Sabtu, 28 November 2015

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Tujuh

Sebelumnya, SPS #Bab Enam

Setelah cukup lama menahan tawa akhirnya Rena melepaskannya juga, tawanya merdu, renyah dan gurih, tapi wanita itu tertawa sampai sedikit terpingkal-pingkal. Hal itu membuat wajah Leo makin memerah dan malu, ia jadi merasa culun dengan tingkah Rena.

Melihat ekspresi Leo yang seperti anak ABG yang baru tumbuh Rena menghentikan tawanya, sekuat tenaga ia menahan tawa yang masih menggelitik perutnya itu.

"Maaf, bukan ingin mengejekmu..hanya...aku tak bisa menahan tawa!"

Leo diam menyembunyikan rasa malunya, "kau mau aku jujur atau tidak?" tanya Rena, Leo kembali menatapnya, "tentu saja jujur, bukankah tadi sudah ku katakan?"

"Ok, sebenarnya....aku menyuruh seorang roomboy untuk membuka pakaianmu karena kau sempat muntah, bahkan juga mengotori bajuku!"
"Benarkah?"
Rena mengangguk, Leo bernafas lega.

"Memangnya kenapa jika aku yang membukanya, apa pacarmu tak pernah melakukannya?"
"Pacar, aku bahkan tak punya!"
"Lalu Maya?"

Leo terhenyak, bagaimana Rena tahu tentang Maya, apakah dirinya mengigau saat mabuk?

"Aku sedang tak ingin membicarakannya,"
"Dia yang membuatmu patah hati?"
"Sudah ku bilang aku tak mau membahasnya!"

Wajah Leo berubah kesal jadi Rena mengalah untuk tak menggodanya tentang Maya,
"Ok, sekarang kau sudah tahu tentang malam itu. Ya, tak terjadi apa-apa di antara kita jadi jangan pasang muka malu-malumu itu!"
"Siapa yang malu-malu?"

Rena tersenyum saja, pesanan merek tersaji di atas meja.
"Wah...aku lapar sekali, ayo kita makan!" katanya mulai memungut sumpit, baru satu suap saja makanan yang ia masukan hpnya berdering, iapun terpaksa harus mengangkatnya apalagi nama yang terpapar di layar hpnya,

"Sebentar ya!" katanya menyingkir ketika menerima panggilan itu, Leo memperhatikannya,

"Ada apa?"
"Kau dimana?"
"Sedang makan siang dengan teman!"
"Aku menelponmu karena kau lihai sekali membuat orangku kehilangan jejak, aku tidak suka itu!"
"Dan aku tidak suka kau terus menyuruh orang untuk membuntutiku!" katanya setengah berbisik, "itu untuk keamananmu Rena, karena aku yakin Zach pasti masih mengejarmu!"
"Aku masih bisa mengatasinya sendiri!"
"Jika terjadi sesua.....
"Roger, ingat....kau berjanji akan memberiku sedikit kebebasan dan imbalannya...aku akan lakukan permintaanmu!"

Rena menunggu beberapa detik, "ok, tapi ingat. Jangan berbuat macam-macam!"
"Aku tahu!" katanya mematikan hpnya, ia melirik Leo yang ternyata memperhatikannya. Iapun menghela nafas panjang sebelum kembali ke meja dimana Leo berada.

"Maaf, itu tadi sepupuku!"
"Pacarmu juga tidak apa-apa!"

Rena sedikit tertegun, lalu ia menyunggingkan senyum kecut, "aku tidak tahu, apakah hubungan seperti itu bisa di sebut pacar?" desisnya. Sahutan Rena seolah sebuah jarum yang menusuk sang pemilik kata sendiri, Leo merasakan ada kepedihan dalam nadanya.

Rena diam menatap Leo ke dalam matanya, "apa kau pernah mengalami ini, saat hidupmu....di kendalikan orang lain. Bahkan kau merasa.....kau tak punya hak apapun untuk dirimu sendiri?"

Leo diam mencerna kalimat wanita itu, mata Rena berembun tapi wanita itu segera saja menyeka airmata yang hampir saja tumpah. Lalu tiada lagi kata yang terlontar, ia kembali menyantap makan siangnya dengan lahab. Mencoba tak menatap pria di hadapannya, tapi Leo bisa membaca kalau wanita di depannya itu sedang dalam tekanan besar, ia ingin bertanya tapi ia tak ingin menelenyapkan selera makannya saat ini.

Setelah mereka selesai makan siang, Leo mencoba kembali membuka percakapan, "Rena, apakah malam ini ada waktu?"
"Ehm..., aku belum tahu jadwalku malam ini. Memangnya kenapa?"
"Tidak ada apa-apa, hanya....mungkin kita bisa menghabiskan sedikit lebih banyak waktu bersama. Aku jarang dapat teman bicara wanita yang nyaman seperti mu!"

Rena memandangnya aneh, tapi jujur ia senang dengan tawaran pria itu.

"Aku juga.....tak pernah merasa senyaman ini ketika sedang bersama seseorang!" katanya sedikit menunduk, Leo menangkap sesuatu makna dalam ucapan Rena. Ia jadi ingat Rena pernah bercerita tentang hubungannya dengan pria malam itu yang bernama Zach, katanya wanita itu sengaja mendekati Zach untuk sebuah tujuan. Tapi Rena belum cerita apa dibalik tujuannya sengaja mendekati Zach!

"Maaf, aku tidak bermaksud....," Kalimat Leo terpotong oleh gelengan Rena, sebuah senyuman perih tersungging di bibir manisnya, "terima kasih ya, sudah sedikit meluangkan waktu untukku. Jika nanti malam aku tidak ada acara....aku akan menghubungimu!"

"Itu terdengar bagus," Leo menilik arlogi di pergelangan tangannya, "maaf Rena, aku harus kembali ke kantor!"

Rena tersenyum dan mengangguk, Leo berdiri, "terima kasih makan siangnya!" tapi ia masih belum beranjak. Entah kenapa seperti ada yang membuatnya tertahan, menatap wanita itu.....ia merasa masih ingin duduk di depannya. Karena ia bisa merasakan kalau Rena seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting, sesuatu yang selama ini di tahannya seorang diri. Tapi waktu harus mengingatkannya untuk kembali ke kantor atau ia bisa kena masalah. Iapun beranjak pergi dari sana, Rena menatapnya hingga menghilang dari pandangannya.

Rena menatap dadanya perlahan, ia memejamkan mata untuk meresapi sesuatu di dalam rongga dadanya. Sebuah debaran aneh setiap kali ia menatap mata Leo, debaran yang justru membuatnya takut untuk hanya sekedar memimpikannya.

Leo sendiri merasa aneh menyadari ia menanyakan apakah Rena punya waktu untuk bisa keluar bersamanya malam ini, sebelumnya ia tak pernah bertanya seperti itu pada wanita manapun. Tak pernah mengajak wanita manapun untuk pergi bersamanya.

* * *

Ketika Leo berjalan ke arah ruangannya yang kebetulan bersebelahan dengan ruangan staf marketing, Maya yang berada di dalam ruangan sebagai salah satu staf marketing melihatnya, ia segera keluar dan memanggilnya,

"Leo!"

Iapun menghentikan langkah menolehnya, "kau darimana saja, pak Dendy mencarimu?" tanyanya.
"Ada apa?"
"Aku tidak tahu, tapi dia berpesan jika kau sudah kembali nanti di suruh ke ruangannya setelah meeting. Karena saat ini beliau sedang ada meeting direksi!"
"Ouh, terima kasih!" sahutnya lalu kembali melanjutkan perjalanannya ke ruangannya, Maya memandangnya, ia ingin mencoba bersikap biasa agar Leopun bisa bersikap biasa.

Leo menembus ruangan yang berisi dua orang di sana, sesama arsitek, tapi ia tidak di ruangan itu melainkan di ruangan yang ada di dalam ruangan itu sebagai kepala arsitek di perusahaan. Sebenarnya sampai saat ini ia merasa tidak enak dengan Tama yang lebih senior dari dirinya, menurutnya Tama lebih pantas menjabat sebagai kepala arsitek ketimbang dirinya tapi entah kenapa pak Dendy malah memilihnya setelah pak Amar mengundurkan diri karena pindah keluar negeri.
Itu sebabnya ia juga tak segan untuk meminta saran dan pendapat kepada Tama dan Eros di setiap rancangan.

"Leo, pak Dendy mencarimu!" seru Tama, "itu artinya masalah baru!" sahutnya, ia duduk di meja Eros.

"Kenapa tak kau lamar saja Cynthia, agar pak Dendy tidak pusing!" goda Tama,
"Kenapa bukan kau saja, bukannya kau menyukainya diam-diam!"
"Cynthia tak pernah melirikku, lagipula aku memang tak dekat dengannya!"
"Apa pak Dendy meninggalkan pesan?"
"Ya!" sahut Eros, Leo menolehnya, Eros berdiri dan mendekatkan mulutnya ke telinga Leo, "segera nikahi putriku, dia sudah tidak tahan!" bisiknya di sertai cekikikan, Leo memungut kertas di meja dan memukulkannya ke kepala Eros. Pemuda itu malah makin geli tertawa seraya menarik dirinya.

"Kerjamu jangan bergosip terus, aku malu lihat hasil kerja kalian!" katanya menarik diri dari meja Eros dan berbalik,
"Nah, ini dia yang harus kita diskusikan. Aku dan Eros punya sedikit perbedaan pendapat soal posisi taman yang akan kita tambahkan di sisi kondominium!"

"Proyek ini sangat besar, jadi....kita benar harus mendiskusikannya secara matang, ribet sekali membuat desain bangunan seperti ini!"
"Bukannya aku sudah sudah membagi bagian masing-masing?"
"Tapi kami rasa....kita membutuhkan sentuhanmu di setiap bagian. Agar hasilnya lebih maksimal!" seru Tama,
"Iya, yang sedang kita rancang adalah sebuah kondominium megah, dimana setiap rumahnya harus benar seperti yang di harapkan. Sudah ada calon klien yang memesan beberapa rumah dengan desain yang beginilah, begitulah....gaya ini gaya itu, membuatku tambah pusing saja!" keluh Eros.

"Ok, kalau begitu....mari kita kerjakan ini," ajak Leo.

Baru mereka hendak membahasnya bersama seseorang masuk ke ruangan itu , Miko rupanya,
"Leo, pak Dendy sudah menunggumu di ruangannya! Kata Maya kau sudah kembali, jadi aku sendiri yang ke sini!"
"Ok, aku segera kesana!" katanya pada Miko lau kembali menoleh dua rekannya, "ok guys, kita lanjutkan nanti!" katanya lalu keluar ruangan.

Sebenarnya ia sudah malas kalau yang akan di bahas itu soal Cynthia, ia mengetuk pintu ruangan pak Dendy lalu masuk,
"Maaf pak, anda memanggil saya?"

Pak Dendy yang sudah mendongak ke arahnya menjawab, "iya, masuklah!" Leo segera menghampiri dan duduk.

"Ada kesulitan dengan proyek ini?" tanya pak Dendy, "kami sedang mendiskusikannya pak!" sahutnya,

"Tak usah terlalu terburu-buru, aku tidak mau asal jadi!"
"Jangan kuatir soal itu pak, kami sedang mengusahakan mendapatkan hasil yang terbaik!"

Ia merasa sedikit lega karena pak Dendy hanya membicarakan seputar pekerjaan saja, jadi tidak terjadi perdebatan.

* * *

"Kalian pulang saja dulu, masih ada banyak waktu!"
"Ok!"

Leo menyuruh Tama dan Eros pulang dulu sementara dirinya masih duduk di kursinya hingga malam, sebenarnya sambil mengerjakan pekerjaannya ia juga menunggu telepon Rena. Ia berharap wanita itu akan menelponnya, entah kenapa ia ingin sekali tahu banyak tentang wanita itu.

Tapi hingga hampir jam sembilan malam tak ada satupun telepon dari Rena, justru nama Cynthia yang muncul ketika hpnya berdering, dengan malas ia menerima telepon itu,

"Halo!"
"Halo, sedang apa?"
"Aku....masih di kantor!" katanya seraya memutar-mutar kursi yang di dudukinya.
"Masih di kantor?"
"Hanya....sedikit melanjutkan pekerjaan!"
"Ini sudah malam, sebaiknya kau pulang!"
"Tidak apa-apa, besok kan sabtu!"
"O iya, ehm....kalau begitu.....besok kau ada waktu kan?"
"Kenapa?"
"Kita pergi liburan yuk, nanti ku ajak temanku juga jadi kita pergi rame-rame!"
"Liburan!"
"Iya, sumpek di rumah terus!"
"Cyn....,"
"Ayolah...please.....nanti semua akomodasinya aku yang tanggung!"
"Memangnya mau kemana?"
"Singapore!"
"Ke Singapore?"
"He-em, nanti kita menginap di hotel papa. Jadi gratis!"
"Tapi Cyn....,"
"Please....ayolah.....sekali ini....saja!" rengek Cyntia.

Leo menggaruk lehernya, sebenarnya ia juga butuh refreshing sih, tapi bukan bersama Cynthia tapi......sepertinya tidak apa-apa sekali-kali.

"Jika ku ajak teman boleh?"
"Ehm...intinya kau mau?"

Leo menjijing satu alisnya, tapi sudah tentu gadis yang di ajaknya bicara tak akan bisa melihatnya.

"Ok, asalkan kau mau ikut aku tidak akan keberatan meski kau bawa banyak teman!"

"Ok, aku ikut!"

Cynthia tersenyum girang seolah Leo bisa melihatnya, "ok, besok langsung kumpul saja semuanya di airport. Masalah tiketnya tak usah di pikirkan!"

Setelah sambungan telepon dari Cynthia terputus ia segera menghubungi Alan, temannya itu langsung menerima panggilannya dan sudah pasti tidak menolak untuk ikut serta. Setelah berbicara dengan Alan, Leopun mulai sedikit ragu-ragu untuk menghubungi seseorang. Akhirnya....

Rena yang sudah berganti piyama segera menyambar hpnya yang berdering, senyumannya mengembang melihat nama di layarnya yang muncul,
"Halo!"
"Hai, malam!"
"Malam, ehm....., ada apa, ada yang pentingkah? Ku rasa kau sudah mendapatkan penjelasanku tadi siang!"
"Aku hanya.....ehm...begini, temanku mengajakku pergi liburan ke Singapore. Mungkin saja kau mau ikut!"
"Ke Singapore?"
"Bagaimana?"
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa!" katanya merebahkan diri dengan menelungkup, Leo mendesahkan sedikit rasa kecewa tapi ia tak ingin Rena tahu itu, "begitu, tak apa-apa!" kediaman merebak cukup lama, lalu suara Rena memecahkannya,

"Sebenarnya aku ingin sekali ikut, apalagi sudah lama sekali aku tidak pergi ke sana. Tapi....,"
"Tapi kenapa?"
"Hanya saja aku tak bisa pergi sekarang, mungkin lain kali aku bisa memberitahumu alasannya tapi tidak sekarang!"
"Ok!"
"Kau marah?"

Leo tertawa ringan, "kenapa harus marah?" sahutnya, "mungkin karena kau kecewa!" tukas Rena.

"Sebenarnya aku sedikit malas pergi bersama mereka tapi aku sudah kadung janji, tadinya ku pikir kau bisa ikut!"
"Maaf sekali ya!"
"Tidak apa-apa. Ya sudah, kau istirahat saja!"
"Memangnya kau dimana?"
"Masih di kantor!"
"Mas-sih di kantor?" sahut Rena seraya bangkit duduk, "di jam segini?"
"Ini sudah mau pulang kok, sebenarnya sih aku lapar sekali. Belum sempat makan malam!" kalimat Leo seolah sebuah ajakan untuk Rena agar mau menemaninya makan malam. Rena melirik jam dinding di kamarnya,
"Mau aku temani?"
"Jika kau sudah mau istirahat, itu sungguh tidak perlu. Mungkin aku akan makan di rumah saja!"
"Tidak apa-apa, aku bisa kok malam ini!"
"Benar?"
"I....yah!"
"Ok, mau aku jemput?"
"Tidak usah, aku bawa mobil sendiri!"
"Ok, ehm....bagaimana kalau kita bertemu di pantai saja!"
"Fine!"
"Ok, bay!"
* * *

Rena segera berganti baju dan keluar, untungnya Roger belum pulang.
"Nona, anda mau kemana?" tanya Rudi saat Rena menghampiri mobil.
"Bertemu seseorang!"
"Ini sudah malam nona!"
"Aku tahu!"

Tapi Rena tetap saja memasuki mobil tanpa memperdulikan Rudi dan langsung tancap gas. Leo sampai lebih dulu, ia duduk di salah satu meja di sebuah restoran outdoor sambil memandangi lautan lepas.

Setelah di pikir-pikir, ini aneh juga. Selama ini ia tak pernah agresif terhadap wanita, tapi ini ia lakukan setelah bertemu Rena. Apakah saat ini ia sedang melakukan PDKT pada wanita itu? Tapi saat bersama Rena ia seolah bisa menepiskan bayangan Maya dari hatinya.

Rena berjalan terburu ke arah tempat Leo berada, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang yang di kenalinya berada tak jauh di depannya. Matanya melebar dan rasa takut segera merayapinya, ia ingin segera menyingkir tapi tiba-tiba lututnya bergetar hebat hingga ia tak mampu menggerakannya. Ia berharap orang itu tak melihatnya, tapi.....

---Bersambung.....---

SPS #Bab Delapan | SPS #Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar