisa menyegarkan otakku!"
"Misalnya, minum sampai teler? Lebih baik kau pulang dan biasakan dirimu dengan adanya Maya di rumahmu sebagai kakak ipar. Tidak mungkin kan kau akan selamanya menghindari kenyataan?"
"Aku tidak menghindari kenyataan!" sangkalnya.
"Heah......memang susah bicara denganmu!" keluh Alan, "aku mau pulang saja, mempersiapkan semuanya untuk kencanku. Ingat, jangan minum jika aku tak bersamamu?" seru Alan seraya membangkitkan diri dari duduknya.
"Aku bukan pemabuk!"
"Belakangan kau sering melakukannya!" sahutnya seraya berjalan menjauh, Leo hanya melirik sahabatnya lalu menurunkan pandangannya ke gelas di depannya yang sudah hampir kosong.

*****

Rena berjalan pelan di pinggir jalan, ia baru saja dari makam orangtuanya hingga larut. Tempat satu-satunya ia melarikan semua ketidakberdayaannya. Mau kemana lagi, kerabat satu-satunya justru membuatnya bagai hidup di neraka. Ia memang kenal beberapa teman, tapi hanya teman bermain, teman-teman kuliahnya dulu. Sebuah mobil melintas dengan cepat dan berhenti di depannya membuatnya harus menghentikan langkah. Tiga orang keluar dari dalam mobil, salah satunya cukup ia kenali, ia pun segera membalikan tubuhnya. Bersiap untuk mengambil langkah seribu, sayangnya seseorang lebih sigap meraih lengan. Memutar tubuhnya kembali, ia meronta.

"Lepaskan aku!"
"Kau pikir kau bisa lari dariku?"
"Zach, lepaskan aku!"
"Aku tahu apa yang kau lakukan, kau sengaja mendekatiku agar kau bisa mencuri dariku kan? Katakan, ada hubungan apa kau dengan Roger Suryadinata?" seru Zach seraya mempererat cengkramannya di lengan Rena, "simpanannya, pelacurnya. Katakan?"
"Itu bukan urusanmu!"

Rena mencoba meronta tapi cengkraman Zach justru makin kencang, membuatnya merintih. "Zach, lepaskan aku!"
"Melepaskanmu.....ha...ha...tentu saja!" sahut Zach seraya melempar Rena ke arah dua temannya, mereka segera menangkap kedua lengan Rena. Seketika Rena meronta tapi kekuatannya tak sebanding dengan kedua pria itu, "lepaskan!" ia menatap Zach, "kau mau apa?"

"Aku....., tentu saja bersenang-senang denganmu. Mau apalagi, bukankah kita sering melakukannya?"

Rena melebarkan bola matanya, Zach melangkah maju lalu memungut dagu Rena. Mendekatkan kepalanya seraya berdesis, "tapi kali ini.....kita tak hanya berdua. Kau tidak keberatan berbagi dengan teman-temanku kan?" lanjut Zach dengan senyum nakal.

Leo mengendarai motornya kencang melewati jalan itu, sekilas ia seperti melihat keributan maka iapun menghentikan motornya dan menoleh ke belakang. Terlihat ada satu wanita di antara ketiga pria di belakang mobil, wanita itu meronta dan berteriak. Sementara para pria itu menyeretnya untuk masuk mobil, ia seperti mengenali wanita itu dan juga salah satu dari ketiga pria yang bersamanya. Ia membuka helm dan turun dari motor, sementara salah satu pria itu pria itu sudah masuk ke dalam joj belakang menyeret Rena ikut bersamanya di bantu dengan satunya lagi yang mendorongnya.

Leo melangkah cepat ke arah mereka. Di dalam mobil Rena meronta dan berteriak ketika dua pria itu berusaha memaksanya, pintu mobil masih terbuka. Zach hendak menutup pintu ketika suara seseorang menghentikannya.

"Hanya para pengecut yang berani mengeroyok wanita!"

Zach terpaksa menoleh ke arah suara itu, Leo sudah berdiri tak jauh darinya.
"Jangan ikut campur!"
"Maaf, ini jalanan umum. Dan aku melihat hal yang tidak sopan jadi aku punya kewajiban untuk ikut campur!"
"Jangan sok jadi pahlawan!" cibir Zach melangkah seraya melayangkan sebuah tinju ke arah Leo tapi tangan Leo dengan sigap menangkapnya.

Mereka terlibat perkelahian, sementara yang dua di dalam akhirnya harus berhenti untuk membantu temannya yang mulai kewelahan menghadapi pengganggu mereka. Renapun segera berhambur keluar dari mobil, menepikan dirinya menjauh dari mobil itu seraya menyikap tubuhnya sendiri dengan airmata yang membanjiri pipinya.

Perkelahian masih berlanjut, meski sedikit kewelahan tapi Leo tetap berhasil membuat ketiganya melarikan diri. Ia memandang mobil itu menjauh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Rena. Ia melangkah maju mendekati wanita itu yang masih mendekap dirinya sendiri seraya menundukan wajah, terdengar isakan lembut dari mulutnya. Pakaiannya koyak di beberapa tempat.

"Kau tidak apa-apa?"

Rena mengangkat wajahnya perlahan, ia sedikit terkejut ketika menatap pria di hadapannya. Semalam ia memang belum melihat wajahnya dengan jelas, tapi suara dan matanya masih ia ingat. Pria yang ada di hadapannya, yang baru saja menyelamatkannya adalah pria semalam yang juga membantunya berhasil lolos dari Zach. Rena tak mengucap apapun karena ia masih sedikit shok dengan apa yang baru saja di alaminya. Tanpa bertanya lagi Leo pun membuka jaketnya dan kembali menyodorkannya pada Rena, "pakailah, ku antar pulang!" serunya.

Rena tak langsung memungutnya,ia masih terpaku menatap Leo. Karena tak ada reaksi, maka Leopun bertindak sendiri. Ia melangkah dan menyelimutkan jaketnya ke tubuh Rena. Hal itu membuat Rena sedikit terperanjat, ia melirik jaket yang menyentuh tubuhnya lalu matanya merangkak ke wajah pemilik jaket itu. Mata mereka bertemu, menyadari tatapan itu Leo segera mengalihkannya dengan menjauh dari Rena. Ia melangkah ke arah motornya, melajukannya dan berhenti di samping wanita itu.

"Naiklah!" serunya, Rena tak langsung beranjak ia masih diam. "hei!" seru Leo membuyarkan lamunannya.
"Eh!"

Renapun duduk di belakang Leo dan mereka segera meninggalkan tempat itu, ini kedua kalinya mereka bertemu dan selalu dalam keadaan yang sama. Tapi kali ini justru lebih parah, keadaannya lebih dari buruk. Sekali lagi Leo bertanya padanya dimana alamat rumahnya, tapi Rena tak menyahut. Akhirnya Leo menghentikan motornya di tepi jalan di kawasan yang ramai, tanpa di suruh Rena turun dari motor. Leo membuka helmnya.

"Kalau kau tak memberitahu alamatnya bagaimana kita bisa sampai?" tanyanya.
"Aku sedang malas pulang ke rumah!" sahutnya lirih, "terima kasih sudah menolongku, kau antar aku sampai di sini saja!"
"Apa, bagaimana kalau orang-orang itu masih mencarimu. Atau penjahat-penjahat lain?"
"Ini kawasan ramai, lihatlah.....banyak pedagang, toko dan juga kendaraan yang lalu lalang. Jika ada sesuatu.....aku akan mudah minta tolong!" ia mencoba bicara tenang meski suaranya tetap tak bisa menyembunyikannya. Dan Leo tahu itu.

"Begitu?" sahut Leo menatapnya dalam, "begini saja, karena aku juga sedang malas pulang. Dan aku sudah menyelamatkanmu dari para bajingan itu, bagaimana kalau.....kau menemaniku saja malam ini sebagai ucapan terima kasih?" tawarnya.

Rena terperanjat, "me-menem-manimu?" sahutnya terbata, ia menatap Leo dengan tatapan yang berbeda kini. Apa arti dari menemaniku malam ini? Rena mulai berfikir negatif tentang Leo, apakah mungkin pria itu juga memiliki niat yang buruk terhadap dirinya setelah bertemu dua kali dalam keadaan yang hampir sama?

---Bersambung.....---

SPS #Bab Empat | SPS #Prolog