Sabtu, 27 Februari 2016

Sebuah Pengorbanan Sederhana #Bab Delapan

Sebelumnya, SPS #Bab Tujuh


Rena masih diam terpaku di tempatnya, bahkan ketika mata orang itu menemukannya dan menghentikan langkah. Sudah kepalang basah, mau melarikan diripun pasti akan di kejar. Orang itu terlihat berbicara pada temannya lagi, setelah temannya pergi iapun berjakan menghampiri Rena. Wanita menawan yang sempat membuatnya tergila-gila, bahkan hingga saat ini, wanita itu masih saja terlihat begitu menggoda di matanya.

Pria itu berdiri di hadapannya, "Rena," sapanya, "lama kita tidak bertemu, kau..., semakin cantik saja!" pujinya dengan memberi tatapan liar yang sudah pasti bisa Rena tebak.

"Aku buru-buru!" katanya melangkah, tapi pria iru menahan lengannya hingga langkahnya harus tertunda, "aku punya banyak waktu, jangan tergesa-gesa!"

"Lepaskan Tian!" rontanya, tapi pria itu tak melepaskan lengan Rena.
"Apa kau sedang berkencang dengan pria itu, Rena..., lebih baik kau kembali padaku daripada kencan dengan pria beristri, dia tak bisa memberimu masa depan!" rayunya,

"Hubungan kita sudah berakhir, Tian. Lepaskan aku!"
"Itu bagimu, kau yang pergi secara sepihak. Aku masih menyukaimu, ayolah Rena..., tidakkah kau merindukan aku?" katanya mendekatkan diri hingga tubuh mereka hampir bersentuhan.

Memang, sampai saat ini Tian belum tahu maksud tujuan Rena mendekatinya, ia juga tak merasa curiga dengan aap yang Rena ambil darinya. Itu hanya kebetulan, ada salah satu orang kantornya yang berkhianat, jadi...otomatis jadi kambing hitam dan Rena selamat. Sekarang ia sedang mulai memulihkan kembali perusahaannya dengan bantuan teman.

"Maaf Tian, tapi aku sedang terburu-buru, dan aku tidak mau ada hubungan lagi denganmu!"
jawaban Rena membuatnya terdiam, lalu tiba-tiba saja pria itu mendorongnya ke tembok.

"Argh!" raungnya tertahan, "ayolah sayang, aku tidak benar-benar bangkrut. Aku sangat merindukanmu!" desisnya bersiap menyerbu bibir ranum di depannya, sayangnya wanita itu menolak dengan menggelengkan kepalanya ke kiri.

"Maaf, Tian. Tapi kita tidak bisa kembali lagi seperti dulu!" tolaknya, penolakan Rena menciptakan kekecewaan di raut Tian. Pria itu sedikit menggerutu, "jadi..., kau lebih memilih bajingan itu. Setelah bosan, kau juga akan meninggalkannya..., jalang!"

Rena menatapnya seketika dengan makian Tian, "ku tinggalkan tunanganku demi dirimu, dan kau meninggalkanku demi pria itu, di saat aku jatuh...," Tian menyunggingkan senyum cibiran, "seperti itukah dirimu..., kau..., tidak lebih dari sekedar wanita murahan di pinggir jalan, kau tahu..., aku bisa mendapatkanmu lagi sekarang juga jika aku mau..., tapi kurasa...!"

"Kau baik saja Rena?"

Suara itu membuat keduanya menoleh seketika, Tian sedikit terkejut karena pria itu bukan Zach. Mata Leo menatap tajam ke arah Tian,

"Maaf bung, bisakah kau tidak kasar terhadap temanku?" pintanya, Tian membalas tatapan itu lalu melirik Rena.

Jadi..., Rena sudah tak bersama Zach lagi. Dasar wanita jalang!
Ia merutuk dalam hati, iapun menjauhkan dirinya dari Rena, menatapnya tajam, "kita akan bertemu lagi!" desisnya penuh arti, lalu menyingkir.

Setelah kepergian Tian, Leo mendekat, "kau tidak apa-apa?"

Rena menunduk dan menggeleng, ia tak mau menatap mata pria itu karena saat ini ia merasa cukup rendah, ini kesekian kalinya Leo menyelamatkannya dari pria lain.

* * *

Rena menaruh kedua tangannya di atas pembatas jembatan yang menyorong ke laut, menatapi bayangan rembulan di dalam air yang berkilauan oleh pantulan sinarnya. Leo di sisinya, bersender pembatas jembatan, posisi mereka berlawanan.

"Maaf ya, aku..., selalu bermasalah ketika kita bertemu!" ucapnya memecah keheningan yang merebak selama beberapa waktu lalu.
"Setiap orang memiliki masalah!" sahut Leo.
"Kau mendengar percakapan kami, aku..., aku bukanlah wanita yang baik untuk kau jadikan teman!"
"Kenapa kau bicara seperti itu?"
"Tian, pria tadi..., adalah salah satu korbanku...sebelum Zach!"

Leo mengernyit karena tak mengerti dengan apa yang Rena ucapkan, korban apa?

Leo memutar tubuhnya hingga menghadap Rena yang belum mengubah posisinya semula.

"Kau tahu..., dulu hidupku cukup sempurna. Keluarga bahagia, mapan, orangtuaku..., selalu mengajariku untuk tak pernah mengabaikan Tuhan. Mengajariku untuk tak pernah meninggalkan ibadah, selalu berbuat baik pada siapapun. Aku bahkan merasa Tuhan begitu mengasihiku, sampai..., semuanya terenggut begitu saja!" Rena mengubah mimiknya. Leo mendengarkan dengan seksama,

"Orangtuaku meninggal dalam kecelakaan tragis, sepupuku yang seperti malaikat..., berubah menjadi iblis!" ia menekankan kata terakhir itu, "dia merampas semuanya, tak masalah jika dia mengambil semua hartaku..., tapi adikku!" buliran bening mulai mengalir di pipinya, "dia memisahkanku dari Reno, menyandranya entah dimana, sebagai jaminan..., agar aku menjadi budaknya. Zach..., dan yang lainnya..., mereka adalah pria-pria yang aku dekati agar aku bisa mencuri data perusahaan mereka, Roger berambisi menguasai dunia bisnis!"

"Roger?"

Rena menyeka airmatanya, "aku tidak bisa melawannya, aku tidak mau adikku terluka!"
"Mungkin dia hanya mengertak, dia tak benar-benar menyakiti adikmu, kalian masih saudaranya!"
"Kau tidak mengenalnya, dia itu bukan manusia..., aku pernah melihat video yang di buatnya saat mengintimidasi adikku. Kau tahu..., adikku itu seorang Autis," Rena menatapnya, "aku berjanji pada orangtuaku untuk menjaganya, hanya aku yang dia miliki, dan aku tak bisa...membiarkannya tersakiti!"

Leo diam beberapa saat, "kenapa kau tak coba menghubungi polisi!" sarannya,

"Polisi!" desis Rena getir, ia mengalihkan pandangannya sejenak lalu membuka jaket yang menutupi tank-top merah yang membungkus tubuhnya, dengan bawahan rok jeans mini setengah paha berwarna putih. Dia terlihat seksi sekali tanpa jaket itu, Leo sedikit terkesiap melihatnya. Membuatnya mereguk ludahnya sendiri sejenak. Tapi ia segera menggelengkan kepalanya sebelum berfantasi, ia tak mau memandang Rena dengan pemikiran seperti itu.

Rena menyampirkan jaketnya di lengan kiri lalu mengangkat lengan tangannya ke udara di depan Leo, membuat pria itu terkejut heran, "lihatlah tanganku!" suruh Rena.

Meski kurang mengerti tapi Leo tetap memperhatikan tangan putih mulus yang menggiurkan itu, ia tak menemukan apa yang di maksud Rena, jadi iapun memberanikan diri untuk merabanya. Hampir tak ada sedikitpun lemak di sana, sebenarnya tangannya sedikit bergetar menyentuh kulit wanita itu, tapi ia tahan sebisa mungkin. Hingga akhirnya ia melihat sebuah titik di lekukan lengannya, seperti bekas suntikan.

"Apa ini?" rabanya, Rena menatapnya sembari menarik lengannya kembali.
"Setiap kali aku menolak atau melawannya, dia akan menyuntikan barang keparat itu ke tubuhku?"
"Barang...?"
"Heroin."
"Apa!"

"Jika aku pergi ke polisi, dia akan bersilat lidah. Dia akan katakan bahwa aku tidak waras karena pengaruh obat-obatan terlarang. Dan pasti, hasil pemeriksaannya akan positif. Ku lakukan segala cara agar aku tak menginginkan barang haram itu, tapi terkadang...aku tak bisa mencegah saat menginginkannya!" buliran bening mengalir deras dari matanya, "aku benci hidupku..., aku tidak tahu kenapa Tuhan membuatku seperti ini. Padahal dulu aku tak pernah mengabaikan-NYA, apakah aku kurang mencintai-NYA sampai harus di hukum seperti ini...!" tangisnya menderai, wajahnya tertunduk dan pundaknya berguncang hebat.

Leo diam menatapnya, entah sadar atau tidak tapi ia merangkakkan tangannya ke kepala Rena, membawanya ke bahunya, memeluknya erat. Tangis Rena kian menjadi di bahu Leo, "hidupku hancur..., dan aku tidak tahu pada siapa harus bernanung..., tak ada yang bisa ku mintai pertolongan, bahkan Tuhan sekalipun...!" mendengar itu, entah kenapa hati Leo terasa pedih.

 Rena, wanita itu..., di balik senyum menggoda dan tutur lembutnya, serta penampilannya yang glamor, ada sebuah rekayasa. Rekayasa yang tak bisa di tolaknya. Wanita itu mengorbankan hidupnya, masa depannya, demi adiknya agar tetap hidup.

Leo mengelus punggungnya seolah menenangkannya, dan Rena..., justru menjadi wanita pertama yang menangis di bahunya. Yang membasahi pundaknya dengan airmata ketidakberdayaan.

* * *

Maya diam menatap langit-langit di atasnya, tak seperti biasanya, malam ini selesai merampungkan tugas kantornya Miko langsung menyusupkan diri di balik selimut. Biasanya akan mengajaknya bercengkrama dulu, lalu perlahan merambat ke kemesraan yang akan membawa mereka terlelap hingga pagi menjelang.

Maya melirik ke samping, di mana suaminya tengah memunggunginya, ia pun memiringkan tubuhnya. Ingin ia bertanya tapi takut salah pertanyaan dan akan membuat mereka bertengkar. Maka ia putuskan untuk tak membuka suara, tapi ia meringsutkan diri merapat suaminya lalu melingkarkan lengannya ke tubuh suaminya. Miko membuka mata seketika saat merasakan sentuhan tangan istrinya, tapi ia segera menutupnya kembali. Tetap bergeming.

Mereka seperti itu hingga masing-masing melelapkan diri.

Leo mengantar Rena ke mobilnya, "kau mau aku antar?" tawarnya, "tak perlu, jika sepupuku melihatmu..., dia tidak akan suka!" tolaknya,

Rena membuka pintu mobil dan siap memasukan dirinya ke dalam, "Rena!" panggil Leo yang membuatnya harus menunda apa yang akan di lakukannya, ia menoleh,

"Jika kau butuh bantuan, kau bisa hubungi aku kapan saja!" tawarnya lagi, Rena menatapnya dalam lalu tersenyum, "kau tidak keberatan?" tanyanya.

"Aku akan senang bisa membantumu, oya..., aku punya kenalan seorang dokter yang menangani..., para pemakai narkotika. Dia bekerja di panti rehabilitasi, jika kau mau...!"

"Maksudmu...aku harus menjalani rehabilitasi?" nada Rena sedikit ada amarah,
"Kau tak perlu tinggal di sana, aku mengerti..., kita bisa...bertemu dengannya di tempat lain. Tapi..., itu jika kau tak keberatan!"

Rena menatapnya lama, mungkin..., pertemuannya dengan Leo bukanlah kebetulan. Tuhan sengaja mengirim pria itu untuk menyelamatkannya. Sejak pertama kali bertemu, ia memang sudah jatuh hati pada pria di hadapannya itu, tapi ia sadar siapa dirinya.

"Kau masih menyimpan nomorku kan?" katanya lalu melenyapkan diri ke dalam mobilnya. Leo menatapnya sampai mobil itu meninggalkannya dan menjauh.

Ia tahu Rena gadis yang baik, tapi jalan hidupnya mengharuskannya mengalami semua itu, dan ia tidak akan membiarkan wanita itu terus terjerat oleh belenggu sepupunya. Wanitaitu berhak untuk kebahagiaannya, kebebasannya, kehidupannya.

Slir angin malam yang kian menusuk tulang membuat tubuhnya sedikit bergidik, iapun beranjak menuju parkiran motor.

Bersambung.....

SPS #Bab Sembilan
SPS #Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar